Berric Dondarrion
17 Jun 2014 | 20:03
Beberapa hari ini Jokowi mencoba mengumbar Kartu Indonesia Sehat/KIP dan Kartu Indonesia Pintar/KIP sebagai salah satu program unggulan dia bila terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Sudah bisa ditebak bahwa KIS adalah program yang memiliki ide sama dengan Kartu Jakarta Sehat/KJS, sedangkan KIP dengan Kartu Jakarta Pintar/KJP yang diterbitkan pada masa kepemimpinan Jokowi di Jakarta. Artikel ini hanya akan membahas KIS dan KJS sedangkan KIP dan KJP akan dibahas pada kesempatan lain.
Pertanyaan paling adil tentu saja apakah KJS layak dijadikan barometer untuk mengukur keberhasilan Jokowi di Jakarta? Dengan penuh keyakinan saya harus mengatakan sama sekali tidak, sebaliknya KJS justru tonggak pertama dari kegagalan Jokowi di Jakarta. KJS bukan proyek gagal Jokowi yang pertama dan yang jelas juga bukan proyek gagal yang terakhir.
Kegagalan KJS sesungguhnya sudah dimulai sejak di dalam kandungan karena sistem KJS tidak dipersiapkan dengan matang sebelum diluncurkan. Bagaimana sistem KJS ketika pertama kali diluncurkan? Pemakai KJS cukup menunjukan KTP DKI ke puskesmas atau rumah sakit yang menerima KJS, selain itu KJS berlaku untuk semua jenis penyakit atau keluhan. Mekanisme pembayaran dilakukan dengan cara reimbursement dalam arti tagihan pengobatan dan tagihan obat ditagihkan oleh puskesmas atau rumah sakit kepada Pemprov DKI Jakarta dengan jumlah penuh.
Karena KJS bisa untuk semua penyakit maka banyak masyarakat Jakarta yang mencoba aji mumpung dan mendatangi puskesmas atau rumah sakit dengan keluhan minor seperti lecet karena jatuh dari motor sampai keluhan yang mengada-ngada seperti mengobati jerawat. Bisakah anda bayangkan dampak situasi seperti ini terhadap puskesmas atau rumah sakit? Benar, lebih ramai daripada pasar malam dan:
- Bagi dokter dan perawat ledakan pasien membuat mereka dalam memeriksa pasien harus cepat-cepat dan karena itu tidak bisa memeriksa setiap pasien dengan teliti dan komprehensif sebab masih banyak pasien yang harus diperiksa.
- Bagi pasien yang benar-benar sakit tidak mendapat perawatan yang memadai sehingga mengurangi pelayanan kesehatan sampai ditolak puskesmas atau rumah sakit karena kapasitas kepenuhan, dan akibatnya banyak pasien miskin meninggal, contoh:
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/09/16385850/Ditolak.Empat.RS.Pasien.Akhirnya.Meninggal
http://matamata.com/news/2014/02/20/062959/tolak-pasien-dirawat-di-icu-pengguna-kjs-meninggal-di-rumah-sakit/
Selain itu puskesmas dan rumah sakit yang bermaksud menagih biaya pengobatan dan biaya obat ke Pemprov DKI Jakarta ternyata juga mengalami kesulitan karena Pemprov tidak mempunyai dana mengingat nilai tagihan sangat besar dan dari awal KJS tidak dianggarkan dalam APBD era Foke dan belum dilakukan perubahan (KJS terbit saat APBD Foke masih berlaku). Kepanikan-pun melanda puskesmas dan rumah sakit karena mereka membutuhkan modal untuk kerja sementara modal mereka berupa tagihan yang belum terbayar masih tertahan di pemprov DKI.
Sistem reimbursement juga berbahaya terhadap APBD karena seluruh biaya berobat masyarakat wajid ditanggung oleh Pemprov DKI menggunakan dana APBD, bayangkan beratnya APBD karena sistem ini? Sistem Jokowi nyaris membuat APBD bangkrut.
Anda bisa membayangkan kekacauan yang ditimbulkan oleh KJS era Jokowi?
Setelah nyata kekacauan yang terjadi tidak bisa ditanggulangi oleh Jokowi, akhirnya Kementerian Kesehatan turun tangan dan mengganti sistem KJS ala Jokowi dengan INA-CBG, yaitu sistem yang disiapkan untuk pelaksanaan BPJS tahun 2014. Jadi bisa dibilang bahwa KJS yang gagal tapi terlanjur beredar di masyarakat diperlakukan sebagai uji coba untuk mematangkan BPJS. Sejak KJS menggunakan INA-CBG sebagai sistemnya, semua masalah dan keluhan masyarakat maupun puskesmas dan rumah sakit hilang dengan sendirinya.
Nah, sekarang Jokowi mau memberlakukan KJS untuk seluruh Indonesia? Pakai sistem yang mana? Sistem kacau ala Jokowi atau sistem INA-CBG? Bila INA-CBG maka sama saja KIS adalah BPJS dan jadinya sekedar pengulangan, untuk apa? Tidak berguna dan hanya menghabiskan anggaran. Bila pakai sistem Jokowi maka akan semakin banyak rakyat miskin meninggal dunia akibat kekacauan pasca penerbitan KIS.
Kemarin ada timses Jokowi bertanya duluan mana KJS atau BPJS untuk menanggapi kritikan bahwa KIS hanya pengulangan BPJS. Yah, secara formalitas memang duluan KJS akan tetapi roh dalam KJS adalah BPJS karena sistem Jokowi penuh kekacauan, bila demikian maka benar apa yang dikatakan oleh Nurul Arifin bahwa KIS Jokowi hanya sekedar tipu-tipu saja.
Read More...
17 Jun 2014 | 20:03
Beberapa hari ini Jokowi mencoba mengumbar Kartu Indonesia Sehat/KIP dan Kartu Indonesia Pintar/KIP sebagai salah satu program unggulan dia bila terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Sudah bisa ditebak bahwa KIS adalah program yang memiliki ide sama dengan Kartu Jakarta Sehat/KJS, sedangkan KIP dengan Kartu Jakarta Pintar/KJP yang diterbitkan pada masa kepemimpinan Jokowi di Jakarta. Artikel ini hanya akan membahas KIS dan KJS sedangkan KIP dan KJP akan dibahas pada kesempatan lain.
Pertanyaan paling adil tentu saja apakah KJS layak dijadikan barometer untuk mengukur keberhasilan Jokowi di Jakarta? Dengan penuh keyakinan saya harus mengatakan sama sekali tidak, sebaliknya KJS justru tonggak pertama dari kegagalan Jokowi di Jakarta. KJS bukan proyek gagal Jokowi yang pertama dan yang jelas juga bukan proyek gagal yang terakhir.
Kegagalan KJS sesungguhnya sudah dimulai sejak di dalam kandungan karena sistem KJS tidak dipersiapkan dengan matang sebelum diluncurkan. Bagaimana sistem KJS ketika pertama kali diluncurkan? Pemakai KJS cukup menunjukan KTP DKI ke puskesmas atau rumah sakit yang menerima KJS, selain itu KJS berlaku untuk semua jenis penyakit atau keluhan. Mekanisme pembayaran dilakukan dengan cara reimbursement dalam arti tagihan pengobatan dan tagihan obat ditagihkan oleh puskesmas atau rumah sakit kepada Pemprov DKI Jakarta dengan jumlah penuh.
Karena KJS bisa untuk semua penyakit maka banyak masyarakat Jakarta yang mencoba aji mumpung dan mendatangi puskesmas atau rumah sakit dengan keluhan minor seperti lecet karena jatuh dari motor sampai keluhan yang mengada-ngada seperti mengobati jerawat. Bisakah anda bayangkan dampak situasi seperti ini terhadap puskesmas atau rumah sakit? Benar, lebih ramai daripada pasar malam dan:
- Bagi dokter dan perawat ledakan pasien membuat mereka dalam memeriksa pasien harus cepat-cepat dan karena itu tidak bisa memeriksa setiap pasien dengan teliti dan komprehensif sebab masih banyak pasien yang harus diperiksa.
- Bagi pasien yang benar-benar sakit tidak mendapat perawatan yang memadai sehingga mengurangi pelayanan kesehatan sampai ditolak puskesmas atau rumah sakit karena kapasitas kepenuhan, dan akibatnya banyak pasien miskin meninggal, contoh:
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/09/16385850/Ditolak.Empat.RS.Pasien.Akhirnya.Meninggal
http://matamata.com/news/2014/02/20/062959/tolak-pasien-dirawat-di-icu-pengguna-kjs-meninggal-di-rumah-sakit/
Selain itu puskesmas dan rumah sakit yang bermaksud menagih biaya pengobatan dan biaya obat ke Pemprov DKI Jakarta ternyata juga mengalami kesulitan karena Pemprov tidak mempunyai dana mengingat nilai tagihan sangat besar dan dari awal KJS tidak dianggarkan dalam APBD era Foke dan belum dilakukan perubahan (KJS terbit saat APBD Foke masih berlaku). Kepanikan-pun melanda puskesmas dan rumah sakit karena mereka membutuhkan modal untuk kerja sementara modal mereka berupa tagihan yang belum terbayar masih tertahan di pemprov DKI.
Sistem reimbursement juga berbahaya terhadap APBD karena seluruh biaya berobat masyarakat wajid ditanggung oleh Pemprov DKI menggunakan dana APBD, bayangkan beratnya APBD karena sistem ini? Sistem Jokowi nyaris membuat APBD bangkrut.
Anda bisa membayangkan kekacauan yang ditimbulkan oleh KJS era Jokowi?
Setelah nyata kekacauan yang terjadi tidak bisa ditanggulangi oleh Jokowi, akhirnya Kementerian Kesehatan turun tangan dan mengganti sistem KJS ala Jokowi dengan INA-CBG, yaitu sistem yang disiapkan untuk pelaksanaan BPJS tahun 2014. Jadi bisa dibilang bahwa KJS yang gagal tapi terlanjur beredar di masyarakat diperlakukan sebagai uji coba untuk mematangkan BPJS. Sejak KJS menggunakan INA-CBG sebagai sistemnya, semua masalah dan keluhan masyarakat maupun puskesmas dan rumah sakit hilang dengan sendirinya.
Nah, sekarang Jokowi mau memberlakukan KJS untuk seluruh Indonesia? Pakai sistem yang mana? Sistem kacau ala Jokowi atau sistem INA-CBG? Bila INA-CBG maka sama saja KIS adalah BPJS dan jadinya sekedar pengulangan, untuk apa? Tidak berguna dan hanya menghabiskan anggaran. Bila pakai sistem Jokowi maka akan semakin banyak rakyat miskin meninggal dunia akibat kekacauan pasca penerbitan KIS.
Kemarin ada timses Jokowi bertanya duluan mana KJS atau BPJS untuk menanggapi kritikan bahwa KIS hanya pengulangan BPJS. Yah, secara formalitas memang duluan KJS akan tetapi roh dalam KJS adalah BPJS karena sistem Jokowi penuh kekacauan, bila demikian maka benar apa yang dikatakan oleh Nurul Arifin bahwa KIS Jokowi hanya sekedar tipu-tipu saja.