Tulisan ini adalah bagian dari refleksi peringatan enam belas tahun tragedi Kerusuhan Mei 1998 dan penantian saya selama bergabung di Kompasiana adalah untuk menyampaikan apa yang akan saya tulis di bawah ini, sehingga (mungkin) ini akan menjadi artikel terakhir bagi saya di Kompasiana.
Dalang Kerusuhan Mei 1998 sebagaimana sudah sering diulas adalah Benny Moerdani dan (CSIS) dengan tujuan menjatuhkan Presiden Soeharto sesuai rencana yang pernah disampaikan kepada Salim Said dan beberapa eksponen 66 (selengkapnya baca otobiografi Salim Said, Dari Gestapu Sampai Reformasi). Kerusuhan politis sebagai metode menjatuhkan lawan adalah metode favorit CSIS sejak Ali Moertopo, dengan buah karya antara lain Malari.
Bila Benny dkk layak disebut sebagai penyebab primer Kerusuhan Mei 1998, maka pihak yang membuka peluang yang memungkinkan matangnya situasi sosial-politik untuk menjadi dalih bagi kerusuhan tidak terkendali adalah para aktivis HAM dan demokrasi ("Akvitis"), sehingga mereka layak disebut sebagai penyebab kedua Kerusuhan Mei 1998. Benar, kerusuhan masif semacam Kerusuhan Mei 1998 tidak bisa diletuskan setiap saat karena membutuhkan suasana sosial dan politik yang sangat panas dan tidak stabil sehingga mudah membakar massa untuk menceburkan diri dalam kerusuhan dan menjadi gila.
Aktivis umumnya terbagi dua, yaitu pertama aktivis tipe pemikir atau intelektual yang berusaha mencapai tujuan melalui usaha mempengaruhi para pembuat kebijakan dengan diskursus-diskursus keilmuan misalnya melalui seminar; workshop; diskusi pribadi; makalah dll sehingga perubahan terjadi secara damai dan tertib tanpa mengorbankan stabilitas, namun cara ini membutuhkan kesabaran; dan kedua aktivis tipe lapangan yang berusaha mencapai tujuan dengan turun ke lapangan untuk memaksa pemerintah mengubah kebijakan dengan aksi-aksi massa; turun ke jalan secara agitatif, tanpa memikirkan resiko bahwa bila terjadi sesuatu dan massa menjadi kerusuhan maka mereka tidak bisa dikendalikan oleh para aktivis.
Kadang kala aktivis tipe pemikir memang turun ke jalan dan aktivis tipe lapangan mencoba mempengaruhi kebijakan melalui seminar namun secara psikologis setiap ada kondisi yang menurut mereka membutuhkan pemecahan maka mereka akan kembali ke metode masing-masing. Aktivis tipe pemikir misalnya adalah Yap Thiam Hien; Todung Mulya Lubis; Fadli Zon; Carmel Boediardjo dll sedangkan aktivis tipe lapangan misalnya HJC Princen; Adnan Buyung Nasution; Haris Azhar; Fadjroel Rahman, dll. Dari segi pembawaan diri maka bisa dilihat bahwa aktivis pemikir sangat tenang dan tindakannya terukur, penuh perhitungan dalam menjalankan strategi perjuangan sedangkan aktivis lapangan lebih grasa-grusu, emosional, mudah disulit amarahnya, tabrak sana-sini dan lain sebagainya.
Nah, mayoritas aktivis yang berada di garis terdepan pada demonstrasi-demonstrasi tahun 1996 sampai 1998 adalah tipe lapangan. Mereka saat itu hanya bisa melihat bahwa terjadi krisis ekonomi yang parah dengan inflasi mencapai 70% hingga membuka peluang mengadakan aksi demi mencapai tujuan mereka, yaitu menjatuhkan Presiden Soeharto namun mereka gagal melihat kemungkinan bahwa aksi mereka akan ditunggangi oleh pihak tertentu dan mengeskalasi tidak terkendali seperti yang terjadi pada kerusuhan Malari dan faktanya memang itulah yang terjadi.
Lantas kemana para aktivis-aktivis lapangan itu ketika akhirnya Kerusuhan Mei 1998 itu meledak? Kemana mereka ketika rumah rakyat dibakar; harta bendanya dirampok; dibunuh; dan diperkosa? Bersembunyi di tempat persembunyian mereka dan baru keluar setelah kerusuhan reda. Orang-orang seperti ini tidak akan bisa membawa kebaikan apapun kepada diri sendiri maupun kepada bangsa Indonesia karena mereka hanya bisa berpikir untuk hari ini dan tidak bisa berpikir secara jangka panjang menjangkau masa depan.
Jangan salah, para aktivis-aktivis tersebut tidak benar-benar mempercayai kebebasan berpendapat, HAM, demokrasi dan lain-lain, sebab mereka hanya menggunakan jargon tersebut sebagai sarana aktualisasi diri sedangkan mereka akan menolak berdialog dan menerima kritik bahwa tentang suatu ide yang menurut mereka baik.
Contoh, hari ini saya iseng mengirim tweet kepada akun Fadjroel Rahman yang sedang membual tentang bagaimana peran dirinya dalam People's Power tahun 1998 yang menjatuhkan People in Power saat itu. Lantas saya bertanya, harga menjatuhkan Presiden Soeharto adalah ribuan rakyat mati terpanggang; diperkosa dan dirampok, apakah ini harga yang pantas untuk mengganti pemerintahan yang belum tentu menjamin situasi lebih baik? Bukannya menjawab Fadjroel segera melaporkan akun kloningan saya tersebut untuk diban. Praktek membungkam kebebasan berpendapat dengan "membunuh" orang yang mengeluarkan kritikan semacam ini bukannya adalah hal dari Orde Baru yang selalu jadi sasaran kritik Fadjroel Rahman dan kawan-kawan?
Contoh kedua, beberapa bulan lalu ketika Budiman Soejatmiko melalui akunnya sedang memberi kultweet yang intinya tentang revolusi ini, revolusi itu, saya juga menyampaikan pertanyaan yang kurang lebih sama, revolusi anda dan kawan-kawan anda tahun 1998 telah menimbulkan ribuan korban dan materi, bagaimana tanggung jawab anda terhadap hal tersebut? Dia tidak mampu menjawab langsung namun mengirim private message dengan nada marah: "Mau cari perhatian? Sok tahu!" Positifnya Budiman membiarkan saya menumpahkan kekesalan dengan membuat banyak tweet tentang tanggung jawab dirinya dalam Kerusuhan Mei 1998, tidak seperti Fadjroel Rahman yang segera "membunuh" dan "membredel" akun saya.
Reformasi dan revolusi tahun 1998 adalah buah pikiran orang-orang macam Fadjroel Rahman dan Budiman Soejatmiko, apakah anda heran bila hari ini Indonesia menjadi negara banci dan negara kucing?
0 comments:
Post a Comment