Kloningan

Friday, May 22, 2015

Kisah Pengusaha Bersepatu Lars

Leave a Comment
Lembaga bisnis ABRI dianggap suka menggunakan kekuasaannya dalam melakukan kegiatan. Ada unsur kolusi dalam wajah khas Ali-Baba. Profesionalisme ABRI pun konon bisa terganggu.


GUNJINGAN terhadap kiprah ABRI belum juga usai. Di tengah gencarnya kritik dan gugatan terhadap peran sosial politik ABRI, kini peran ABRI di lahan bisnis pun menjadi sorotan. Topik ini muncul setelah terbitnya dua buku dengan topik yang sama, yang diluncurkan pada hari yang sama pula. Buku pertama, Bila ABRI Berbisnis, karya Indria Samego dan kawan-kawannya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dicetak Penerbit Mizan, dan diluncurkan Senin malam pekan lalu, di Gedung LIPI, Jakarta. Pada saat yang sama, Penerbit Rosda juga melepas buku Bisnis ABRI Orde Baru, karangan Iswandi, di Gedung Bidakara, tidak jauh dari Gedung LIPI.


Topik ini menjadi menarik karena selama tiga-empat dekade ini kiprah ABRI di bidang bisnis samar-samar, yang sensitif untuk di-obok-obok. "Ada semacam psikologi ketakutan untuk membahas kiprah ABRI di segala bidang, termasuk bisnis, secara terbuka. Tabu," kata Indria Samego.
Akibatnya, referensi tentang kiprah militer Indonesia dalam dunia bisnis sangat minim. Hanya beberapa peneliti asing yang pernah mengulasnya secara singkat. Padahal, sudah menjadi rahasia umum, di masa Orde Baru, ABRI tak cuma dominan di bidang sosial dan politik, melainkan juga memiliki kekuatan besar dalam bidang ekonomi. Dan banyak pula personel ABRI yang ditugaskaryakan di badan usaha milik negara (BUMN).
Kiprah ABRI dalam bisnis sebetulnya punya riwayat panjang, bahkan lebih tua dari perannya di bidang sosial politik. Mereka sudah mulai belajar berniaga sejak Perang Kemerdekaan. Ketika itu, sejumlah perwira mendapat tugas menyelundupkan barang ke Singapura. Biasanya karet, kopra, gula, candu, atau komoditas pertanian lainnya. Di sana komoditas itu pun dibarter dengan senjata, obat, dan amunisi.


Kebiasaan ini berlanjut pada periode 1950-an. Karena pemerintah tak kuasa memasok anggaran, para panglima teritorium boleh mencari dana sendiri untuk memenuhi kebutuhan pasukannya (lihat: Ali-Baba di Saku Tentara).


Perkembangan bisnis militer yang pesat terjadi di masa Orde Baru. Menurut Indria Samego, secara institusional ada tiga bentuk keterlibatan militer dalam bisnis di Indonesia. Yaitu lewat koperasi, yayasan, dan BUMN. "Walaupun berbendera koperasi dan yayasan, usaha-usaha bisnis ABRI hampir semua memiliki perilaku seperti swasta," ujarnya.


Kiprah bisnis militer di masa Orde Baru itu dimulai dari Yayasan Dharma Putra Kostrad (YDPK), yang didirikan Mayor Jenderal Soeharto pada 1964. Bersama mitra lamanya, Liem Sioe Liong, yayasan ini membangun Bank Windu Kencana. Kerja sama itu juga berlanjut dengan pembentukan perusahaan penerbangan Seulawah dan Mandala. Yayasan ini juga pernah memiliki perusahaan PT Garuda Mataram Motor, yang menjadi agen tunggal mobil Volks Wagen (VW) dari Jerman. YDPK kini diperkirakan memiliki saham di 22 perusahaan, dari industri lem, baterai mobil, sampai asuransi.
Gurita bisnis paling gede dimiliki Angkatan Darat, yang mengendalikan bisnisnya melalui Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad), Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP), dan Grup Tri Usaha Bakti (Truba). YKEP, yang didirikan pada l972, saat Kepala Staf Angkatan Darat dipegang Umar Wirahadikusumah, kini memiliki 26 perusahaan: 22 perusahaan di bawah payung PT Truba dan empat perusahaan yang berdiri sendiri. Grup Truba saja diperkirakan memiliki total aset sebesar Rp 950 milyar.


Beberapa perusahaan besar tempat YKEP memiliki saham, antara lain, PT Bank Artha Graha, PT Danayasa Arthatama, dan PT Sempati Air. Sebagai gambaran bonafidenya YKEP, melalui PT Danayasa Arthatama, mampu membangun Kawasan Niaga Terpadu Sudirman yang menelan biaya sekitar US$ 3,25 milyar. Sedangkan Inkopad memiliki sembilan perusahaan sendiri dan tujuh perusahaan berstatus patungan (joint venture). Beberapa aset besar Inkopad, antara lain, Hotel Kartika Plaza yang kini renovasinya macet.


Satuan lain di bawah Angkatan Darat yang memiliki unit usaha sendiri adalah Korps Pasukan Khusus. Bisnis pasukan elite itu disalurkan melalui Yayasan Kobame (Korps Baret Merat). Salah satu aset Kobame adalah Graha Cijantung, sebuah kompleks pertokoan seluas 1,5 hektare yang pembangunannya menghabiskan biaya Rp 55 milyar. Yayasan Kobame menjalin aliansi dengan pengusaha Ketut Mas Agung. Selain itu, Kobame juga memiliki kapal feri KMP Tribuana I, yang melayani trayek penyeberangan Merak-Bakauheuni.


Angkatan lainnya juga punya yayasan yang menjalankan bisnis. TNI Angkatan Laut (AL), misalnya, punya Yayasan Bhumyamca (Yasbhum). Yayasan yang berdiri pada 1964 ini sudah punya 15 perusahaan. Asetnya sekitar Rp 200 milyar. Bank Bahari dan Admiral Lines termasuk perusahaan yang dibanggakan Yasbhum. Sementara itu, TNI Angkatan Udara (AU) menggeber bisnisnya lewat Yayasan Adi Upaya yang kini memayungi 17 perusahaan, termasuk Bank Angkasa. Kepolisian RI (Polri) pun tak mau ketinggalan oleh saudaranya. Mereka punya Yayasan Bhakti Brata yang mengendalikan 10 perusahaan, antara lain Bank Yudha Bhakti dan perusahaan asuransi Bhakti Bhayangkara (lihat tabel).


Selain keempat angkatan itu, Departemen Pertahanan dan Keamanan serta Markas Besar (Mabes) ABRI pun memiliki unit usaha sendiri. Mabes ABRI, misalnya, memiliki Yayasan Mabes ABRI (Yamabri), yang memiliki beberapa unit usaha, seperti PT Manunggal Air Service yang bergerak dalam jasa angkutan udara. Selain itu, Yamabri juga menjadi anggota konsorsium PT Primasel, bersama PT Inti, PT Indosat, serta Koperasi Karyawan Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. Perusahaan ini termasuk salah satu perusahaan yang mendapatkan tender proyek telekomunikasi PHS (personal handyphone service) untuk Jawa Timur.


Kiprah bisnis ABRI ini memang membawa manfaat bagi kesejahteraan prajurit dan keluarganya. YKEP, misalnya, telah membangun 14.000 rumah  BTN untuk prajurit. Yayasan ini telah pula memberikan beasiswa bagi  putra-putri prajurit yang berbakat. Sebagian dana yayasan juga digunakan untuk membangun sekolah, antara lain Universitas Jenderal Ahmad Yani di Bandung.
Yasbhum (TNI-AL) juga telah membangun dua panti asuhan untuk menampung anak prajurit yang gugur dalam tugas. Yayasan ini pula yang membangun 130 sekolah dengan nama Hang Tuah, yang tersebar di kompleks permukiman prajurit AL. Demikian juga keuntungan Yayasan Bhakti Brata (Polri) dan Yayasan Adi Upaya (TNI-AU), sebagian disalurkan untuk memperbaiki asrama dan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan prajurit lainnya.


Namun, di samping sisi positif, bisnis ABRI ini memiliki sisi negatif. "Terjadi kolusi bisnis, karena dalam prakteknya ABRI tidak berbisnis,  tapi nama ABRI dipakai," kata Indria Samego. Biasanya, perusahaan milik militer itu berkongsi dengan pengusaha swasta. YKEP, misalnya, bergandengan tangan dengan pengusaha Tommy Winata (pemilik PT Karya Nusantara Permai) dan Santoso Gunara (PT Cerana Karthapura) di Bank Artha Graha. YKEP memiliki 40% saham, sedangkan sisanya dibagi rata Tommy dan Santoso.


Di PT International Timber Corporation Indonesia, YKEP menggandeng mitra yang lain, yaitu Mohamad "Bob" Hasan dan Bambang Trihatmodjo. Di perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan ini, YKEP menguasai 51% saham, Bob Hasan 35%, sedangkan Bambang Trihatmodjo 30%. Yasbhum juga menjalin mitra dengan Mochtar Riady dari Grup Lippo dalam mengelola Bank Bahari. Sementara itu, Yayasan Bhakti Brata menggandeng Mbak Tutut (Siti Hadijanti Rukmana) dalam proyek pembuatan surat izin mengemudi.


Bagi pengusaha, kata Indria Samego, berkongsi dengan ABRI bisa memberikan keuntungan ganda. Pertama, mereka mendapat perlindungan, sehingga bisnisnya tak diusik. Kedua, mereka bisa mendapatkan fasilitas, mulai perizinan sampai kredit. "Kasus Eddy Tansil, misalnya. Dia mendapat kredit kan berkat beking dari Sudomo, salah satu bekas orang kuat militer," kata Indria.
Kecenderungan kerja sama pengusaha-ABRI dan juga dengan elite politik lainnya inilah yang mendorong tumbuhnya kapitalisme semu di Indonesia, yaitu kelas para pengusaha yang sangat bergantung pada elite penguasa. "Ini yang menimbulkan banyak perusahaan Ali-Baba. Pakai nama Ali tapi yang maju Baba," kata Indria. Ali adalah idiom untuk nama pejabat yang sering dicantumkan sebagai direktur atau komisaris, padahal perusahaan itu dikendalikan si Baba (pengusaha keturunan Tionghoa).


Selain perusahaan Ali-Baba, bentuk lain intervensi militer dalam bisnis didapati pada beberapa perusahaan yang mendapat dukungan dari pejabat tinggi ABRI. Grup Betara Indra, milik pengusaha Robby "Ketek" Sumampow dan Tedjowibowo, bisa dijadikan sebagai contoh. Grup usaha yang didirikan pada 1977 ini menjadi kuat karena mencantumkan nama mantan Panglima ABRI, Benny Moerdani, sebagai salah seorang komisarisnya.
Lewat PT Denok Hernandes Indonesia, pengusaha ini berhasil mendapatkan hak monopoli dalam perdagangan kopi dan kayu cendana di Timor Timur. Kopi dan kayu cendana harus dijual ke PT Denok. Harganya dipatok sepihak. Di pasar bebas harga kopi mencapai Rp 13.000 per kilogram, tapi PT Denok cukup membelinya dengan harga Rp 300 per kilogram. Enam bulan setelah integrasi, Denok sudah bisa mengekspor 500 ton kopi ke Singapura. Masa kejayaan Denok di Bumi Loro Sae itu berakhir setelah Benny Moerdani kehilangan kekuasaannya di ABRI. Toh Robby Sumampow sudah telanjur besar.


Jika tak mampu meraih petinggi ABRI sebagai beking, para pengusaha tak segan mencatut nama ABRI untuk melancarkan usahanya. Misalnya, ada truk-truk milik swasta yang menempelkan stiker Primkopad, Primkoppol, dan berbagai koperasi milik ABRI lainnya tanpa izin resmi. "Kalau mereka berlaku buruk, nama ABRI yang jelek," kata Indria.


Dampak lainnya, kata Indria Samego, hubungan baik antara perwira ABRI dan pengusaha ini bisa melunturkan profesionalisme. Para perwira lebih suka berkumpul dengan kalangan pengusaha daripada memimpin pasukan di lapangan. "Kita bisa melihat, penghasilan anggota ABRI tidak merata. Ada yang mendapat besar, ada yang cuma kecipratan. Ini menimbulkan kontradiksi internal," kata Indria lagi. Lebih jauh, Indria malah melihat peran bisnis ini mengganggu fungsi utama ABRI sebagai aparatur pertahanan dan keamanan. "Istilahnya, ABRI itu bisa di segala bidang, kecuali di fungsi utamanya sendiri," ujarnya. Tak tuntasnya kasus separatis di Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur, serta berlarut-larutnya penyelesaian "kasus santet" Banyuwangi, barangkali bisa menjadi contoh untuk masalah ini.


Dalam bukunya, Bisnis Militer Orde Baru, Iswandi juga memiliki pandangan minor terhadap bisnis ABRI. Bisnis militer, menurut mantan mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, ini, tak lepas dari karakternya yang dekat dengan kekerasan dan serba tertutup. Akibatnya, persoalan bisnis, seperti sengketa buruh dengan majikan, diselesaikan dengan cara kekerasan. Demikian juga dalam kasus pembebasan tanah. "Kasus buruh seperti Marsinah, atau kasus pembebasan tanah Nipah di Madura, tidak lepas dari tindak kekerasan," kata Iswandi kepada Rita Triana Budiarti dari Gatra.


Sifat bisnis militer lainnya, menurut Iswandi, adalah tertutup. "Mereka memperlakukan bisnisnya itu seperti sebuah lembaga pertahanan dan keamanan yang tertutup. Tidak transparan," ujarnya. Ini dibenarkan Indria Samego. Pihak LIPI pun, ketika melakukan penelitian, tidak bisa mendapatkan data, berapa penghasilan yayasan-yayasan itu dari bisnisnya, dan berapa yang murni mengalir untuk kesejahteraan prajurit. "Biasanya, yang mendapat banyak itu adalah mereka, para perwira yang terlibat. Tapi berapa persen dari penghasilan perusahaan militer itu yang digunakan untuk kesejahteraan, belum jelas," kata Indria.


Akhirnya, baik Indria Samego maupun Iswandi punya kesimpulan yang sama dalam bukunya: "Dampak negatif bisnis militer lebih banyak dibandingkan dengan dampak positifnya," kata Indria. Pendapat itu mendapat dukungan dari mantan Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal (purnawirawan) M. Jasin. "Awalnya, ABRI berbisnis cuma untuk menambah pendapatan. Tapi belakangan ini sudah keterlaluan," kata M. Jasin kepada wartawan Gatra Andi Zulfikar Anwar. Soalnya, bisnis ABRI sudah merambah ke mana-mana. "Semua mau dikuasainya," kata Jasin lagi.
Ironisnya, menurut Indria, di tengah gegap gempitanya arus reformasi, peran bisnis ABRI sama sekali belum tersentuh. "Bisnis militer dengan segala dampaknya itu masih berjalan seperti biasa," kata Indria. Maka, dalam bukunya, Indria pun mengajukan beberapa tesis mengenai peran bisnis militer di masa depan. Menurutnya, untuk menghindari berbagai dampak negatif itu, hendaknya peran bisnis ABRI dibatasi. Untuk kebutuhan ABRI sendiri, sedapat mungkin ditambahkan lewat APBN. "Kalau kurang sedikit, ya wajar saja. Toh semua pegawai negeri juga kekurangan," kata Indria.


Malah, menurut perhitungan Indria, dibandingkan dengan departemen lain, anggaran ABRI sebenarnya lebih besar, karena lembaga ini mendapat dana nonbujeter yang tidak kecil jumlahnya. "Kan aneh kalau ABRI bilang anggarannya kurang, tapi minggu lalu ada acara pembagian jip Cherokee untuk seluruh komandan komando resor militer. Duitnya dari mana," kata Indria.
Menurut Indria, pintu buat ABRI berbisnis sebenarnya dimungkinkan. "Tapi sebaiknya dilakukan lewat koperasi saja," kata Indria. Dengan koperasi, target perusahaan menjadi jelas, hanya untuk kesejahteraan anggota koperasi. Pertanggungjawabannya pun harus transparan di depan rapat anggota koperasi. Perseroan dan yayasan milik ABRI itu, menurut Indria, sebaiknya dijadikan sebagai BUMN. "Jadi, pertanggungjawaban keuangannya pun jelas. Tidak cuma di antara pengurus yayasan," kata Indria menambahkan.


Namun, pengusaha Tommy Winata menolak semua tuduhan miring terhadap bisnis militer itu. "Pernyataan mereka hanya ingin mendiskreditkan ABRI. Kenapa sih hanya bisnis ABRI yang ditelanjangi," kata Tommy, yang menjalin kerja sama dengan militer lewat PT Artha Graha dan PT Danayasa Arthatama. Sebagai pengusaha yang cukup lama bermitra dengan ABRI, Tommy merasa tidak pernah menggunakan kekuasaan ABRI untuk kelancaran bisnisnya. "Yang saya rasakan adalah security feeling. Tak ada itu penggunaan kekuasaan," kata Tommy (lihat: Pemerintah Apa Maunya). Pendapat Tommy didukung Kapolri Letnan Jenderal Roesmanhadi. "Melalui badan usaha itu, kita berbisnis murni. Kita ikut tender dalam mendapatkan proyek. Tidak bisa dong meminta pengistimewaan. Itu namanya menyalahi aturan," kata Roesmanhadi kepada Endang Sukendar dari Gatra.


Lain lagi pendapat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letnan Jenderal Agum Gumelar. Ia mengakui adanya penggunaan kekuasaan di masa Orde Baru, tak hanya di bidang bisnis, bahkan pada semua aspek kehidupan. "Itu cara-cara lama yang tidak populer dan harus dihilangkan. Pendekatan kekuasaan, termasuk di dalam bisnis, dalam era sekarang sudah tak boleh lagi," kata Agum. Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto berpendapat sama. "Kekurangan di sana-sini harus kita perbaiki. Untuk urusan yang ini sudah saya wanti-wanti. Jangan bertindak melakukan usaha yang tidak sesuai dengan perundang-undangan dan hukum yang berlaku. Harus fair," kata Wiranto.


Salah satu contoh upaya ABRI mengikuti kompetisi yang wajar dituturkan Brigadir Jenderal Robik Mukav, Wakil Ketua Yamabri. Menurut Robik, beberapa waktu lalu Yamabri ikut tender di Departemen Pertambangan, untuk mengolah batu bara di Kalimantan. Ternyata, Yamabri cuma mendapat peringkat keenam. "Ketika dilaporkan, Pangab malah bilang bagus, karena dengan mengikuti tender secara fair membuktikan bahwa kita profesional," kata mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat ini.


Salah satu perusahaan di bawah bendera Yamabri, PT Manunggal Air Service (MAS), malah sedang tertimpa masalah. Pesawat milik MAS ditangkap di Bandara Juanda, Surabaya, karena kedapatan mengangkut ular tanpa dilengkapi dengan dokumen lengkap. Ternyata, Yamabri membiarkan oknum yang terlibat penyelundupan itu ditindak. "Mabes ABRI tidak akan melakukan pembelaan kepada segelintir orang dengan mengorbankan nama baik ABRI," kata Robik.
Namun, untuk menghapus peran bisnisnya, ABRI tampaknya masih sulit. Masalahnya, ABRI masih membutuhkan tambahan anggaran untuk kesejahteraan anggotanya. "Antara kesejahteraan dengan disiplin dan tugas sangat erat hubungannya. Tidak mungkin kita paksakan disiplin untuk bertugas tanpa ada suatu perhatian kesejahteraan kepada mereka," kata Wiranto.


Bambang Sujatmoko, Linda Djalil, dan A. Latief Siregar


Sumber : http://www.gatra.com/IV/51/LKH1-51.html

0 comments:

Post a Comment