Baru-baru ini warga Jakarta mendapat hadiah tahun baru dari Jokowi yaitu kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Gubernur No. 175 Tahun 2013 tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Tahun 2014 yang ditetapkan tanggal 27 Desember 2013. Adapun nilai kenaikan NJOP bervariasi, dari 120% sampai 300%, tergantung lokasi objek pajak.
Alasan kenaikan NJOP tersebut antara lain Jokowi ingin meningkatkan pendapatan Pemprov DKI Jakarta dan melihat bahwa Pajak Bumi dan Bangunan/PBB adalah sumber pemasukan/pendapatan utama Pemprov Jakarta; dan lagipula menurut Jokowi setiap tahunnya harga pasar tanah dan bangunan selalu naik dengan drastis atau signifikan sehingga NJOP harus disesuaikan dengan harga tanah di pasaran.
Masalahnya tentu saja ingin menaikan pendapatan dengan menaikan sektor pajak adalah bukti Jokowi adalah pemimpin yang malas dan mau enaknya saja. Siapapun bisa menaikan pendapatan dengan menaikan pajak lebih dari 300%. Selanjutnya, kemalasan Jokowi juga berakibat kepada dia tidak melihat bahwa kenaikan harga tanah di pasaran selama ini bukan kenaikan alamiah akibat hukum ekonomi yang normal seperti permintaan dan penawaran (supply and demand) melainkan lebih kepada "gorengan" sebesar ribuan persen yang dilakukan oleh developer perumahan terutama Agung Sedayu dan Agung Podomoro. Karena harga tanah tidak menunjukan nilai sebenarnya maka nilai kenaikan NJOP sudah salah dari awal. Semua ini karena Jokowi pemalas dan pemimpin yang tidak cakap.
Tapi baiklah, kenaikan NJOP dan otomatis PBB sudah terjadi maka sepertinya sulit untuk berkata apa-apa atau protes, kecuali tentu saja bila ada penduduk Jakarta yang mau susah sedikit dengan mengajukan gugatan hak uji materi terhadap dasar kenaikan NJOP dan PBB yaitu Pergub No. 175/2013 ke Mahkamah Agung untuk membatalkan pergub konyol yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Yang menjadi masalah lain adalah bahwa saya menemukan sebuah anomali atau keanehan dalam menentukan alokasi atau persentase kenaikan daerah, bagaimana parameter yang digunakan untuk menentukan daerah yang naik sekian persen dan daerah mana yang naik lebih tinggi atau lebih rendah sekian persen dari daerah lain? Sama sekali tidak ada parameter terukurnya dan pemilik rumah baru tahu PBB yang harus dia bayar ketika hari pembayaran, jadi kenaikan seperti hitung kancing.
Keanehan lain adalah kenaikan NJOP di perumahan super mewah di Jakarta Utara, Pantai Mutiara hanya sebesar 57%, yaitu dari Rp. 9.645.000,00/meter persegi menjadi Rp. 15.105.000,00/meter persegi. Sedangkan daerah lain yang kurang prestise dan harga tanahnya di bawah Pantai Mutiara malah naik hingga 100%, misalnya daerah Pantai Indah Utara dari Rp. 8.875.000,00/per meter persegi menjadi Rp. 17.245.000,00/per meter persegi atau naik 94%; atau daerah Pluit Raya dari Rp. 8.145.000,00/meter persegi menjadi Rp. 17.245.000,00/meter per segi atau naik 112%. Kok bisa?
Kok bisa Pantai Mutiara sebuah perumahan mewah, elit dan ekslusif yang nyaris semua penghuni memiliki kapal pesiar besar di belakang rumahnya dan apartemen super mewah Regatta hanya naik 57%? yang mana bukan saja jauh lebih rendah daripada daerah sekitar yang naik 100% tetapi juga jauh lebih rendah daripada rata-rata kenaikan NJOP di Jakarta yaitu 120% sampai 300%. Bukankah kenaikan NJOP tergantung lokasi objek pajak? Lantas mengapa di lokasi objek pajak elit seperti Pantai Mutiara justru hanya naik 57%? Apa yang membedakan?
Yang membedakan tentu saja Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tinggal di Pantai Mutiara sehingga secara langsung dia menerima keuntungan sebagai pemegang keputusan di Jakarta untuk menaikan NJOP dan PBB yang harus dibayar kepada negara semurah mungkin. Bayangkan kenaikan 57% untuk rumah Ahok yang mewah dan elit sementara rakyat daerah lain yang tidak tinggal di daerah seelit rumah Ahok harus mengalami kenaikan sebesar 120% sampai 300%. Apakah ini adil menurut anda? Apakah perbuatan Jokowi bisa dibenarkan?
Ingat juga bahwa saking ekslusifnya Pantai Mutiara, sampai tanah di perumahan ini sangat terbatas sehingga sekalipun anda memiliki uang untuk membeli rumah di sini belum tentu anda bisa mendapatkan keinginan anda bila tidak ada penghuni lama yang mau menjual rumahnya. Ini adalah bukti elitnya Pantai Mutiara sehingga tidak masuk akal kenaikan NJOPnya hanya sebesar 57% dan sekarang NJOPnya di bawah daerah lain yang tidak seelit Pantai Mutiara misalnya di Pluit Raya.
Perbuatan Jokowi yang memberikan keuntungan kepada wakilnya jelas memenuhi unsur korupsi dan merugikan negara sebab Jokowi memanfaatkan jabatan yang ada padanya untuk memberi keuntungan kepada orang lain dengan merugikan negara sebab bila Jokowi bermain adil maka kenaikan NJOP di perumahan Ahok setidaknya mencapai 300%, sehingga negara dalam hal ini dirugikan karena pendapatan yang masuk tidak sebesar bila Jokowi bertindak adil.
Dengan kebaikan hati Jokowi yang hanya menaikan NJOP di daerah rumah Ahok yang berisi cukong-cukong super kaya itu sebesar 57% tidak heran bahwa suara Gerindra di TPS Ahok keok, sementara suara PDIP sangat tinggi. Ingat juga bahwa dari awal Ahok sudah memberi kisi-kisi bahwa istrinya akan memilih PDIP, sebab Ahok memang sudah hijrah ke PDIP hanya belum resmi sehingga dia menghianati Gerindra dengan membuat komplek rumahnya menjadi memilih PDIP.
Tapi penghianatan Ahok adalah persoalan lain, sekarang persoalannya Ahok telah memanfaatkan kekuasaan Jokowi untuk menguntungkan diri sendiri. Perbuatan semacam ini sudah pernah dilakukan Ahok ketika dia mengabaikan waduk di daerah lain dan ngotot memperbaiki Waduk Pluit yang hanya berjarak tiga meter dari Pantai Mutiara atau kompleks perumahan mewah yang ditinggali Ahok.
Menurut anda yang seperti ini model pemimpin amanah? Memanfaatkan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri adalah pemimpin yang tidak korup? Yang benar saja!!!
0 comments:
Post a Comment