Kloningan

Monday, June 16, 2014

Pilih Jokowi, Kesalahan Terbesar Tionghoa Indonesia

Leave a Comment
Berric Dondarrion
16 Jun 2014 | 16:20

Saya keturunan Tionghoa bermarga Wen dengan penulisan hanzi seperti Wen Tianxang, pahlawan Dinasti Song yang menolak permintaan dari Kubilai Khan dengan alasan tidak mau melayani dua tuan sehingga dia memilih dihukum mati ketimbang menyerah. Saya adalah generasi kedua yang lahir dan tinggal di Indonesia dan saya adalah salah satu dari korban Kerusuhan 13-14 Mei 1998.

Sebagai keturunan Tionghoa, saya sering mendengar komentar kalangan Tionghoa terhadap Prabowo. Umumnya mereka berpendapat bahwa Prabowo adalah mahluk kejam yang anti China, anti Kristen, dan dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998, sehingga mereka tanpa berpikir panjang akan memilih siapapun daripada membiarkan Prabowo naik menjadi presiden dan "mengusir orang cina" dari Indonesia. Ini adalah fenomena nyata, orang-orang yang saya temui ini, termasuk saudara kandung, ipar, sepupu, paman, bibi, dll tidak akan berpikir dua kali untuk memilih siapa saja, catat, siapa saja asal bukan Prabowo.

Terus terang saya bingung cara memberikan pencerahan kepada mereka, sebab secara harafiah mereka tidak mau memilih Prabowo karena stigma "anti China", dan "dalang Kerusuhan 13-14 Mei 1998" yang terlanjur melekat kuat selama belasan tahun. Mereka tidak peduli program Prabowo, tidak peduli lawan Prabowo kompeten atau tidak, tidak peduli lawan Prabowo bisa untuk mengurus negara atau tidak, dan yang penting tidak peduli stigma yang melekat pada diri Prabowo fakta atau hasil propaganda; pokoknya Prabowo jahat, titik!

Yang saya sayangkan adalah orang-orang ini tidak mau atau malas melakukan riset untuk mencari tahu kebenarannya seperti apa, sebab mereka lebih memilih mendapat asupan informasi dari media massa bersirkulasi nasional atau internasional yang sering kali tidak menjalankan kode etik pers dengan benar dalam membuat pemberitaan karena para wartawannya menjalankan agenda politik dari pemilik perusahaan pers atau perusahaan penyiaran.

Bila orang-orang Tionghoa yang sekarang gelap mata memilih dengan prinsip asal bukan Prabowo melakukan riset secara objektif maka tentu mereka tidak akan terjebak pada reputasi buruk fiktif, karena mereka akan menemukan fakta bahwa:

1. Orang tua Prabowo sangat multikultural, berayah seorang Islam Jawa dan beribu Kristen Manado yang tetap Kristen sampai meninggal. Apakah mungkin Prabowo membenci Kristen bila ibunya saja Kristen? Membenci Kristen berarti membenci agama ibunya sendiri.

2. Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo dan anaknya Hashim adalah Kristen. Apakah mungkin Prabowo membenci Kristen bila adiknya dan ponakannya saja Kristen?

3. Prabowo pernah ikut ayahnya mengungsi keluar negeri selama puluhan tahun pasca PRRI/Permesta dan ribut internal di Partai Sosialis Indonesia sehingga terekspos dengan berbagai budaya mancanegara yang ada. Secara psikologis, orang yang sejak kecil mengenal dan berinteraksi dengan berbagai budaya lain selain budaya dirinya tidak akan menjadi bigot atau rasis.

4. Dari masih remaja Prabowo sudah berteman akrab dengan Soe Hok Gie, tokoh eksponen'66 yang sangat terkenal itu dan namanya tercatat di buku harian Soe Hok Gie yang sekarang dijual bebas berjudul: "Catatan Seorang Demonstran." Apa mungkin seorang rasis dan membenci Tionghoa berteman akrab dengan seorang Tionghoa sampai dianggap cukup layak untuk masuk ke buku harian yang bersangkutan?

5. Kerusuhan 13-14 Mei 1998 bukan kerusuhan rasial melainkan kerusuhan rekayasa dengan motivasi politik untuk menurunkan Presiden Soeharto dan memfitnah Prabowo yang justru digerakan oleh orang Tionghoa Katolik (Lim Bian Koen; Lim Bian Kie; Harry Tjan dari CSIS); Jawa Katolik (Benny Moerdani); Jawa Abangan Muslim (Wiranto, Soebagyo HS); Islam santri (Fachrul Razi) dll.

6. Prabowo justru pernah menyampaikan kekuatirannya kepada Lee Kuan Yew bahwa aksi kelompok CSIS dan aksi Wanandi bersaudara (Jusuf, Sofjan, Lim Bian Koen, Lim Bian Kie) akan membahayakan orang Tionghoa di Indonesia:

"...Sofyan had said to him and several other generals that President Suharto had to step down. When I expressed my disbelief, Prabowo insisted Sofyan did say this, and that the Chinese Catholics were a danger to themselves. Both the prime minister and I puzzled over why he should want to tell us this about Sofyan when it was patently unlikely that any Indonesian would tell the president's son-in-law that the president should be forced to step down..."

(Lee Kuan Yew, From Third World To First, The Singapore Story: 1965-2000, Marshall Cavendish Editions, hal 316-317)

7. Para dalang yang merekayasa Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dan anggota klik dari dalang tersebut seperti CSIS; Tempo; Luhut Pandjaitan; Wiranto; Fachrul Razi; Soebagyo HS justru mendukung calon pemimpin yang akan mereka pilih.

Dalam hal ini saya bisa mengatakan dengan cukup tegas bahwa orang Tionghoa Indonesia sedang melakukan kesalahan yang sangat fatal karena mereka memilih pemimpin Indonesia dengan prinsip asal bukan Prabowo dan mengabaikan sama sekali penilaian terkait apakah pemimpin non-Prabowo yang akan mereka pilih memiliki program yang baik; memiliki kompetensi untuk memimpin Indonesia; memiliki karakter dan ahlak yang baik? Jawabannya adalah tidak, mana ada petugas partai yang cawapresnya saja mengatakan dia akan menghancurkan Indonesia bisa menjadi pemimpin yang baik?

Bila mereka mau memilih Jokowi karena kompetensi dan programnya lebih unggul daripada Prabowo, maka silakan, tapi memilih Jokowi hanya karena gelap mata akibat tertipu oleh propaganda lawan Prabowo adalah sebuah kesalahan yang sangat, sangat, sangat dan sangat fatal yang dapat dilakukan seorang manusia, apalagi alasan sebenarnya mereka menolak Prabowo pada faktanya adalah ada di pihak orang yang akan mereka pilih.

Sumber:

Jusuf Wanandi, Shades of Grey, Equinox Publishing.

Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru, Penerbit Kompas.

Janet E. Steel, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia, Equinox Publishing.

Lee Kuan Yew, From Third World To First, The Singapore Story: 1965-2000, Marshall Cavendish Editions

Rahasia-Rahasia Ali Moertopo, Tempo-KPG.

Massa Misterius Malari, Tempo.

Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, Penerbit Sinar Harapan.

Rachmawati Soekarnoputri: Membongkar Hubungan Mega dan Orba di Harian Rakyat Merdeka 31 Juli 2002 dan 1 Agustus 2002.

Robert Odjahan Tambunan, Otobiografi Politik RO Tambunan: Membela Demokrasi, terbitan TPDI.

Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian, Penerbit Mizan.

Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Penerbit Marjin Kiri.

Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Penerbit LP3ES

http://m.kompasiana.com/post/read/666471/1/luhut-pandjaitan-intelijen-partikelir-kreator-jokowi.html

http://m.kompasiana.com/post/read/666837/1/hukuman-mati-untuk-wiranto-soebagyo-hs-dan-fachrul-razi.html

http://m.kompasiana.com/post/read/658823/1/dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi.html

http://nasional.inilah.com/read/detail/2103813/hancur-kita-kalau-jokowi-jadi-capres#.U49NF_l5O_s

http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/05/14/152245/2582611/1562/megawati-jokowi-adalah-petugas-partai?992204topnews

0 comments:

Post a Comment