Saya sudah ingin menulis artikel mengenai politisasi kasus "penculikan aktivis" oleh Komnas HAM selama beberapa waktu namun baru ketemu momen yang tepat dengan terbitnya berita di Kompas tanggal 23 Mei 2014 berisi ulasan terhadap pernyataan tertulis dari salah seorang komisioner Komnas HAM bernama Natalius Pigai yang kurang lebih menyampaikan bagaimana berdasarkan doktrin Nuremberg dan doktrin Hostis Humani Generis seorang pelaku pelanggaran HAM berat seperti Prabowo Soebianto yang merupakan "saksi pelaku penculikan aktivis" adalah musuh umat manusia yang dapat diadili di mana saja dan oleh negara mana saja di manapun dia berada karena tidak ada tempat perlindungan (safe haven) bagi pelaku tersebut dengan demikian terpilihnya Narendra Modi sebagai perdana menteri India yang diduga mendalangi kerusuhan rasial yang menewaskan 1.000 umat muslim dan berubahnya sikap Amerika tidak bisa jadi preseden bagi Prabowo. Wow, bagi orang awam pernyataan Komnas HAM ini sangat luar biasa menakutkan, sudah tidak ada harapan bagi Prabowo?
Namun maaf saja bagi yang mengerti sejarah dunia; hukum internasional privat; dan hukum internasional publik terutama hukum humaniter dan hak asasi manusia maka pernyataan komisioner Komnas HAM tersebut sungguh-sungguh sangat menyedihkan karena salah semua. Bagaimana bisa orang yang dipilih sebagai komisioner sebuah lembaga yang menerima tugas maha penting untuk mengawasi hak asasi manusia di Indonesia ternyata kualitas intelektual dan pemahamannya tentang doktrin hak asasi manusia serendah ini? Ini memprihatinkan saya. Apa yang salah dengan pernyataan komisioner yang terlalu menyedihkan untuk saya sebut namanya tersebut ?
Pertama, tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo adalah "penculikan sembilan aktivis" yang semuanya sudah kembali dengan selamat dan empat di antaranya bahkan menjadi anggota partai Gerindra bentukan Prabowo. Darimana logikanya hingga komisioner tersebut sampai kepada kesimpulan bahwa kerusuhan yang menewaskan 1000 orang adalah pelanggaran HAM yang lebih ringan daripada "penculikan sembilan aktivis yang dilepas hidup-hidup"? Ini bukan pertanyaan retorik, saya sungguh ingin tahu doktrin HAM mana yang menyatakan "penculikan" yang "korban"nya kembali dengan selamat adalah pelanggaran HAM berat yang tidak patut ditolerir oleh negara manapun termasuk Amerika sementara pembunuhan 1000 orang bisa mendapat toleransi? Saya tidak tahu logika komisioner Komnas HAM ini kemana perginya?
Kedua, hostis humani generis yang merupakan bahasa latin dari istilah "musuh bagi umat manusia" tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah bisa diterapkan ke dalam kasus yang dilakukan dalam wilayah suatu negara yang berdaulat, apalagi bila kasus tersebut dilakukan oleh aparatur negara seperti tuduhan kepada Prabowo. Mengapa demikian? Karena doktrin hostis humani generis lahir dari kebutuhan untuk mengisi kekosongan hukum laut internasional karena keberadaan bajak laut yang merampok kapal yang melintas laut internasional atau usaha penyelundupan budak yang beroperasi di laut internasional sehingga tidak dinaungi oleh yurisdiksi hukum nasional manapun, oleh karena itu para bajak laut tersebut dinyatakan sebagai "musuh semua umat manusia" yang bisa diburu di wilayah manapun dan negara manapun mereka berada. Pada perkembangannya doktrin ini diaplikasikan kepada kejahatan baru seperti terorisme internasional; atau kejahatan atas orang yang secara hukum internasional wajib dilindungi. Komisioner Komnas HAM tersebut perlu menjelaskan parameter mana yang terpenuhi sehingga doktrin hostis humani generis dapat diterapkan dalam kasus "penculikan aktivis". Saya kuatir bahwa komisioner Komnas HAM itu hanya sekedar melempar istilah latin sehingga orang akan langsung percaya tanpa memeriksa kebenaran pernyataan yang mencantumkan istilah latin tersebut, apalagi ada adagium tidak resmi bahwa orang yang bisa memasukan istilah latin pasti tidak mungkin salah kan?
Ketiga, terlepas kritik keras terhadap pengadilan Nuremberg seperti standar ganda karena pengeboman Dresden; Hiroshima; dan Nagasaki oleh sekutu tidak ikut diadili namun yang jelas doktrin Nuremberg hanya bisa diterapkan untuk kejahatan perang. Pertanyaannya, apakah Prabowo sedang memimpin pasukan berperang ketika dia "menculik aktivis"? Sekali lagi saya mempertanyakan logika berpikir seorang komisioner yang sangat memprihatinkan, memimpin lembaga negara penegakan HAM namun justru tidak mengerti HAM dan asal menyebut doktrin untuk memperkuat pernyataan sehingga terkesan ada dasar hukum.
Namun tentu saja apa yang dilakukan oleh Prabowo adalah bukan penculikan biasa sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ("KUHP"), melainkan tindakan pengamanan yang dilakukan atas perintah Panglima ABRI Feisal Tandjung setelah mendapat informasi adanya sekelompok orang yang ingin menimbulkan kekacauan melalui tindakan terorisme dengan tujuan menghalangi berlangsungnya Sidang Umum MPR tahun 1998. Hal ini juga sudah diakui oleh Komnas HAM dalam dokumen hasil penyelidikan mereka yang diterbitkan tahun 2006, yang antara lain juga mengakui bahwa operasi pengamanan tersebut dilakukan oleh beberapa kesatuan militer, yang antara lain Kopassus, namun sembilan orang yang ditangkap Kopassus sudah dilepas hidup-hidup sementara yang masih belum kembali ditangkap pasukan lain. Di bawah ini adalah screen shot dari putusan Komnas HAM tersebut:
Isi kesimpulan Komnas HAM bahwa operasi Setan Gundul dilakukan oleh beberapa kesatuan juga dibenarkan oleh Andi Arief dalam wawancara dengan majalah D&R edisi 21 Maret 1998 s.d. 25 Juli 1998 yang mengatakan bahwa dia melihat sendiri "para penculiknya" bukan berasal dari satu kesatuan saja melainkan dari beberapa kesatuan yang memiliki standar operasi yang berbeda satu dengan yang lain dan dia melihat kemungkinan ada kesalahan prosedur dalam penangkapan dirinya sehingga "para penculik" tampak kebingungan sendiri. Ini adalah salah satu kutipan dari wawancara dengan Andi Arief tersebut:
"Kini, tujuh (awal pekan ini sudah 10) anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ditahan sebagai tersangka penculikan. Komentar Anda?
Saya melihat bahwa ini bukan cuma pekerjaan satu kesatuan. Saya tidak punya bukti materiil, hanya berdasar bentuk-bentuk interogasi penculik. Interogasinya mulai dari prinsip ideologi sampai ke prinsip organisasi. Saya melihat, ini kerja sistematis dan prosedural dalam pola standar militer (Angkatan Darat). Jadi, tidak fair kalau hanya menyalahkan satu kesatuan atas penculikan yang berlangsung sejak lama--Tanjungpriok, Aceh, Peristiwa 27 Juli, dan sebagainya. Tidak fair kalau hanya menyalahkan Prabowo. Betul ia terlibat, tapi tak mungkin sendiri. Ketika penculikan Pius dan Desmond, Prabowo masih Komandan Jenderal Kopassus. Ketika saya diculik, Komandan Jenderal Kopassus sudah lain, dan Pangabnya, Wiranto. Kalau ini pekerjaan oknum, tidak akan ada penculikan berikutnya."
Terlepas komisioner-komisioner Komnas HAM secara berkala akan mengalami pergantian adalah hal lain, namun semua komisioner baru tetap wajib tunduk pada hasil temuan komisioner lama kecuali dia berhasil menemukan bukti baru yang dapat menjadi dasar mengubah kesimpulan sebelumnya. Dalam kasus "penculikan aktivis" yang sebenarnya "penangkapan teroris" ini Komnas HAM sudah mengetahui peranan Prabowo hanya sampai melepas para aktivis yang ditangkap; namun bagaimana dengan pelaku lain seperti Panglima ABRI? petinggi ABRI? mengapa Komnas HAM tidak memanggil dan mempermasalahkan Wiranto yang merupakan Panglima ABRI pada saat "penculikan" berlangsung, tentunya tidak mungkin Wiranto tidak mengetahui bukan? Lalu bagaimana dengan AM Hendropriyono yang mana salah satu taksi milik perusahaannya (Herodesa) digunakan oleh "para penculik"ketika selama dua setengah bulan melakukan aksi pengintaian? Apakah karena Wiranto maupun Hendropriyono tidak mencalonkan diri sebagai presiden? Kalau begitu terbukti pernyataan komisioner tersebut adalah politisasi isu dan bukan bentuk keprihatinan terhadap kasus itu sendiri.
Bila Komnas HAM memang ingin menangani kasus ini secara profesional maka mereka harus memanggil juga orang-orang yang namanya tercantum dalam email yang ditemukan di lokasi ledakan Bom Tanah Tinggi, Tanah Abang, yang merupakan penyebab utama Panglima ABRI Faisal Tandjung melancarkan Operasi Setan Gundul untuk menangkap aktivis yang melakukan kegiatan terorisme, dan yang masih hidup sampai hari ini antara lain: Hendardi dari PBHI (orang yang baru-baru ini berkaok-kaok menolak Prabowo menjadi presiden); Megawati Soekarnoputri; Sofjan Wanandi; Jusuf Wanandi; Budiman Sejatmiko dan Indah Dita Sari dari PRD; kelompok ex Benny Moerdani (Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Luhut Panjaitan; Sintong Panjaitan; dan lain sebagainya). Isi email yang ditemukan di Tanah Tinggi tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
"Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya."
Semua fakta di atas, khususnya pernyataan dari Andi Arief ternyata membenarkan semua pernyataan Prabowo dalam wawancara dengan Majalah Panji tanggal 27 Oktober 1999 bahwa terjadi kesalahan teknis di lapangan oleh Tim Mawar sebab perintah yang diberikan Prabowo setelah dia mendapat daftar nama dari atasannya adalah menyelidiki nama-nama tersebut dan bukan menculik atau membunuh, namun demikian sebagai komandan tanggung jawab atas kesalahan teknis oleh anak buah tersebut diambil alih oleh Prabowo. Di bawah ini adalah kutipannya:
"Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?
Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.
Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?
Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.
Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan' dalam konteks SU MPR?
Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.
...
Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini... begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala.
Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?
Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.
...
Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?
Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil. Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka."
Secara pribadi saya mendukung penuh setiap usaha mengungkap pelanggaran HAM atau kejahatan di masa lalu baik pada masa Orde Lama; Orde Baru atau Reformasi namun saya menolak keras bila ada pihak-pihak yang mencoba melakukan politisasi terhadap korban pelanggaran HAM dan kasus HAM tertentu sebab dengan mempolitisasi penderitaan maupun kematian mereka, maka sama saja dalam kubur sekalipun HAM para korban telah kembali dilanggar; mereka kembali dibunuh; diperkosa; dijarah; dan disembelih. Kita bisa sedikit maklum bila politisasi tersebut dilakukan oleh NGO/LSM Indonesia yang digaji negara asing seperti Kontras; LBH Jakarta; Elsam; AJI; YLBHI; PBHI dan lain-lain, namun kita tidak boleh menerima bila politisasi dilakukan oleh lembaga negara resmi seperti Komnas HAM. Memang komisioner Komnas HAM dipilih oleh DPR dari berbagai elemen masyarakat, tapi hal itu bukan alasan untuk para komisioner boleh berperilaku tidak layak seolah mereka LSM yang digaji negara asing atau mereka adalah politisi. Selama mereka menjadi komisioner Komnas HAM maka mereka harus menunjukan standar etika yang tinggi supaya tidak mempermalukan nama lembaga tempat mereka bekerja, oleh karena itu perbuatan mempolitisasi suatu kejadian atau peristiwa maupun rebutan mobil antar komisioner tidak boleh sampai terulang lagi karena sangat memalukan!!
0 comments:
Post a Comment