Kloningan

Tuesday, June 3, 2014

Kala Pendukung Jokowi Berjuang Demi Neo-Orba

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Banyak sekali aktivis atau mantan aktivis senior yang berbondong-bondong mendukung Jokowi tanpa pikir panjang karena kekuatiran bahwa bila Prabowo menjadi presiden maka dia akan mengembalikan era Orde Baru. Alasannya? Prabowo bagian dari rezim Orde Baru dan mantan menantu Presiden Soeharto; sementara lawannya, Jokowi tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Orba.

Mohon maaf, tapi pemikiran di atas bukan saja keliru namun juga membenarkan pendapat saya selama ini bahwa orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai aktivis sebenarnya tidak memiliki kecerdasan memadai sehingga keputusan mereka lebih sering dibuat berdasarkan pemahaman hitam-putih, tidak ada abu-abu dalam kamus mereka; berdasarkan insting; berdasarkan emosi; dan karena itu keputusan yang dibuat tidak rasional.

Orba sebagaimana disebut adalah sebuah rezim, sebuah sistem pemerintahan dan oleh karena itu jatuhnya Presiden Soeharto tidak berarti Orba ikut jatuh; sebab sebagaimana semua sistem di dunia ini sebuah sistem bisa berganti baju; ganti nama; ganti pemimpin supaya tidak hilang, sehingga tidak selalu menjadi jaminan bahwa pemimpin berwajah baru pasti tidak akan kembali ke rezim lama.

Demikian pula tidak semua orang yang pernah menjadi bagian sebuah sistem rezim akan selamanya menjadi bagian rezim tersebut; kita sebut saja Trotsky, dia ikut mendirikan rezim Uni Soviet bersama Lenin dan Stalin, tapi adakah Trotsky ketika kabur ke Amerika mendirikan rezim Soviet di Amerika? Demikian juga Deng Xiaoping ikut mendirikan Republik Rakyat China dengan Mao Tzedong namun dia justru membuat reformasi besar-besaran terhadap sistem yang dibuat Mao, sehingga RRC hari ini adalah RRCnya Deng Xiaoping dan bukan RRCnya Mao Tzedong. Berdasarkan dua contoh ini kita bisa melihat bahwa reformasi terhadap suatu rezim tidak melulu harus dipaksakan dari luar karena sering reformasi sukses bila didorong dari dalam, itulah alasan Deng Xiaoping berhasil mereformasi RRC dan demo besar di Tiananmen gagal total, karena mereformasi dari dalam lebih mudah dan harga yang dibayar tidak semahal reformasi dari luar sistem.

Sehubungan dengan Orba maka kita harus menyadari bahwa terdapat dua wajah Orba dan dua fase dalam Orba yang berbeda secara diametral. Wajah Orba tersebut adalah (1) Orba yang represif, tertutup dan selalu mudah menghamburkan peluru terhadap rakyat sipil atas nama stabilitas untuk pembangunan; dan (2) Orba yang memberikan hasil dari stabilitas tadi yaitu swasembada pangan; harga barang murah; pendidikan; dan kesehatan murah. Adapun dua fase Orba adalah: (1) Orba yang anti Islam dan represif yaitu sejak Malari sampai 1989; dan (2) Orba yang mulai menerima keterbukaan; kedepankan HAM; demokrasi; dan memberikan kesempatan pada kepemimpinan sipil.

Adapun wajah dan fase Orba yang represif dan militeris lahir karena dwifungsi ABRI yang terlalu kebablasan; dan kendali atas militer dipegang oleh orang-orang telah didoktrin untuk melihat Islam dan sipil sebagai musuh. Siapa orang-orang tersebut? Yaitu CSIS, Ali Moertopo dan muridnya yaitu klik Benny Moerdani yang terdiri dari AM Hendropriyono; Luhut Panjaitan dan lain-lain. Mereka inilah biang kekerasan berdarah di Indonesia sepanjang Orde Baru sampai Reformasi: Malari (Ali Moertopo); penyerbuan ke Timor Timur (Ali Moertopo-Benny Moerdani); Petrus (Benny Moerdani); Tanjung Priok (Benny Moerdani-Try Soetrisno); Santa Cruz (Sintong Panjaitan-Rudolf Warouw); Peristiwa 27 Juli 1996 (Benny Moerdani-Megawati-Agum Gumelar-Sutiyoso-Hendropriyono dkk); Kerusuhan Mei 1998 (Benny Moerdani; Wiranto dkk); Pembantaian di Timor Timur pasca referendum (Wiranto dkk); Kerusuhan Era Gus Dur (Hendropriyono; Theo Syafei dkk); DOM Aceh (Hendropriyono dkk); sampai Pembunuhan Munir (Hendropriyono; A'sat; Muchdi Pr, dkk).

Klik Benny Moerdani yang merupakan biang kerok kekerasan dan anti Islam di Indonesia itulah yang dilawan oleh Prabowo dari dalam dan akhirnya Benny berhasil dilucuti dan ditendang dari rezim sehingga Orba mulai memberikan kesempatan pada Islam; HAM; sipil dan demokrasi untuk memainkan peranan dalam pengelolaan negara. Itulah alasannya sejak akhir tahun 1989 Presiden Soeharto menjadikan Timor Timur sebagai daerah terbuka setelah sebelumnya ditutup dan dikuasai oleh klik Benny Moerdani. Tidak pelak lagi keputusan Presiden Soeharto ini menimbulkan kecaman dari kubu Benny sebagaimana bisa dibaca di buku Sintong Panjaitan yang sekarang mulai dicetak ulang di Gramedia.

Ada alasan mengapa setelah SBY menjadi presiden kondisi geopolitik di Indonesia menjadi sangat stabil dan minim kerusuhan rasial-keagamaan antara lain karena klik Benny Moerdani berada di luar pemerintahan dan tidak terlalu banyak ruang untuk bergerak sementara itu Benny Moerdani sudah meninggal dunia sejak tahun 2004. Anda tidak percaya? Silakan tanya kepada aktivis-aktivis kiri (selain Budiman Soejatmiko, kalau dia mah sudah dipecat PRD sejak 2002) yang pernah mendukung Megawati kemudian pada masa kepresidenannya mereka semua ditangkap; diadili; dan dipenjara ketika demo dan membakar patung Megawati sebagai simbol ketidakapercayaan pada Megawati. Mirip Orde Baru era di bawah 1990an? Jangan heran karena orang-orang di belakang Mega adalah orang yang sama dengan yang mengendalikan sistem represif Orde Baru sebelum mereka disingkirkan oleh Prabowo.

Nah, orang-orang yang sama dengan yang mengendalikan sistem represif; anti Islam dan militeris pada era Orde Baru; era Presiden Megawati ada di belakang Jokowi, sebut saja Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Wiranto; Da'I Bacthiar; Luhut Panjaitan dkk. Bisa dibilang mereka bukan saja ada di belakang Jokowi, tapi mereka juga adalah sosok yang menciptakan Jokowi. Yang menjadi masalah adalah kendati mereka ini mewarisi wajah dari sistem Orde Baru yang represif; namun mereka tidak paham apapun tentang sistem Orde Baru yang memberikan pembangunan, dan ini adalah alasan mengapa era Megawati hanya dikenal sebagai era represif demi kestabilan tapi tidak terasa hasil pembangunannya.

Oleh karena itu tidak heran pada masa kampanye sekarang saja sudah terlihat dengan jelas mengarah kepada kembalinya era represif Orde Baru yang terbukti dari: rencana mengintai masjid (khas Benny Moerdani); kembalinya militer dan tentara berpolitik (dwifungsi ABRI) terbukti dari sering terjadi pertemuan intens Panglima TNI Jenderal Moeldoko-Kapolri Jenderal Sutarman dengan Jokowi dan Megawati (Moeldoko bahkan pernah disebut sebagai cawapres Jokowi); serta Jenderal Budi Gunawan, mantan ajudan Megawati aktif membujuk Megawati agar menerima JK sebagai cawapres; dan sebelumnya ada Abraham Samad, Ketua KPK yang diiming-imingi posisi cawapres.

Dari sisi Jokowi-JK juga menggambarkan sisi Orde Baru, di mana Jokowi sang boneka dan petugas partai dalam menciptakan mitos mengenai dirinya malah memplagiat kisah hidup Pak Harto dan kepercayaannya kepada klenik dan kejawen menyebabkan Jokowi sengaja tinggal di Menteng supaya "menyerap aura Soeharto" yang tersisa di Cendana; sedangkan JK pada masa menjadi wapres SBY terkenal selalu memberikan proyek pemerintah kepada anak perusahaan miliknya adalah jelas menggambarkan sisi Orba yang penuh kolusi dan nepotisme.

Sebaliknya kubu Prabowo sekalipun berkoalisi dengan Golkar namun Prabowo sendiri adalah pahlawan reformasi pertama di era Orde Baru yang mengubah sistem militeris otoriter anti Islam menjadi sistem sipil demokratis yang pro kebebasan beragama untuk semua dan tidak memarjinalkan salah satunya. Selain itu pendukung Prabowo semuanya adalah reformis: Amien Rais (Bapak Reformasi); SBY (reformasi Dwifungsi ABRI); Djoko Santoso; Hatta Rajasa; Akbar Tanjung (Bapak Pembaharu Golkar) dan lain-lain.

Berdasarkan fakta di atas maka terlihat mana kubu reformis dan mana kubu neo-Orba. Ironisnya adalah para aktivis pendukung Jokowi yang melawan kebangkitan Orba baru bila Prabowo naik sebenarnya sedang menaikan tokoh neo-Orba dan melawan tokoh reformasi yang sebenarnya. Oleh karena itu bila Jokowi berhasil naik jadi presiden maka kita harus mengucapkan selamat datang kepada rezim Neo-Orba dan selamat tinggal pada rezim reformasi.

Saya pribadi pro-Orba dan berharap kembalinya rezim Orba, tapi Orba yang memberikan pembangunan, demokratis dan pro perlindungan terhadap HAM dan bukan Orba yang represif dan tangannya berdarah yang dikendalikan oleh klik Benny Moerdani. Jadi, mau pilih pasangan rezim Neo-Orba atau reformasi? Pilihan di tangan anda.

0 comments:

Post a Comment