Masa-masa setelah kedatangan para Templar di Istana King Baldwin hingga munculnya Guy Lusignan dalam episode Perang Hattin melawan Shalahuddin al-Ayyubi merupakan rentang waktu yang sangat jarang ditulis sejarawan. Para pengkaji masalah ini hanya bisa menduga-duga, menghubung-hubungkan antara satu fakta dengan fakta lainnya dan menarik hipotesis sementara darinya.
Catatan sejarah yang ada kemudian mengungkap soal betapa berkuasa dan kaya rayanya pada Templar di Yerusalem, dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa hingga begitu mencemaskan raja-raja dan bahkan Paus sendiri. Kekayaan dan kebesaran organisasi Templar dengan sendirinya akan membuat mereka begitu berpengaruh dan hal ini dinilai mampu menggerogoti kewibawaan dan pengaruh raja-raja Eropa serta Paus. Apa yang membuat mereka kaya raya?
Meski pada awalnya mereka mengaku sebagai ksatria yang akan tetap hidup dalam kemiskinan, The Poor Knights, bahkan ada keterangan yang menyebutkan bahwa mereka menyengaja berpuasa dalam beberapa waktu tertentu, namun pada kenyataannya mereka dengan cepat bisa berubah menjadi kaya raya dan besar. Amat mungkin, kewenangan yang diberikan King Baldwin yang juga merangkap sebagaiKing of Yerusalem kepada mereka untuk mengamankan dan mengontrol para peziarah Eropa dari Jaffa ke Yerusalem inilah yang membuat mereka mampu mengumpulkan berpundit-pundi uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Selain itu ada pula pendapat bahwa mereka telah mengadakan pelatihan-pelatihan kemiliteran khusus kepada para ksatria Salib lainnya dan memungut upah dari jasanya tersebut.
Para peziarah Eropa yang sanggup datang ke Yerusalem kebanyakan bukanlah terdiri dari rakyat jelata. Mereka kebanyakan terdiri dari putera-putera para bangsawan, raja-raja, pangeran-pengeran, dan para pedagang yang memiliki harta sedemikian banyak di kampung halamannya. Sebagai pihak yang diberi otonomi khusus dari Raja Baldwin, mereka berhak sepenuhnya mengetahui dan mendata seluruh peziarah yang berlabuh di Jaffa. Dari kewenangan inilah, para Templar dengan cerdik membangun jaringan dan memanfaatkan segalanya untuk memperbesar organisasinya sendiri. Salah satu yang dilakukan mereka adalah dengan merekrut para pengeran, anak-anak bangsawan, dan kaum pedagang terpilih yang tentu saja membawa perbekalan yang amat banyak.
Apalagi banyak di antara para peziarah itu yang mungkin karena didorong iman Kristennya yang demikian tinggi, atau karena sebab-sebab lain, ingin pindah dari Eropa dan menetap di Yerusalem dan sekitarnya. Maka para peziarah yang seperti ini membawa serta dalam kapal-kapalnya seluruh harta kekayaan yang dimiliki, baik yang berupa uang maupun segala macam benda berharga dan permata. Baik peziarah yang hanya ingin berkunjung ke Yerusalem dalam waktu terbatas, maupun mereka yang ingin menetap di kota suci itu, seluruhnya membawa perbekalan dan harta yang tidak sedikit.
Sepanjang rute perjalanan dari kota pelabuhan Jaffa hingga sampai ke Yerusalem, mereka harus melewati jarak yang cukup panjang dan situasi yang tidak menentu. Banyak tentara-tentara Salib yang tidak terkoordinir rapi dan terkenal rakus terhadap harta melakukan perampokan terhadap para peziarah. Ini tidaklah mengherankan. Jika pengalaman di Konstantinopel saja bisa terjadi, Gereja Hagia Sophia, dirampok dan dijarah isinya oleh tentara Salib, maka apakah lagi harta seorang peziarah. Sebab itu, jasa pengamanan yang dilakukan oleh Ksatria Templar memang diperlukan oleh para peziarah ini. Tentunya bukan hanya dikerjakan oleh sembilan orang, tapi yang paling mungkin adalah para ksatria Templar ini memperkerjakan sejumlah orang upahan yang melaksanakan fungsi pengamannya ini. Kesembilan ksatria tersebut hanya sebagai koordinator lapangan. Atau sangat mungkin anggota Ordo Sion turut membantu mereka.
Dalam waktu singkat, ordo Ksatria Templar berkembang dengan pesat. Mereka tidak saja kuat di Yerusalem, namun juga memiliki jaringan yang banyak di Eropa. Setelah Gereja mengakui Ksatria Templar ini dan mengukuhkannya sebagai ordo khusus militer, Hughues de Payens melakukan perjalanan mengelilingi Eropa untuk ‘memohon derma’ (bagi sebagian peneliti dikatakan sebagai ‘memeras’) berupa tanah dan uang dari para bangsawan dan keluarga kerajaan.
De Payens mengunjungi Inggris pada tahun 1129 dan mendirikan situs Ksatria Templar yang pertama di wilayah itu. Situs Templar itu kini menjadi Stasiun Kereta Api Bawah Tanah Holborn di London. Dalam perjalanan mengelilingi Eropa ini, Hughues de Payens juga ‘mempromosikan’ Kota Suci Yerusalem, sehingga banyak keluarga bangsawan dan raja berminat melakukan ziarah ke tanah yang dipercayai sebagai tempat kelahiran Yesus.
Setelah mempelajari kenyataan di lapangan, di mana banyak orang-orang kaya yang hendak berziarah ke Yerusalem namun direpotkan oleh harta benda mereka, maka celah ini dimanfaatkan oleh Ksatria Templar untuk mendirikan sebuah badan yang sangat mirip dengan cara kerja perbankan modern. Mereka membuka diri untuk menampung dan menjaga harta benda orang-orang kaya Eropa yang hendak pergi berziarah ke Yerusalem. Jadi, para peziarah itu tidak perlu repot-repot dan menempuh segala resikonya untuk membawa banyak barang berharga saat pergi ke Yerusalem.
Selama bepergian, seluruh harta benda miliknya bisa disimpan di lembaga yang didirikan para Ksatria Templar yang bernama Usury (berarti riba, atau juga sangat mungkin Usury ini dikemudian hari diadopsi oleh bank-bank modern menjadi Treasury atau tempat penyimpanan benda-benda berharga). Selain itu, selama bepergian, para peziarah tersebut juga diberi selembar kertas promis yang bertuliskan kode-kode yang begitu rumit, hingga hanya pihak-pihak tertentu saja yang dapat membacanya. Kertas promis ini berisi nilai nominal tertentu dari harta yang disimpan di lembaga keuangan Ksatria Templar di Eropa, dan setibanya mereka di Yerusalem kertas promis ini bisa diuangkan di lembaga keuangan Templar setempat. Kertas promis tersebut merupakan cikal bakal sistem cek tunai yang kita kenal sekarang.
Selain itu, ‘bank’ Templar juga membuka diri dengan menyelenggarakan pengaturan pengiriman uang (transfer) yang aman bagi para pedagang Eropa. Harta yang dimiliki lembaganya kemudian diputar kembali dengan membuka jasa simpan pinjam. Para pedagang dan bangsawan, termasuk para raja, bisa meminjam kepada Templar sejumlah besar uang dan mengembalikan dengan mencicil atau tunai pada saat yang disepakati. Ini tentu saja dengan suku bunga yang rendah.
Dengan sendirinya Ksatria Templar tidak saja dikenal sebagai ordo militer yang tangguh dalam Perang Salib, tapi juga dikenal sebagai pelopor sistem perbankan modern yang masih dipakai hingga sekarang. Dan yang jelas, Ksatria Templar menjadi organisasi yang sangat besar, profesional, dan berpengaruh.
Markas Templar di selatan Perancis menjadi rumah penghimpunan harta terbesar di Eropa dan Timur Tengah. Salah satu raja yang berhubungan erat dengan para Templar adalah King Henry II dari Inggris. Tiap tahun, Henry II menyumbang uang untuk menanggung kebutuhan hidup hidup sekitar limabelas ribu ksatria dan tentara Salib yang berada di Yerusalem. Dari keseluruhan lembaga yang didirikan Templar di Eropa dan juga Timur Tengah, setidaknya mereka memperkerjakan enam sampai delapan ribu pegawai yang ditugasi untuk mengurus ‘sistem perbankan’ mereka.
Templar juga memiliki harta yang tersebar di seluruh Eropa dan Timur Tengah, mereka antara lain memiliki sembilan ratusan istana, kastil, kuil, rumah-rumah para bangsawan, dan sebagainya.
Selain berperang dan mendirikan institusi perbankan modern pertama di dunia, para Templar juga dengan cerdik memanfaatkan pergaulan internasional dan membuka diri terhadap peradaban Islam dan Yahudi. Mereka menyerap dengan baik hal-hal baru yang lebih tinggi sifatnya ketimbang peradaban Eropa kala itu. Hal ini kemudian menjadikan ordo ini lebih maju dan lebih berkembang dalam banyak segi di dalam masyarakat Eropa. Banyak para Templar yang kemudian tidak hanya pintar berperang, namun juga menjadi pedagang, pandai besi, ahli batu, arsitek, ahli militer, insinyur, hingga dokter dan pelaut. Bahkan para Templar ini memiliki pelabuhan-pelabuhan sendiri dengan kapal-kapal layar yang modern. Penggunaan kompas bermagnet pertama kalinya juga diperkenalkan para Templar ini ke Eropa.
Kemajuan yang sangat pesat yang terjadi pada ordo ini menimbulkan kesombongan dan kecongkakan yang tidak disukai oleh masyarakat Eropa, terlebih-lebih para raja, kaum bangsawan, dan juga pemuka gereja yang merasa kewibawaannya digerogoti pengaruh Templar yang terus menunjukkan perkembangan yang cepat. Di Eropa kala itu, nama Knights Templar sungguh-sungguh unik. Ia dipuja sekaligus dibenci, dihormati sekaligus dicaci-maki. Yang jelas, banyak kawan namun banyak pula musuh.
Di saat Templar kian terkenal di Eropa, kondisi Yerusalem ternyata menunjukkan perkembangan yang kurang bagus. Ini ternyata disebabkan ulah Templar sendiri yang dikomandani Gerard de Ridefort, dengan dua tokohnya: Guy Lusignan dan Reynald de Cathillon. Gerard adalah Grand Master Templar, sedangkan Guy merupakan tokoh Templar dari Perancis sekaligus ipar dari King Baldwin IV yang menjadi Raja Yerusalem. Guy mengawini adik Baldwin bernama Sybilla. Sedangkan Reynald adalah seorang pangeran Antiokia yang mengabdi King Louis dari Perancis dalam Perang Salib kedua. Setelah tentara Salib pulang ke Eropa, Reynald tetap tinggal di Yerusalem dan berkawan akrab dengan para Templar dan kemudian menjadi anggota ordo tersebut. Di Palestina, Reynald mengepalai sebuah kuil di Kerak dan dengan Yerusalem dibatasi oleh Laut Mati.
Sebenarnya antara King Baldwin IV dan panglima pasukan Islam (Saracen) Shalahudin al-Ayyubi saat itu telah meyepakati perjanjian damai dalam jangka waktu yang lama. Kedua belah pihak bersepakat tidak akan mengganggu satu sama lain, saling menghargai, dan membolehkan orang-orang Islam berada di Yerusalem dan sebaliknya orang-orang Kristen berada di daerah kekuasaan Shalahuddin.
Secara pribadi, Shalahuddin dikenal sebagai panglima Islam yang sangat toleran dan mentaati janji. Perjanjian damai ini ternyata dirusak oleh sepasukan Templar yang dipimpin Gerard de Ridefort dan Reynald de Cathillon, yang tanpa sebab apa pun menyerang dan membantai serombongan umat Islam yang tengah melintas di dekat Yerusalem, di mana mereka telah membayar upeti kepada penguasa Yerusalem. Penyerangan ini terjadi di tahun 1184.(Bersambung/Rizki Ridyasmara)
0 comments:
Post a Comment