Dalih utama Bush untuk menyerang Afghanistan adalah menangkap Usamah bin Laden yang dianggapnya bertanggungjawab atas peristiwa WTC hidup atau mati. “Capture the Evil One alive or dead!” perintah Bush kepada pasukannya. Sejak WTC, Bush memang menyebut ‘Evil One’ kepada Usamah bin Laden, dan ‘Evil’ kepada Saddam Hussein.
Namun, hingga detik ini, setelah melakukan pengejaran yang amat biadab hingga membunuhi ribuan manusia tak bersalah selama hampir lima tahun, Amerika bukannya menangkap Usamah tapi ‘menangkap’ minyak yang dikandung di dalam perut Afghanistan.
Setelah Afghanistan, moncong meriam Amerika mulai mengarah ke Irak, sebuah negara kaya minyak yang hanya dibatasi oleh Iran, dari wilayah Afghanistan. Dalam sebuah pidato di Washington DC tanggal 29 Januari 2002, Bush menyebut tiga negara yaitu Korea Utara, Iran, dan Irak sebagai “Axiz of Evil” Sekutu Setan.
Istilah setan sebenarnya sudah menjadi tradisi di dalam diri presiden-presiden Amerika saat menyebut musuh-musuhnya. Frank Delano Roosevelt menyebut Jerman sebagai setan saat pidato kenegaraan di tahun 1945. Dan Ronald Reagan pun dalam pidato 8 Juni 1982 menyebut Uni Sovyet sebagai ‘Evil Empire” Imperium Setan.
Dari ucapannya, jelas Bush hendak menghancurkan ketiga negara tersebut: Korea Utara, Iran, dan Irak. Namun seperti yang telah diajarkan oleh ahli strategi perang Clausewitz maupun Sun-Tzu, “Jangan mengobarkan perang jika tidak yakin akan memenangkannya,” maka yang diserbu pertama kali adalah Irak, sebuah daging empuk di tengah duri tajam.
Betapa tidak, tanpa diserang pun Negeri 1001 Malam itu sebenarnya sudah kepayahan setelah sembilan tahun lamanya diembargo PBB. Tak kurang dari satu setengah juta rakyat Irak menemui kematian akibat berbagai macam penyakit dan kelaparan. Namun untuk menyerang Irak, Amerika lagi-lagi beraninya main keroyokan. Sejumlah negara dipaksa untuk ikut bergabung, di antaranya Inggris dan Turki. Sedang yang lainnya didesak agar mengizinkan wilayah negaranya dijadikan ‘markas penyerangan’ pasukan Koalisi ke Irak, seperti di Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Saudi Arabia.
Menurut situs globalsecurity.org yang memantau dengan cermat detik per detik perkembangan pengiriman pasukan Koalisi ke Irak menyatakan bahwa sesungguhnya pada tanggal 13 Januari 2003, di hari itu sudah bisa dijadikan tonggak hari penyerangan. Karena 120 ribu tentara siap tempur, ditambah ratusan jet tempur, pesawat pengebom, tanker, dan sejumlah kapal induk sudah berada mengepung Irak.
Empat bulan sebelumnya, ratusan personil intelijen Amerika sudah menyusup ke Irak, memantau lokasi penembakan rudal-rudal Scud, menandai instalasi-instalasi yang harus dibom dengan penanda laser, membuat peta kota, memantau kekuatan lawan, dan sebagainya.
Namun walau demikian, agaknya Amerika punya pertimbangan lain sehingga memulai penyerangan pada tanggal 20 Maret 2003 (20.3.2003). Yang mendarat pertama kali menghantam tanah Irak adalah rudal-rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan dari lima kapal induk yang telah lego jangkar di perairan Teluk Persia dan sekitarnya. Serangan secara massif dilakukan selama dua pekan tanpa henti.
Pada tanggal 9 April 2003, Bagdad berhasil dikuasai pasukan Koalisi tanpa perlawanan yang berarti. Saddam sendiri berhasil ditangkap hidup-hidup pada tanggal 13 Desember 2003 dan menjalani persidangan yang penuh sandiwara hingga hari ini.
Secara berkelakar, banyak pengamat menyebut nama operasi penyerbuan pasukan Koalisi pimpinan Amerika ini dengan nama ‘Operation Iraqi Liberation’ yang disingkat OIL. Minyak. Ya, inilah sebenarnya alasan utama Bush untuk menjajah Irak. Dengan polos, Kepala Eksekutif Perminyakan Inggris, Lord Browne, mengingatkan Washington agar tidak mencaplok Irak setelah perang selesai, hanya demi kepentingan minyaknya sendiri. Dengan kata lain, Inggris meminta jatah minyak Irak juga. Ini dimuat di Guardian, 30 Oktober 2002. Jadi beberapa bulan sebelum pasukan Koalisi benar-benar menggempur Irak.
Selain untuk mengamankan suplai energi bagi dirinya, penyerangan ke Irak yang dilakukan Amerika juga didasari motif ‘memelihara’ dominasi dollar atas pasar internasional. Terlebih menghadapi ancaman Euro.
Mengutip situs rferl.org, Kontributor edisi khusus Islamic Digest Insani, Fauziah Zulkarnain, dalam artikelnya berjudul Euro dan Kecemasan Yahudi Amerika dengan tajam mengulas tentang kecemasan pemodal Yahudi Amerika terhadap keberlangsungan dominasi dollar di pasar internasional.
Padahal, salah satu doktrin yang didukung Dokumen Rebuilding America’s Defences yang ditulis pada tahun 2000, yang lebih dikenal dengan sebutan Project for the New American Century (PNAC), hasil kerja kelompok Zionis-Kristen di Gedung Putih seperti Dick Cheney, Paul Wolfowitz, Jeb Bush, dan lainnya adalah, “Mencegah negara-negara industri yang hendak menentang kepemimpinan Washington atau pun yang mencoba berupaya memainkan peran sebagai kekuatan regional, apalagi berskala global.” Jadi, Washington sama sekali tidak menginginkan adanya satu kekuatan lain, bahkan yang bersifat regional sekali pun, yang bisa dianggap menyaingi hegemoni Amerika.
Namun Saddam Hussein tidak gentar dengan kenyataan ini. Setelah sembilan tahun diembargo, Saddam yakin betul jika perekonomian Irak harus bangkit dengan cepat, dan yang penting, kebangkitannya itu tidak didikte oleh Amerika Serikat, seperti yang selama ini dialami oleh negara-negara dunia ketiga lainnya. Sebab itu, ketika program oil for food digulirkan tahun 2000, Saddam meminta seluruh transaksi atas pembayaran 10 miliar dollar AS menggunakan mata uang Euro, mata uang baru Eropa, bukan DollarAS.
Para pengamat finasial menyatakan bahwa langkah Saddam merupakan pukulan telak terhadap perekonomian Amerika. Langkah Saddam dinilai jenius dan mulai diminati negara-negara penghasil minyak dunia lainnya seperti Iran, yang tengah mempertimbangkan untuk melakukan transaksi dagang dengan Euro, bukan Dollar. Jika Iran sampai mengambil langkah ini, Amerika akan mengalami petaka karena nilai penjualan Iran tercatat sampai dengan 16 miliar dollar.
Apalagi negara-negara penghasil minyak dunia yang tergabung dalam OPEC, kebanyakan juga bukan sekutu setia Amerika. Gedung Putih amat cemas jika seluruh negara OPEC hanya mau menggunakan Euro untuk transaksi minyak-minyaknya. Dengan demikian berarti seluruh negara-negara pembeli minyak dalam skala besar seperti Jepang dan Cina juga akan menggunakan Euro dan membuang Dollarnya.
Semuanya ini akan berujung pada kebangkrutan perekonomian Amerika dalam waktu singkat. Langkah Saddam ini sungguh-sungguh dihadapi dengan penuh kecemasan oleh Gedung Putih, terutama kartel perbankan dan industri Amerika di mana dikuasai sepenuhnya oleh jaringan pemodal Zionis-Yahudi.
Logika dari semua itu adalah, siapa pun yang masih menyimpan mata uang dollar, misalkan kita yang memiliki uang senilai 100 dollar, maka secara ekonomi, kita sebenarnya telah memberi utang kepada The Federal Reserve atau The Fed, logam mulia (emas) senilai 100 dollar. Dengan memiliki uang kertas 100 dollar berarti The Fed telah berjanji akan membayarkan utangnya sebesar 100 dollar kepada kita. Karena kita tinggal di negara dunia ketiga di mana nilai tukar mata uang kita sendiri (Rupiah) sangat rentan terhadap mata uang apa pun, maka secara logika kita akan terus menggenggam erat-erat dollar tadi, ketimbang menukarnya ke dalam mata uang Rupiah. Artinya, Bank Sentral Amerika itu tidak perlu berpikir untuk menebus utangnya kepada kita, karena kita dipercaya tidak akan pernah meminta untuk dilunasi.
Inilah jebakan dollar yang telah dirancang dengan cermat oleh para pemodal Yahudi yang menguasai Amerika (Rockefeller, Rothschild, dan sebagainya). Dengan hanya memberikan ‘surat janji’ berupa selembar kertas hijau bertuliskan 100 dollar, yang sebenarnya secara intrinsik tidak memiliki nilai sama sekali, maka The Fed telah mendapatkan logam mulia yang secara intrinsik sungguh-sungguh bernilai setara dengan 100 dollar. Tapi, mereka tidak perlu membayar utangnya kepada kita karena kita toh tetap bersikeras memegang mata uang dollar tadi. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
0 comments:
Post a Comment