Thursday, July 2, 2015
Raja Nusantara Tak Bermahkota
Cokroaminoto duduk di paling kanan
"Setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat, semurni-murni tauhid."
~H.O.S Cokroaminoto
SEABAD kurang dua hari sebelum saya lahir pada Agustus 1982, seorang jabang bayi yang kelak jadi manusia bijak bestari dan terangkat pamornya ke puncak tertinggi kehidupan, lahir di Bakur, Ponorogo, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Bayi ini adalah cicit dari seorang ulama kenamaan, disegani, dan telah mencetak pemimpin dan ulama kawakan Nusantara, Kyai Bagus Kesan (Hasan)[i] Besari. Pemimpin dan pengasuh Pondok Pesantren Gebang Tinatar di Desa Tegalsari, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun.
Sekadar menyebut dua nama santri Kiyai Kesan Besari yang masih harum namanya hingga kini adalah, Paku Buwana II atau Sunan Kumbul, Raja Kerajaan Kartasura; dan Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803 M), seorang pujangga Jawa yang masyhur.
Raden Mas Cokroamiseno, orangtua dari bayi yang mujur itu, kemudian menamai anak keduanya, Umar (Oemar) Said Cokroaminoto. Dari duabelas anaknya nanti, Cokroaminoto-lah satusatunya mutiara hitam yang dititisi trah leluhurnya yang terpuji itu. Kakeknya, Raden Mas Adipati Cokronegoro, pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo. Hanya dengan merunut rantai kakek dan buyutnya, kita bisa mengerti mengapa sosok Cokroaminoto bisa sampai meraksasa seperti yang terekam sejarah negeri ini.
Langgar Ponpes Tegalsari pada Abad-19
Diakui atau tidak, diamini pun ditolak, pada kenyataannya hidup ini sangat dekat dengan perkastaan dalam tradisi Hindu. Berikut ini kami sodorkan data-fakta terkait pentingnya belajar memahami syajaratun (pohon keluarga)—yang kini kita kenal sebagai ilmu sejarah.
Dr. Tim La Haye dalam bukunya You and Your Family, membuat diagram silsilah dua orang yang hidup pada abad 18. Orang pertama, Max Jukes, penyelundup alkohol yang tidak bermoral. Orang kedua, Dr. Jonathan Edwards, pendeta saleh dan pengkhotbah kebangunan rohani. Jonathan menikah dengan seorang perempuan beriman dan menganut filsafat hidup yang baik. Melalui silsilah kedua orang ini ditemukan bahwa dari Max Jukes terdapat 1.026 keturunan: 300 orang mati muda, 100 orang dipenjara, 190 orang pelacur, 100 orang peminum berat. Dari Dr. Edwards terdapat 729 keturunan: 300 orang pengkhotbah, 65 orang profesor di universitas, 13 orang penulis, 3 orang pejabat pemerintah, dan 1 orang wakil presiden Amerika.
Berdasar diagram yang dibuat Dr. Tim La Haye tersebut, kita bisa melihat bahwa kebiasaan, keputusan dan nilai-nilai dari generasi terdahulu sangat memengaruhi kehidupan generasi berikutnya.
Mari kembali pada kehidupan Cokroaminoto muda.
Usai menamatkan sekolah Ongko Loro, Cokro melanjutkan studinya ke OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Magelang, dan pada 1902, ia berhasil menyelesaikan studinya di sana.
Raden Ajeng Suharsikin, puteri seorang patih wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangunsumo, pun ia sunting sebagai istri yang lantas berganti nama menjadi Raden Ayu Cokroaminoto. Perempuan ini dikenal berbudi pekerti halus, perangainya baik, dan cekatan. Walaupun tidak tinggi pendidikan sekolahnya, namun ia sangat menyukai pengajaran dan pengajian agama.
Menurut asal-usulnya, ia keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir di Madiun. Jadi antara Cokroaminoto dan Suharsikin, sama dibesarkan dan mewarisi trah unggul di zamannya.
Ikhwal berseteru dengan pengusaha Belanda yang semenamena terhadap karyawannya, Cokroaminoto yang tampil sebagai pembela si buruh, memilih hengkang. Masalah bertambah ketika ia kembali ke rumah mertuanya, Mangunsumo. Tindakan Cokro itu malah tak beroleh dukungan sama sekali. Sebab Mangunsumo adalah seorang pejabat yang mengabdi pada dawuhnya kolonial Belanda.
Perselisihan dua generasi beda zaman itu, menelan korban. Cokro harus angkat kaki, lantas merantau ke Semarang pada 1905. Melalui H. Hasan Ali Surati, seorang saudagar kaya dari India yang menjadi ketua Perkumpulan Manikem, Cokro diperkenalkan pada empat pengurus Sarekat Dagang Islam (SDI) yang sedang menjajaki pembukaan cabang di Surabaya. Merasa tak menemukan tantangan berarti, sambil melakukan penjajakan, ia kemudian memutuskan pindah ke Surabaya.
Sebelum bergabung dengan SDI, Cokro sempat menjadi Ketua Panti Harsoyo. Ia juga bekerja pada sebuah firma, Kooy & Co, dan pabrik gula, Rogojampi, sebagai seorang chemiker.
Sambil itu, ia pun tak lupa meluangkan waktu menambah ilmu pengetahuan. Pada 1907-1910, ia kembali mengikuti pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School). Ketika SDI afdeling Surabaya berdiri dan Cokro bertindak sebagai ketua, maka manusia pilihan tanah Jawa itu pun mulai unjuk gigi. Seperti tersirat dalam pidato yang ia sampaikan pada Juni 1912:
Kita mencintai bangsa ini, dan dengan ajaran agama (Islam), mari berusaha sepenuhnya mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa ini. Kita, mencintai negeri yang telah menyaksikan kelahiran kita ...
Pidato ini sekaligus menjadi penanda pemindahan tampuk kepemimpinan SDI dari Haji Samanhudi ke Umar Said Cokroaminoto. Nama SDI pun berubah menjadi Sarekat Islam (SI) sejak didirikan pada 1905. Berdasar itulah, Cokro menyatakan bahwa SI bukan organisasi politik, dan bertujuan meningkatkan perdagangan antarbangsa, membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat Nusantara.
Upaya mewujudkan asas tersebut, dibuktikan Cokro dengan mendirikan surat kabar pada setiap afdeling SI. Dua di antaranya yang terbesar adalahUtusan Hindia dan Fajar Asia. Satu lagi, majalah Al-Jihad.
Geliat Cokro ini mulai menggelisahkan pihak kolonial Belanda, setelah tujuh dekade sebelumnya mereka berhasil meredam perjuangan Diponegoro. Kali ini tugas mereka jauh lebih berat. Karena yang digerakkan Cokro adalah pikiran orang se-Nusantara. Ia tampil menjadi mesiah bagi begitu banyak orang yang telah pupus harapannya. Cokro menyimpan harapan itu dalam sorot matanya yang tajam. Meski perawakannya sedang belaka, namun dalam rambatan suaranya tersimpan ledakan besar zaman yang siap bergegas.
H.O.S Cokroaminoto
Melampaui Bangsawan Pikiran
KEMUNCULAN Cokroaminoto, masih diikuti seorang tokoh lain yang juga menggerakkan pikiran massa, Tirto Adhisuryo (Bapak Pers Indonesia). Keduanya sama berjuang dengan pena, sama menggunakan perserikatan, dan pendampingan hukum. Beda tegasnya adalah, SI berhasil melampaui sekat bangsawan pikiran sebagaimana yang digaungkan Tirto melalui Sarekat Priyayi yang ia dirikan. Merujuk pada namanya saja, kita akan mudah mengerti bagaimana SI bisa meraup anggota hingga 2,5 juta orang.
Pencapaian luarbiasa mengagumkan bila merujuk pada zaman itu.
Daya pikat Cokro pun segera menyeruak ke seantero negeri. Tapi yang paling membekas justru terjadi di rumahnya sendiri—yang digandakan fungsinya oleh Sukarsihin menjadi tempat indekos. Kala itu, pelajar yang mondok di rumah Cokro sekitar 20 orang. Kebanyakan dari mereka bersekolah di M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), atau H.B.S (Hollands Binnenlands School).
1915. Seorang guru paruh baya, Raden Sukemi Sosrodiharjo bergegas penuh semangat mengantar anaknya yang akan segera menjadi siswa H.B.S Surabaya. Takdir membawa sang anak pada rantai pertemanan orangtuanya yang mengenal dengan baik Cokroaminoto. Kerana letak H.B.S yang tak begitu jauh dari rumah Cokro di Jalan Peneleh, maka sempurnahlah takdir itu. Raden Sukemi pun menitipkan anaknya, Kusno Sosrodiharjo pada De Ongekroonde van Java (Raja Jawa Tanpa Mahkota) sebagaimana kolonial Belanda menjuluki Cokro.
Di rumah Cokro, Kusno yang kini kita kenal sebagai Ir. Sukarno, mukim seatap bersama para siswa yang sudah lebih dulu menetap. Ada Semaun, Alimin, Sampurno, Muso, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka—selain Darsono (sekretaris pribadi Cokro), Agus Salim (sekretaris SI), dan Abdul Muis, rekan seperjuangan Cokro di Dewan Rakyat (Volksraad).
Bentuk awal rumah Cokro bisa diketahui dari penuturan Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
“Pada seperempat jalan jauhnya masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviliun setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Cokro tinggal di depan; kami yang bayar-makan di belakang. Loteng yang disebut-sebut Sukarno sampai hari ini masih terawat. Luas ruang atas sekira 2x4 meter itu dibiarkan kosong melompong. Lubang kecil di tembok menjadi satu-satunya celah sinar matahari untuk menerangi ruangan.”
Persemaian benih kepemimpinan pun terjadi begitu indah. Para pelajar H.B.S itu, yang satu di antaranya kelak menjadi presiden Republik Indonesia pertama, tahu persis bagaimana induk semang mereka mengurusi organisasi sebesar SI. Saking besarnya, Cokro terpaksa harus mendirikan Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai pengawas begitu banyak afdeling yang telah berdiri di tiap daerah Nusantara. Tujuannya adalah:
“Yang kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai (tahap) pemerintahan sendiri.”
~dalam “HetS.I. Congres,” De Indische Gids, 40, 1918.
1917. SI berubah menjadi partai.
Pada 25 November 1918, Cokro mengajukan “Mosi Cokroaminoto” yang menuntut Belanda membentuk parlemen dari dan oleh rakyat.
Belanda mengabulkan mosi itu dan mengangkat Cokro menjadi anggotaVolksraad (Dewan Kehormatan Hindia Belanda yang berkantor di Batavia [Jakarta]), bersama Cipto Mangunkusumo, dan Abdul Muis. Kesempatan besar ini ia gunakan untuk menggugat kolonial Belanda dari jarak dekat melalui D.A Rinkes, sahabatnya, yang juga adalah orang kepercayaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Idenburg.
Akibat keberanian Cokro menggugat kedegilan kolonial Belanda sambil duduk di Volksraad, ia malah harus mengalami banyak tekanan dari tubuh SI dan rekan seperjuangan. Kelakuan menarik Cokro ini, kelak diulangi muridnya, Sukarno, ketika memanfaatkan Jepang mendirikan PETA (Pembela Tanah Air) dan menjadikan dirinya alat “propaganda” Jepang ke seantero Nusantara—yang sejatinya adalah upaya mendepak penjajahan dan mendirikan pemerintahan sendiri.
1920. Cokro dijebloskan Belanda ke penjara selama tujuh bulan, lalu bebas tanpa syarat karena terbukti tak bersalah. Belanda kembali memintanya duduk dalam Volksraad, namun Cokro menolak karena ia tidak mau bekerja sama lagi dengan kolonial Belanda.
ώ
SELEPAS keluar dari penjara, Cokroaminoto masih terus bergegas menyongsong zaman baru yang terus bergerak. Hanya saja ia sudah menua dan tampak keletihan. Para pemuda yang ia didik di Peneleh mulai tampil satu persatu di panggungnya masingmasing.
17 Desember 1934. Cokroaminoto memungkasi usianya pada angka 52 tahun. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Pekuncen, Yogyakarta. Cokro pergi melanjutkan perjalanan spiritualnya dengan menitipkan Siti Utari pada Sukarno, Utaryo (Anwar), Harsono (Mustafa Kamil), Siti Islamiyah, Sujud Ahmad, dan sebuah buku monumental berjudul Islam dan Sosialisme.
Kenapa Cokro menitipkan Utari pada Sukarno? Karena Sukarno adalah murid adicitanya yang paling ia banggakan, paling cerdas, dan sedikit banyak, bermiripan dengannya—malah dalam soal berpidato, Sukarno jauh lebih dahsyat dibanding gurunya itu. Meskipun begitu, suatu saat Sukarno pernah berkata penuh ketakziman dengan redaksi seperti ini:
“Seandainya Pak Cokro tidak meninggal lebih cepat, beliau pasti menjadi presiden kita yang pertama, bukan saya. Karena dibanding beliau, saya ini tidak ada apaapanya.”
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 59011961, tanggal 9 November 1961, Haji Umar Said Cokroaminoto diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Di Jakarta dan banyak tempat lain di Indonesia, namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Sukarno, murid yang sangat tahu cara membalas budi baik gurunya itu, mungkin pernah dititipi amanah tuk melanjutkan perjuangan merebut kemerdekaan. Pantas bila di antara keduanya, sulit dicari titik pembeda. Keduanya, pemimpin besar.
Cokroaminoto adalah raja Nusantara tak bermahkota.
Sukarno, adalah presiden sebuah negara berdasar mimpi besar gurunya sendiri.
Barangkali, sambil mengenang dengan manis peran gurunya itu, sebelum menjadi proklamator bersama Mohamad Hatta—dan presiden Republik Indonesia, Sukarno kerap mengingat dengan baik ucapan Cokroaminoto yang menggelora ini, "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator." []
Catatan akhir:
[i] Semua bentuk peyorasi terkait penulisan nama seperti pada kasus Kiyai Hasan Besari dan penggunaan ejaan lama Hindia Belanda, saya tiadakan demi memudahkan pembaca dalam melakukan penelaahan. Selain menghindari upaya pengerdilan yang sengaja ditanam Belanda melalui politisasi nama sebagaimana yang diingatkan Bung Karno dalam otobiografinya. Beliau melarang tegas namanya ditulis dengan ejaan Soekarno dengan alasan di atas, kecuali untuk tanda tangannya yang sudah kadung tertera di teks Proklamasi.
Sumber : http://mataharisemesta.blogspot.com/2015/04/raja-nusantara-tanpa-mahkota.html
0 comments:
Post a Comment