Kita sudah sama-sama tahu bahwa strategi andalan kubu Jokowi adalah Politik Dizolimi dengan semua bentuk derivatifnya seperti Lempar Batu Sembunyi Tangan, seperti yang terjadi beberapa hari lalu dimana Posko PDIP di Setiabudi terbakar namun baik Jokowi; JK; tim sukses Jokowi segera mengeluarkan komentar bahwa Posko tersebut dibakar dan merupakan perbuatan biadab yang keji, dan walaupun tidak menyebut nama tapi tentu saja tudingan tersebut ditujukan kepada kubu Prabowo sebagai satu-satunya saingan Jokowi pada pilpres mendatang. Bahkan Tempo, milik Goenawan Mohamad, memasang foto kebakaran besar di Jelambar sebagai cover ulasan Posko PDIP yang terhitung kebakaran kecil.
Taktik lempar batu sembunyi tangan seperti ini memang tidak beretika dan tidak patut yang tidak mencerahkan kehidupan bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan berpolitik, namun perbuatan Jokowi mempolitisasi agamanya demi meraih jabatan politik adalah perbuatan yang sudah sangat keterlaluan dan menjijikan. Perbuatan Jokowi mempolitisasi agamanya ini bahkan lebih menjijikan daripada perbuatannya memalsukan riwayat hidup dengan mengatakan dia lahir di bantara kali Pepe, Munggung, kemudian harus pindah rumah tiga kali karena digusur, padahal faktanya selain Jokowi tidak pernah tinggal di bantaran kali manapun, dia juga tidak pernah digusur sebab rumah orang tuga Jokowi ada di Jalan Ahmad Yani dan cukup mewah untuk ukuran tahun 1960an. Hal ini dikarenakan ayah kandungnya yang tidak pernah mati muda yaitu Noto Mihardjo alias Widjiatno adalah pengusaha mebel sukses yang memiliki banyak karyawan.
Bukti pertama Jokowi mempolitisasi agamanya adalah dengan melakukan kegiatan disinformasi tentang dirinya yaitu dia keturunan Tionghoa yang baru masuk agama Islam. Ini tentu tuduhan serius, dan saya tidak sembarang ngomong sebab fakta tidak terbantahkan adalah bahwa isu di atas pertama kali ditiupkan dan terus disebarkan oleh akun Twitter Triomacan2000 dengan admin bernama Raden Nuh, kader Hanura yang merupakan anggota koalisi yang mencalonkan Jokowi dan JK sebagai pasangan capres-cawapres. Benar, terbukti bahwa sumber isu ini adalah berasal dari dalam koalisi Jokowi sendiri!!
Bukti kedua bahwa politisasi agama Jokowi tidak datang dari Poros Prabowo adalah faktanya tidak pernah sekalipun kubu Prabowo menyerang keagamaan Jokowi atau lawan politiknya padahal kita tahu bahwa Poros Prabowo adalah kelompok yang berani menyerang Jokowi dan mengakui mereka pelakunya, seperti "serangan capres boneka dan pembohong" oleh Prabowo dan puisi-puisi sindiran dari Fadli Zon.
Bukti ketiga, berdasarkan kesaksian pendukung Jokowi, Ulin Yusron, Iklan RIP Jokowi yang mencantumkan nama "baptis" Jokowi yang sempat menghebohkan itu terbukti disebar pertama kali melalui facebook oleh simpatisan-simpatisan Jokowi.
Bukti keempat, di antara Poros Prabowo dan Poros JK, adalah Poros JK yang pertama kali secara terbuka menggunakan isu agama dan menyerang Poros Prabowo dengan isu tersebut, antara lain: (1) ketika mereka menyebar "kesaksian" Din Syamsuddin kala Jokowi menjadi imam shalat; (2) JK memposting foto Jokowi kala menjadi imam shalat; (3) JK melontarkan tantangan adu baca Alquran dan adu Sholat kepada Prabowo yang kemudian diamini oleh istri JK dan Jokowi (ini pilpres atau ujian masuk pesantren?); (4) Di depan peserta Rakernas NasDem, Jokowi mulai membuka pidato dengan bacaan Alquran dalam bahasa Arab, tindakn yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dan kemudian timses Jokowi menyatakan di media sosial bahwa hal ini (membaca Alquran dalam bahasa Arab) tidak akan bisa dilakukan oleh Prabowo; dan (5) Pada pilpres tahun 2009 ada tuduhan dengan bukti kuat bahwa pelaku penyebaran selebaran gelap berisi isu istri SBY dan Budiono beragama Kristen yang menghebokan dilakukan oleh kubu JK.
Perilaku Jokowi yang mempolitisasi Islam dan membangga-banggakan kemampuan Jokowi mengulang hafalan dari ayat Alquran dalam bahasa Arab sangat menyedihkan, karena sesungguhnya fakta bahwa Jokowi bisa sholat dan bisa baca Alquran tidak istimewa karena memang kewajibannya sebagai umat Muslim. Kalau begitu apa yang harus dibanggakan?
Apalagi bila "kemampuan sholat dan menghafal bahasa Arab" dibandingkan dengan jasa Prabowo menyelamatkan umat Islam Indonesia dari cengkraman penjajahan kelompok Benny Moerdani dan CSIS di jaman ketika Jokowi masih disebut sebagai Mas Joko Klemer oleh teman-temannya karena tingkah laku Jokowi sedikit klemer-klemer (feminin) akibat pengaruh tinggal bersama tiga saudari kandung, jelas sekali jauh bedanya. Tentu saja perlu disebutkan juga bahwa sisa-sisa kelompok Benny Moerdani seperti Hendropriyono; Agum Gumelar; Wiranto; Luhut Panjaitan (anak emas Benny Moerdani); Sutiyoso dan lain-lain mendukung Jokowi demi melawan Prabowo (selengkapnya bisa dibaca di sini: http://m.kompasiana.com/post/read/658823/1/dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi.html# ).
Selanjutnya tentu lucu kubu Jokowi membangga-banggakan kemampuan Jokowi mengulang ayat Alquran dalam bahasa Arab mengingat seperti istilahnya, itu hanya hafalan belaka tanpa kemampuan berbahasa Arab yang sesungguhnya. Sementara Jokowi hanya bisa menghafal bahasa Arab secara fonetik, Prabowo bisa berbahasa Arab dan belajar dari Raja Jordania, sebuah Negara Islam terkemuka, yang juga teman baiknya.
Mengenai keislaman saya harus menyimpulkan bahwa perilaku Jokowi adalah tong kosong nyaring bunyinya; sedangkan Prabowo mengamalkan ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk, semakin banyak tahu justru semakin menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa.
0 comments:
Post a Comment