Terus terang pemilu tahun ini adalah yang paling menarik sepanjang reformasi dan semuanya bermula dari kegelisahan banyak pihak terhadap potensi pencapresan seorang Prabowo. Menurut saya terlepas dari nantinya Prabowo terpilih atau tidak, dia harus bangga sebab begitu banyak operasi intelijen dan strategi-strategi disusun demi menjegal langkahnya termasuk kampanye bertema HAMBURGER yang sebenarnya sudah tidak berhasil namun akan terus diulang dengan harapan repetisi topik yang sama akan mencuci otak masyarakat..
Menjelang detik-detik terakhir pendaftaran koalisi dan pasangan capres-cawapres begitu banyak intrik dan serangan terhadap Poros Gerindra. Anggota koalisi yang tadinya sudah begitu solid terus digoyang sementara aksinya mencari anggota baru seperti dijegal oleh kekuatan tidak terlihat. Salah satu aksi menggoyang koalisi itu dilakukan oleh salah satu pendiri PAN sejak bernama MARA yang sudah lama tidak aktif, Goenawan Mohamad yang mengeluarkan pernyataan mengundurkan diri dari PAN karena Hatta Rajasa maju bersama Prabowo dan hal tersebut menghianati semangat reformasi sebagai alasan berdirinya PAN.
Mundurnya Goenawan Mohamad memang sengaja dirancang supaya terdengar menghebohkan dan menggemparkan, namun sayang Goenawan Mohamad tidak memiliki kharisma dan nama baik yang cukup untuk membuat orang berpikir PAN kehilangan aset terbaiknya, toh sebagaimana diakui Goenawan Mohamad sendiri, dia sudah lama tidak aktif sehingga sudah lama tidak ikut mengurus kegiatan PAN, sehingga tidak layak bila dia tiba-tiba protes terhadap suatu keputusan yang dibuat PAN yang menurutnya melanggar visi dan misi pendirian PAN. Kemana saja boss?
Lagipula siapa Goenawan Mohamad sehingga dia merasa penting dan layak menjadi polisi moral bagi rakyat Indonesia? Dokumen wikileaks memang menyebutnya sebagai "crusader for press freedom", namun kita tahu bahwa Goenawan Mohamad tidak pernah berani melawan pembredelan rezim Soeharto, setidaknya tahun 1970 sampai 1980akhir. Apa yang membuat berubah sehingga tahun 1994 seorang Goenawan Mohamad seolah makan nyali macan dan melawan Soeharto?
Karena jaminan perlindungan Benny Moerdani yang tersingkir dari Orde Baru dan merupakan teman dekat Fikri Jufri. Selain itu Goenawan Mohamad juga mendapat uang dari Amerika melalui USAid demi melemahkan pemerintahan Indonesia sebesar US 300,000 dan dari uang ini berdirilah lembaga khusus fitnah terhadap Orde Baru bernama Komunitas Utan Kayu, SiaR dan Institut Studi Arus Informasi/ISAI.
Goenawan Mohamad juga memasang beribu topeng di wajahnya dan seolah memiliki kepribadian ganda, sebab di satu sisi dia adalah anggota Manifest Kebudayaan/Manikebu yang melawan Lekra dan komunis; namun di sisi lain ketika Goenawan Mohamad bersitegang dengan Taufik Ismail sesama teman dari Manikebu terkait majalah Horison, dia malah merangkul elemen-elemen ex Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer dan melalui ISAI menerbitkan banyak buku apologetika kaum komunis termasuk buku putih berisi fitnahan yang terkenal dari John Rossa berjudul Pretext to Mass Murder yang isinya hanya sekedar mengambil alih teori yang terbukti salah milik Wertheim.
Keranjingannya kepada usaha menutup "kesalahan" kepada komunis menyebabkan Goenawan Mohamad ikut membantu Carmel Budiardjo, ex PKI dan istri Budiardjo yang menyelundupkan senjata untuk pasukan G30S/PKI membuat film The Act of Killing yang disponsori organisasi milik Carmel Budiardjo, Tapol UK, dengan tujuan mendiskriditkan dan menjelek-jelekan nama Indonesia di forum internasional. Sebagai anak didik agen CIA bernama Ivan Kats tampaknya perbuatan semacam ini bukan hal aneh bagi Goenawan Mohamad.
Di kalangan seniman seorang Goenawan Mohamad juga hanya dihormati di Komunitas Salihara dan Komunitas Utan Kayu/KUK yang dibangunnya. Bagi kalangan seniman non Salihara dan KUK melihat Goenawan Mohamad adalah orang yang arogan, congkak dan merasa paling mengerti seni. Tidak jarang Goenawan Mohamad menyebut karya seniman lain dengan sindiran kasar seperti majalah Boemiputra yang dibuat penyair Wowok Hesti Prabowo dan disebut Goenawan Mohamad sebagai tidak lebih dari coret-coretan di toilet. Wah, hebat sekali, hanya tulisan Salihara dan KUK yang karya sastra, lainnya coretan di toilet!
Selain itu ada Saut Situmorang yang mengkritik politik seni hanya untuk KUK dan Salihara ala Goenawan Mohamad seperti terbukti gagal masuknya Wowok Hesti Prabowo, Ahmadun Herfanda dan Radhar Panca, semuanya seniman non Salihara dan KUK sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006 yang dikuasai sepenuhnya oleh orang-orangnya Goenawan Mohamad seperti Marco K, Ayu Utami, Nukila Amal dll (sama seperti AJI dibentuk dan kemudian dikuasai orangnya Goenawan Mohamad dan Tempo).
Selanjutnya Saut Situmorang juga mengkritik acara internasional yang diadakan KUK tema "Temu Sastra Internasional" di Taman Budaya Surakarta, Solo namun tidak ada satupun sastrawan lokal dari Solo yang dilibatkan untuk ikut di acara tersebut. Sebagai wujud protes, Saut membuat petisi yang ditanda tangani seniman lokal dan membagi-bagikan kepada peserta acara, yang dibalas oleh Goenawan Mohamad melalui mesin politiknya, Tempo yang kemudian menerbitkan berita mengenai tindakan Saut dan seniman lokal Solo sebagai cemburu dan iri hati karena tidak diundang tanpa mewawancarai Saut dan satu-satunya narasumber adalah Goenawan Mohamad sendiri. Luar biasa!
Kritik-kritikan terhadap Goenawan Mohamad masih banyak lagi, termasuk pembelaan Tempo terhadap kasus pemerkosaan yang dihadapi petinggi Salihara, Sitok Srengenge dengan menurunkan berita seolah pemerkosaan terjadi suka sama suka; menurunkan berita tidak benar bahwa MUI menerima suap dari Australia untuk sertifikat halal; dan menempatkan mantan Presiden Soeharto sebagai Yesus, Tuhan umat Kristen dalam cover edisi meninggalnya mantan Presiden Soeharto dan lain sebagainya.
Jadi menjawab judul pertanyaan ini, Memang Siapa Goenawan Mohamad? Anda sudah bisa menjawab sendiri.
0 comments:
Post a Comment