Biarawan Sion awalnya—sebelum peristiwa Penebangan Pohon Elm di tahun 1187—bernama Ordo Sion yang dipercaya menempati sebuah Gereja di atas Gunung Bukit Sion di selatan kota Yerusalem. Seperti juga organisasi maupun ordo lainnya, maka ordo ini pun memiliki Sang Guru dari waktu ke waktu. Dalam periodesasi yang ketat maupun tidak.
Setelah Ordo Sion berubah menjadi Biarawan Sion, maka pejabat Grand Master organisasi ini menurut Dossiers Secrets adalah:
- Jean de Gisors 1188 – 1220
- Marie de Saint-Clair 1220 – 1266
- Guillaume de Gisors 1266 – 1307
- Edouard de Bar 1307 – 1336
- Jeanne de Bar 1336 – 1351
- Jean de Saint-Clair 1351 – 1366
- Blanche d’Evreux 1366 – 1398
- Nicolas Flamel 1398 – 1418
- René de Anjou 1418 – 1480
- Ioland de Bar 1480 – 1483
- Sandro Filipepi 1483 – 1510
- Léonardo Da Vinci 1510 – 1519
- Connétable de Bourbon 1519 – 1527
- Ferdinand de Gonzague 1527 – 1575
- Louis de Nevers 1575 – 1595
- Robert Fludd 1595 – 1637
- Johann Valentin Andrea 1637 – 1654
- Robert Boyle 1654 – 1691
- Isaac Newton 1691 – 1727
- Charles Radclyffe 1727 – 1746
- Charles de Lorraine 1746 – 1780
- Maximilian de Lorraine 1780 – 1801
- Charles Nodier 1801 – 1844
- Victor Hugo 1844 – 1885
- Claude Debussy 1885 – 1918
- Jean Cocteau 1918 – 1963
- Francois Ducaud-Bourget 1963 – 1981
- Pierre Plantard 1981 – 1984
Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, trio penulis Holy Blood, Holy Grail berani memastikan bahwa apa yang terdapat dalam The Dossiers Secrets di atas adalah benar. “Kami telah menyimpulkan bahwa daftar Grand Master dalam Dossiers Secrets itu sangat akurat,” demikian ujar mereka. Namun selain itu, ada pula daftar para Grand Master Biarawan Sion versi Vaincare No.3, September 1989 (hal.22) yang dieditori oleh Thomas Plantard de Saint-Clair, orang yang diduga sama dengan Pierre Plantard. Inilah versi keduanya yang dinilai lebih lemah dibanding versi yang pertama:
- Jean- Tim Negri d’Albes 1681
- Francois d’Hautpoul 1703
- André Hercule de Rosset 1726
- Prince Charles Alexander of Lorranie 1766
- Archduke Maximilian Franz of Austria 1780
- Charles Nodier 1801
- Victor Hugo 1844
- Claude Debussy 1885 – 1918
- Jean Cocteau 1918 – 1963
- Francois Balphangon 1963
- John Drick 1969
- Pierre Plantard de Saint Clair 1981
- Philippe de Cherisey 1984
- Patrice Pelat 1985
- Pierre Plantard de Saint-Clair 1989
- Thomas Plantard de Saint-Clair 1989
Grand Master atau Maha Guru Biarawan Sion biasanya disebut sebagai “Nautonnier” yang memiliki makna “Navigator” atau Nakhoda. Amat mungkin, penggunaan istilah ini merujuk pada fungsi Maha Guru Biarawan Sion yang memiliki kewenangan terhadap arah kebijakan ordo ini dalam menghadapi tantangan dan mengemban misi rahasia yang sudah berumur sangat tua. Dalam memilih Grand Masternya, Biarawan Sion bisa dianggap lebih maju ketimbang Gereja Katolik karena mereka membolehkan perempuan menempati posisi tertinggi di dalam ordo ini. Empat Maha Gurunya adalah perempuan. Bahkan dewasa ini di salah satu cabang di Perancis, ordo ini dipimpin oleh Grand Master perempuan.[1] Jika Grand Master Biarawan Sion yang laki-laki sering memiliki nama John, Jean, atau Yohanes (semuanya sama dengan istilah ‘John’), maka yang perempuan biasanya sering memiliki nama Jeanne, Joanna, atau Joan. Leonardo Da Vinci sendiri yang oleh para peneliti disepakati merupakan salah satu Grand Master Biarawan Sion dalam kurun waktu hidupnya, memiliki nama gelar Jean IX.
Menurut struktur organisasinya, di bawah Grand Master Biarawan Sion atau Sang Nautonnier terdapat satu tingkatan yang diduduki tiga orang yang disebut “Pangeran Noachite de Notre Dame”. Di bawahnya lagi ada tingkatan yang tersusun atas sembilan orang yang disebut “Croisé de Saint Jean”, atau “Ksatria Saint Yohannes” (Dalam versi anggaran dasar terbaru diistilahkan dengan nama “Constable”). Di bawahnya masih ada enam tingkatan lagi dengan struktur yang berubah dan tidak bisa ditentukan kepastiannya. Tiga lapisan puncak diisi oleh tigabelas anggota paling berpengaruh. Mereka menjadi semacam dewan pengatur yang disebut sebagai Arch Kyria. Sebutan ini sebenarnya mengacu pada penghormatan atas feminitas, sepadan dengan istilah ‘Lady’ dalam bahasa Inggris. Di awal abad pertama masehi, di Yunani istilah ini merujuk pada Dewi Isis.
Grand Master pertamanya bernama Jean de Gisors. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sebagai Grand Master pertama ia memiliki gelar ‘Jean II’? Siapakah yang menjadi ‘Jean I”nya? Menurut para peneliti, di antaranya tiga serangkai penulis The Holy Blood and the Holy Grail—Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln—juga Lynn Picknett dan Clive Prince yang menulis buku “The Templar Revelation”, gelar ‘Jean I’ merupakan gelar yang ditujukan bagi Yohannes Sang Pembaptis yang memiliki kedudukan sangat istimewa bagi ordo tersebut.
Bahkan dalam buku Rennes-Le-Château: capitale secrete de l’histoire de France karya Jean-Pierre Deloux dan Jacques Brétigny yang terbit tahun 1982, bersamaan tahun dengan The Holy Blood and the Holy Grail, dengan tegas menyatakan bahwa salah satu pemimpin Perang Salib pertama bernama Godfroi de Bouillon merupakan pemimpin suatu ‘pemerintahan rahasia’ yang memiliki misi khusus dalam mengobarkan Perang Salib.
Di Palestina, Godfroi sempat mengadakan pertemuan dengan sebuah kelompok misterius bernama Gereja Yohanes dan kemudian membangun sebuah rencana besar bagi ordo dan gereja tersebut yang didasarkan atas kekuasaan roh. Guna memuluskan pencapaian rencana besar itu maka dibentuklah sebuah ordo militer khusus bernama Knight Templar. Deloux dan kawannya itu mengutip pernyataan Pierre Plantard yang mengatakan,
“Pada awal abad ke-12 Masehi, tersatukanlah berbagai sarana, spiritual maupun temporal, yang memungkinkan terwujudnya impian Godfroi de Bouillon yang amat mulia; Ordo Templar akan menjadi penjaga Gereja Yohanes dan pengusung panji-panji dinasti yang agung, bala tentara yang penuh pada semangat Sion.”[2]
Jadi, tidak seperti perkiraan banyak orang, bahwa Biarawan Sion maupun Ksatria Templar—dan nantinya juga para penerusnya seperti Freemason, Rosicrusian, dan sebagainya—sama sekali bukan pengawal sejati Yesus, melainkan ‘mengaku’ sebagai pengawal Yohanes Sang Pembaptis. Pengakuan ini pun patut dicurigai, karena mereka sesungguhnya punya motif-motif satanismenya sendiri yang berakar pada masa purba, jauh sebelum Yohanes Sang Pembatis dilahirkan. Bisa jadi, pengakuan bahwa mereka pengawal Yohanes Sang Pembaptis hanya merupakan upaya cari selamat, atau bahkan upaya pengaburan, yang membuat kehadiran mereka disamakan dengan orang-orang Kristen pada umumnya. Padahal mereka sama sekali bukan Kristen.(Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] Michael Baigent cs; The Messianic Legacy; hal.345.
[2] Deloux dan Brétigny, Rennes-Le-Château: capitale secrete de l’histoire de France; hal. 45. Dalam “The Templar Revelation” hal. 83-84.
0 comments:
Post a Comment