Kloningan

Saturday, December 12, 2015

Sejarah Rahasia Iluminati: Revolusi dan Peperangan (42)

Leave a Comment
Untuk membangun satu tatanan dunia yang sama sekali baru, Illuminati menyusun skenario yang tidak tanggung-tanggung: penghancuran total segala macam infrastruktur yang dianggap bisa menghalangi rencana besar ini, dan kemudian membangunnya kembali sesuai dengan cetak biru mereka. Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah dan bisa diselesaikan dalam waktu singkat, namun hal tersebut—kepercayaan diri mereka—juga menunjukkan kepada kita betapa mereka sebenarnya didukung oleh sumber daya manusia, kekuasaan, dan juga dana yang amat besar.
Dalam masa ini, antara abad ke-17 hingga abad ke-19M, inilah masa-masa pergolakan di Eropa, tumbuh kembangnya peradaban dan juga kemajuan teknologi, serta juga keyakinan. Para pewaris Biarawan Sion yang kini telah menjadi para Mason—dan tentunya berbagai kelompok esoteris lainnya seperti Illuminati—bergerak secara licin di pusat-pusat kekuasaan Eropa untuk menaklukkan benua tersebut bagi kelompok mereka.
Ordo Kabbalah sudah menyebar di Eropa sejak Perang Salib pertama. Bahkan kelompok inilah yang sesungguhnya telah menghasut Paus Urbanus II untuk mengibarkan bendera Perang Salib untuk menduduki kembali Kota Suci Yerusalem dari tangan kaum Muslimin. Keberadaan mereka bertambah banyak ketika pasukan Salahuddin al-Ayyubi, beberapa tahun kemudian, bisa kembali membebaskan Yerusalem dan seluruh Palestina dari tangan Salib. Saat itu para Templar, Biarawan Sion, dan ksatria-ksatria lainnya kembali ke Eropa setelah kalah perang di Palestina.
Ketika ini, Skotlandia dan Inggris, selain Perancis tentu saja, menjadi tempat utama ‘konsolidasi’ para Templar dan yang lainnya. Untuk membangkitkan Perang Salib kembali mereka gagal membujuk para raja dan bangsawan Eropa, maka mereka bertekad akan memusatkan kegiatannya di Eropa, dengan jalan menundukkan seluruh Eropa sehingga bisa dijadikan ‘rumah yang nyaman’ bagi keberadaan mereka, bebas dari gangguan Gereja.
Di abad pertengahan, Eropa memang menjadi pusat perdagangan dunia dengan Perancis dan Inggris sebagai negara-negara besarnya yang kuat. Untuk menguasai Eropa, maka tiada jalan lain, Inggris dan Perancis harus dikuasai. Kekuasaan Monarki harus diakhiri dan digantikan dengan bentuk Nasionalisme, yang nantinya akan bisa dengan mudah dibenturkan kembali hingga mereka sibuk dengan urusannya sendiri dan sama sekali tidak perduli dengan konspirasi purba yang telah dicanangkan berabad silam. Inggris menjadi target pertama.
MENUNGGANGI REFORMASI GEREJA
Sebelum tahun 1517, Gereja Katolik bisa dianggap menguasai masyarakat Eropa. Walau di sana-sini terdapat perbedaan pandangan dan juga bertumbuhan sekte serta kelompok esoteris, namun kerajaan di Eropa kebanyakan mengaku tunduk pada Vatikan.
Namun ketika seorang Martin Luther pada 31 Oktober 1517 mengeluarkan 95 pernyataannya yang pada zamannya dianggap begitu berani menentang otoritas Kepausan, sebuah pernyataan protes—karena itu dikemudian hari pengikut maupun gerakannya disebut Protestan—dipaparkan di muka umum dan dalam waktu yang tidak lama, surat protesnya itu melahirkan satu kelompok orang-orang Kristen yang mengaku memiliki kesamaan pandangan dengan Luther, tidak puas dengan institusi Gereja dan Kepausan.
Selain Gerakan Protestan, muncul pula John Calvin yang menyuarakan Calvinisme. Inilah dua gerakan reformasi dan gugatan terhadap otoritas Gereja Katolik Roma. Awalnya sedikit, hanya dalam waktu singkat, jumlah pengikut Luther maupun Calvin membengkak. Rakyat Inggris di mana gerakan itu di mulai sudah banyak yang jenuh dengan otoritas Gereja Roma yang telah berlangsung berabad lamanya.
Tanpa disadari banyak kalangan, mantan Templar yang sudah tersebar dalam berbagai perkumpulan esoteris banyak yang menyusup dan bergabung dengan gerakan reformasi gereja ini. Motivasinya jelas, mereka hendak membalaskan dendam orangtua mereka yang telah dikejar-kejar dan dibasmi oleh Paus, dan institusi pendukungnya. Gerakan reformasi gereja ini dianggap sangat baik untuk dipakai sebagai ‘kuda tunggangan’. Maka berbondong-bondonglah para mantan dan keturunan Templar bergabung ke dalam kelompok gereja reformis.
Martin Luther terang terharu melihat betapa banyak orang yang mendukung gerakannya. Ia semakin yakin bahwa apa yang disampaikannya, 95 nota protes kepada Gereja, merupakan suatu kebenaran. Belakangan barulah dia tersadar bahwa di antara pengikutnya, ternyata banyak dari kalangan pewaris Templar yang memiliki motivasi berbeda dengan dirinya, dengan gerakan protesnya yang suci.
Para pewaris Templar ini bergabung ke dalam gerakan protes semata-mata ingin membalaskan dendam para orangtua mereka terhadap institusi Gereja Katolik. Martin Luther yang menyadari hal ini kemudian bertindak tegas. Dia menghujat kaum Yahudi ini dan memerintahkan kepada pengikutnya yang sejati agar tidak berhubungan dalam bentuk apa pun dengan mereka, agar tidak termakan tipu daya orang-orang Yahudi tersebut.
MENUNDUKKAN INGGRIS
Di suatu tempat di Belanda, sejumlah petinggi Ordo Kabbalah menggelar pertemuan dan sepakat untuk menguasai Tahta Kerajan Inggris sepenuhnya dengan cara menurunkan Dinasti Stuart dan menggantikannya dengan seseorang yang mereka bina dari Dinasti Hanover dari Istana Nassau, Bavaria. Kala itu, Tahta Kerajaan Inggris tengah diduduki King Charles II (1660-1685). Raja Inggris ini masih kerabat dekat Duke of York. Mary adalah anak sulung dari Duke of York.
Diam-diam, kelompok Kabbalah ini mengatur strategi agar Mary yang masih lajang itu bertemu dengan ‘Sang Pangeran’ bernama William II, salah seorang pangeran kerajaan Belanda dan pemimpin pasukan kerajaan. Mary dan William II pun bertemu dan saling tertarik. Pada tahun 1674 mereka menikah. Tahun 1685 King Charles II meninggal dan digantikan oleh James II yang memerintah sampai tahun 1688.
Dari hasil perkawinan antara William II dan Mary, lahir seorang putera yang kemudian dikenal sebagai William III, yang kemudian menikah dengan seorang puteri dari King James II bernama Mary II. William III yang berdarah campuran antara Dinasti Stuart dengan Dinasti Hanover ternyata menurut kelaziman tidak bisa menjadi Raja Inggris disebabkan ia bukan berasal dari garis keturunan laki-laki Inggris, melainkan dari garis perempuan. Mary II, isterinyalah, yang lebih berhak menyandang gelar Queen.
Di sinilah para petinggi Yahudi melancarkan konspirasi dengan mengobarkan ‘Glorious Revolution’ dan akhirnya berkat Partai Whig yang melakukan kerjasama diam-diam dengan tokoh-tokoh Yahudi dan Partai Tory yang bersikap pragmatis, revolusi tanpa darah ini berhasil menaikkan William III sebagai Raja Inggris.
Beberapa tahun sebelumnya, lewat tangan Oliver Cromwell, kekuatan Yahudi juga telah ‘menyikat’ King Charles I dan menguasai lembaga-lembaga keuangan di kerajaan itu. Dengan berkuasanya William III maka Inilah awal hegemoni Dinasti Hanover bertahta di Kerajaan Inggris sampai sekarang. Apalagi Dinasti Windsor yang berkuasa di Kerajaan Inggris sekarang merupakan keturunan langsung dari King Edward III (Prince of Wales) yang merupakan keturunan Hanover.
Pada tahun 1689, King William III mendirikan Loyal Orange Order yang begitu fanatik mendukung gerakan pembaruan Gereja yang dipimpin Martin Luther. Ordo ini menyatakan dengan tegas akan menjadikan Inggris sebagai basis bagi gerakan Protestan. Pernyataan ini memiliki pesan yang jelas terhadap Gereja Katolik: “Kami akan melawanmu!” Loyal Orange Order sampai hari ini masih bertahan di Irlandia Utara dengan jumlah anggota tak kurang dari angka 100 ribuan.
Kelompok inilah yang senantiasa mengobarkan api permusuhan terhadap kaum Katolik sehingga sampai sekarang kehidupan masyarakat di sana tidak pernah sepi dari konflik Protestan-Katolik. King William III sendiri menceburkan diri dalam peperangan melawan Perancis yang dihuni banyak warga Katolik. Inggris menderita kerugian yang banyak. Utang pun menumpuk. Inilah awal berdirinya Bank of Englandsebagai bank sentral swasta pertama di dunia, seperti yang telah disinggung di muka. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)

0 comments:

Post a Comment