Kloningan

Monday, June 16, 2014

Hukuman Mati untuk Wiranto, Soebagyo HS dan Fachrul Razi

Leave a Comment
Berric Dondarrion
16 Jun 2014 | 13:23

Membicarakan Kerusuhan 13-14 Mei 1998 sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari pembantaian, pemerkosaan, penganiyaan, pengusiran paksa penduduk setempat, sampai pembumihangusan massal terhadap rumah, kantor dan gereja terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat yang dilakukan 5 September 1999 dengan hasil mayoritas memilih merdeka. Polanya sungguh mirip dengan perampokan, pemerkosaan, pembumihangusan rumah dan kantor, serta penganiyaan pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998 bukan?

Menanggapi kejadian tersebut, Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengadakan sidang darurat yang diadakan di Jenewa tanggal 23-27 September 1999 dan menyimpulkan telah terjadi kolusi antara tentara, polisi dan milisi lokal. "Kebetulan", walaupun memiliki posisi berbeda, tapi pemimpin militer saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah orang yang sama dengan saat kerusuhan di Timor Timur 1999 misalnya: Wiranto (Panglima ABRI saat 1998; Menhankam saat 1999); Subagyo HS tidak berubah; dan Fachrul Razi (Kasum saat 1998 dan Wakil Panglima TNI saat 1999).

Atas desakan internasional, Pemerintah Indonesia dan Komnas HAM melalui Keputusan No. 770/TUA/IX/99 tanggal 22 September 1999 membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor Timur (KPP HAM Timtim) dengan hasil telah terjadi kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) karena terjadi pembunuhan massal, perbudakan, pemerkosaan, pembumihangusan rumah tinggal dan kantor, dan pengusiran paksa.

Temuan lain adalah pelaku berdasarkan bukti yang dikumpulkan KPP HAM Timtim adalah tentara, polisi, milisi yang melanggar hak asasi by commission dan by omission, jadi pelaku bukan orang di lapangan saja, melainkan orang yang memegang tampuk komando, dan dalam hal ini Jenderal Wiranto dianggap yang paling bertanggung jawab serta direkomendasikan untuk disidik dan diadili. Dalam kasus ini ini KPP HAM Timtim memberlakukan doktrin "command responsibility" yang lahir dari pengadilan Nuremberg untuk menjerat puncak komando saat itu. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia sudah memberlakukan doktrin ini (lihat Pasal 42 UU No. 26/2000).

Anda tahu yang ironis dan menyedihkan dalam kasus ini? Munir, salah satu anggota KPP HAM Timtim dibunuh oleh trio BIN: Hendropriyono; Muchdi Pr; dan Ass'at; dan Todung Mulya Lubis adalah Wakil Ketua dari KPP HAM Timtim yang menyatakan Jenderal Wiranto bersalah karena membantai rakyat Timtim. Hari ini Todung Mulya Lubis bukan saja bergandengan tangan dengan trio pembunuh Munir koleganya, tapi juga bergandengan tangan dengan Wiranto yang dalam laporan akhir KPP HAM Timtim adalah penanggungjawab utama kerusuhan di Timtim tahun 1999. Sungguh, saya tidak tahu harus menangis atau meringis.

Sama halnya dengan kerusuhan di Timtim tahun 1999, Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh tentara, polisi dan preman yang terjadi by commission dan by ommission oleh puncak komando ABRI, yaitu Panglima ABRI Jenderal Wiranto, KSAD Letjend Soebagyo HS, dan Kasum Letjend Fachrul Razi karena berdasarkan kesaksian mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi dan Pangkostrad Letjend (Purn) Prabowo Subianto ternyata tidak ada pasukan di Jakarta pada saat kerusuhan berlangsung, dengan kata lain terjadi pembiaran berlangsungnya kerusuhan yang diikuti dengan perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, pembumihangusan rumah dan kantor, dan Kasum Letjend Fachrul Razi bahkan secara aktif melarang siapapun untuk mengeluarkan pasukan dari barak demi menghalau perusuh.

Bukti pembiaran pertama dengan terang benderang dilakukan oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto karena setelah terjadinya kerusuhan di Jakarta tanggal 13 Mei 1998, keesokan harinya dia malah membawa seluruh perwira tinggi yang punya kewenangan komando ke Malang demi sebuah acara seremonial padahal sudah diperkirakan kerusuhan akan berlanjut. Coba pikir dengan logika, Panglima Militer mana yang akan membawa KSAL, Pangkostrad, KSAU, KSAD dan Komandan Jenderal Kopassus ke luar kota untuk acara serah terima jabatan tidak penting selama 6,5 jam ketika ibukota dilanda kerusuhan?

Bukti pembiaran kedua dilakukan oleh KSAD Jenderal Soebagyo HS yang tidak melakukan apapun ketika Ibukota rusuh, padahal dia adalah atasan langsung Panglima Kodam Jaya, Sjafrie Syamsoedin. Mengapa Soebagyo HS diam saja? Padahal koleganya dari angkatan laut yaitu mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi secara aktif memeriksa lokasi parkir panser angkatan laut yang ternyata kosong (!) dan secara aktif memanggil pasukan marinir dari Surabaya untuk datang ke Jakarta sebelum berangkat ke Malang. Pasukan marinir inilah yang menyelamatkan jiwa rakyat Jakarta sementara KSAD kabur ke Malang bersama Panglima ABRI dan Kasum!

Pembiaran ketiga adalah fakta bahwa Kasum Letjend Fachrul Razi melarang Pangkostrad menyerahkan pasukannya kepada Kodam Jaya dengan alasan pasukan di Jakarta sudah cukup padahal alasan ini dibantah oleh mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) Arief Kusharyadi karena dia menyaksikan menggunakan mata dan kepala sendiri bahwa tidak ada pasukan penjaga di Jakarta saat kerusuhan!

Wiranto, Fachrul Razi, dan Soebagyo HS memang selamat dari pengadilan ICJ atas pelanggaran HAM berat yang mereka lakukan di Timtim karena SBY berhasil mengagalkan pembentukan The Commission of Expert oleh PBB dan diganti dengan The Commission of Truth and Friendship dan Xanana Gusmao bersedia menerima karena dia mau menutup catatan buruk dengan Indonesia dan memulai lembaran baru. Kendati selamat dari ICJ tapi bukan berarti Wiranto, Fachrul Razi dan Soebagyo HS bisa bebas melenggang begitu saja sebab hukum nasional kita masih berlaku atas mereka dan kesimpulan akhir KPP HAM Timtim yang merekomendasikan penyidikan dan pengadilan terhadap Wiranto masih ada.

Demikian pula dengan Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Wiranto; Fachrul Razi; dan Soebagyo HS harus diadili dan dihukum mati karena membiarkan terjadinya kerusuhan yang membunuh ribuan jiwa manusia tidak berdosa; pemerkosaan; penganiayaan dan pembumihangusan harta benda milik rakyat, dan bahkan Fachrul Razi secara aktif melarang pengerahan pasukan untuk menghalau perusuh!!!

0 comments:

Post a Comment