Kloningan

Wednesday, May 14, 2014

Reformasi (Gerindra, Dkk) Vs. Orde Baru (PDIP, Dkk)

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Sebuah diktum mengatakan dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, adanya adalah kepentingan yang abadi. Dalam hal ini tidak ada contoh lebih baik daripada bergabungnya Golkar ke dalam koalisi PDIP sebab pemilu tahun ini Golkar mengusung program mengingat kembali Orde Baru sedangkan PDIP adalah partai perlawanan terhadap Orde Baru. Ironis bukan? Ini juga untuk kali pertama sepanjang sejarah reformasi Golkar berkoalisi dengan PDIP.

Saya juga sudah sangat yakin unsur kiri dan komunis dalam PDIP (Budiman Soejatmiko dkk) dan PKB (Dita Indah Sari dkk) bergeliat kepanasan dengan keputusan PDIP menerima Golkar ke dalam koalisi sebab Golkar didirikan oleh AH Nasution justru sebagai kendaraan melawan PKI dan ormas-ormasnya. Sekarang kendaraan yang sama justru bergabung dengan partai yang mengakomodir sisa-sisa ex PKI dan neo komunis, bukankah AH Nasution dan para purnawirawan jenderal pendiri Golkar bisa bangkit dari kematian bila mendengar mengenai koalisi ini?

Secara umum kesepakatan bergabungnya Golkar dengan PDIP dilandasi atas tiga hal, yaitu pertama, Ical memberi "dana kampanye" puluhan miliar kepada Megawati yang sudah dilunasi di Singapura kemarin, kedua, Jusuf Kalla/JK, cukong Jokowi yang membawanya dari Solo, kader Golkar sekaligus cawapres pilihan NasDem yang juga teman baik Surya Paloh menjadi cawapres Jokowi, dan ketiga Mega-Ical menjadi king maker dari belakang layar.

Yang menjadi masalah tinggal bagaimana memberi pengertian kepada PKB terkait penolakan Mahfud MD sebagai cawapres yang mereka ajukan. Selain masalah PKB maka bagi Poros PDIP pasangan Jokowi-JK adalah pasangan yang cukup ideal bagi ketiga partai besar utama, sebab mengurangi resistensi dari NasDem perihal masuknya Golkar mengingat hubungan Surya Paloh dan Ical seperti anjing dan kucing; dan Ical memperoleh kesepakatan dengan JK bahwa dia akan memberi kursi cawapres bila JK mengamankan kasus Lapindo dan menyelamatkan perusahaan-perusahaan Bakrie, yang sudah dia lakukan sejak masa menjadi wakil presiden bersama SBY.

Bila kesepakatan Poros PDIP-Golkar-NasDem (PKB ke laut) ideal bagi mereka maka tidak demikian bagi pendukung PDIP dan reformasi sebab sebagaimana sebuah foto bergambar Surya Paloh-ARB-Prabowo-Wiranto-Akbar Tandjung yang sering diposting fanboi Jokowi untuk meledek lawan PDIP maka Surya Paloh; Akbar Tandjung; ARB; dan JK adalah orang lama Golkar dan bagian Orde Baru yang bukan dari golongan reformis, khusus Akbar Tandjung pendukung koalisi dengan PDIP malah lebih parah dia adalah menteri di kabinet terakhir Presiden Soeharto yang meninggalkan Soeharto begitu saja ketika keadaan tidak menguntungkan.

Demikian pula bagi rakyat sebab selama ini resistensi rakyat kepada pencalonan Ical adalah karena mengetahui bila Ical jadi presiden maka dia akan menggunakan kekuasaannya untuk menyelamatkan perusahaan Bakrie dan terutama Lapindo, dan sekarang kepentingan Ical tersebut akan termanifestasi dalam diri JK. JK sendiri akan menggiring banyak proyek pemerintah ke grup Bosowa dan Bukaka miliknya sebagaimana dia lakukan di zaman bersama SBY. Kehadiran JK yang mewakili kepentingan Ical dapat dipastikan membuat semua pendukung Jokowi dari kalangan "reformis" seperti Goenawan Mohamad; Todung Mulya Lubis; Rizal Ramli; Fadjroel Rahman; Wimar Witoelar dan lain-lain menanggapi perkembangan ini dengan stress sampai muntah darah sebab mereka mengira mendukung capres yang untuk pertama kali tidak membawa unsur Orde Baru tapi ternyata prediksi mereka salah, terutama prediksi bahwa Jokowi bisa mengendalikan Megawati Soekarnoputri.

Bila Jokowi-JK terpilih maka dapat dipastikan JK akan menjadi "the real president" seperti yang terjadi bersama SBY, dan mengingat umur JK yang mencapai 71 tahun dan ketika selesai menjabat akan berumur 76 tahun maka sekali lagi merupakan pelanggaran terhadap agenda reformasi untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan dan memberi kesempatan pada kaum muda.

Dengan demikian Koalisi PDIP sesungguhnya bisa disebut sebagai Koalisi Orde Baru karena dari empat tokoh yang berkuasa yaitu Mega-JK-Ical-Surya Paloh, tiga di antaranya berasal dari partai penguasa saat Orde Baru; sedangkan saat Orde Baru Mega sendiri adalah anggota Fraksi PDI dan PDI juga partai yang didirikan oleh Orde Baru untuk menggabungkan PNI, Partai Katolik dan partai-partai lain. Belum lagi pendukung utama Jokowi adalah CSIS, yang merupakan lembaga think tank yang sangat berpengaruh pada awal berdirinya Orde Baru.

Ironis bukan sebab baru minggu lalu artikel yang dibuat Ghost Writer Jokowi di Kompas berjudul Revolusi Mental mengecilkan Soeharto dengan Orde Baru dan membesarkan Soekarno dengan Orde Lama, sekarang malah pencapresannya dan masa dia menjadi presiden (bila terpilih) akan dikuasai sepenuhnya oleh politisi-politisi Orde Baru murid Pak Harto.

Bagaimana dengan Poros Gerindra? Partai pengusung Gerindra adalah PAN; PPP; Hanura; PKS dan (mungkin) Demokrat dengan dukungan penuh dari Bapak Reformasi Amien Rais dan presiden masa reformasi pertama, almarhum Gus Dur melalui putrinya Yenny Wahid. Poros Gerindra akan mengusung Prabowo dan Hatta Rajasa dari PAN sebagai pasangan capres-cawapres.

Selain PPP, partai Poros Gerindra didirikan oleh tokoh reformasi pada bidang masing-masing dan didirikan pada masa Reformasi. Di bawah penjelasannya.

PAN sebagai partai tempat asal Hatta Rajasa berasal dari Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang didirikan berbagai tokoh reformis tanggal 14 Mei 1998 sebagai wadah tokoh politik melawan Presiden Soeharto dan pemerintahan peralihan dari Orde Baru ke masa Reformasi, beberapa tokoh-tokoh pendiri MARA seperti Goenawan Mohamad adalah juga pendukung utama Jokowi. Untuk menghadapi pemilu tahun 1999, MARA berubah menjadi PAN.

Prabowo yang mendirikan Gerindra adalah orang yang pertama kali mencoba mengadakan perubahan di negara ini dengan menghalangi usaha Benny Moerdani dari CSIS mendeislamisasi Indonesia dan menjauhkan Presiden Soeharto dari pengaruh CSIS. Beralihnya Soeharto dari CSIS ke ICMI dan CIDES adalah masa perubahan pertama pada Orde Baru yang meninggalkan sama sekali ciri-ciri Orde Baru atau bisa disebut proto-reformasi. Setelah Orde Baru menyingkirkan CSIS, CSIS menjadi oposisi terhadap Orde Baru dan memulai gerakan menurunkan Presiden Soeharto.

Adapun SBY adalah salah satu perwira reformis yang menjalankan agenda mengembalikan ABRI/TNI ke barak dan menghapus dwifungsi ABRI. Sementara Wiranto adalah Panglima ABRI yang berhasil membawa Indonesia pada masa transisi dengan selamat.

Dari segi usia, Prabowo 62 tahun, Hatta Rajasa 60 tahun berada pada usia matang untuk memimpin Indonesia tapi tidak terhitung sepuh atau tua seperti capres bayangan dari Poros PDIP bernama JK yang usianya sepuluh tahun lebih tua atau 72 tahun, yang mana ketika Pak Harto menginjak usia 72 tahun adalah masa-masa orang mulai bersuara menurunkan beliau karena terlalu tua.

Berdasarkan hal di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Poros Gerindra adalah poros reformasi yang sesungguhnya yaitu PAN berasal dari MARA; Amien Rais Bapak Reformasi; Prabowo menciptakan proto-reformasi; SBY mendorong terjadinya reformasi; Wiranto mengawal transisi reformasi; almarhum Gus Dur presiden reformasi pertama; Hatta Rajasa menjabat berbagai posisi dalam pemerintahan selama reformasi.

Sekarang tinggal pilihan di tangan anda, mau presiden dan wakil presiden yang mana, yang reformis tidak munafik dan apa adanya; atau yang suka menggunakan simbol-simbol untuk menipu rakyat dan yang meninggalkan Jakarta sementara hari ini jalan Gunung Sahari tenggelam seperti laut karena tanggul yang menjadi tanggung jawab Pemprov DKI kembali jebol.

0 comments:

Post a Comment