Nathan Rothschild yang begitu tajam penciuman bisnisnya ini segera memanggil agen-agen terbaiknya dan mengirim mereka ke Waterloo. Mereka harus mengumpulkan berbagai informasi kelas satu dari kedua belah pihak yang tengah berhadap-hadapan. Semuanya harus akurat. Agen-agen tambahan ditempatkan di beberapa pos komando yang mampu bergerak kapan saja untuk memberi bantuan, dukungan, maupun segi-segi teknis lainnya.
Pada tanggal 15 Juni 1815, tiga hari sebelum D-Day, seorang agen kepercayaan Rothschild dengan langkah tergesa menaiki sebuah perahu yang paling gesit dan berlayar melalui Selat Channel menuju Pantai Dover di Inggris. Orang itu membawa laporan intelijen dari agen-agen Rothschild di lapangan terkait perkembangan terakhir yang terjadi di lapangan.
Agen khusus itu tiba di Folkstone dini hari dan dijemput oleh Rothschild pribadi. Dengan cepat dan seksama Rothschild membaca seluruh isi laporan tersebut dan langsung bergegas ke pasar bursa London. Di pasar bursa itu Rothschild sudah menaruh banyak agennya yang telah siap diperintah kapan pun.
Dengan wajah dingin dan kaku seperti biasanya, Nathan Rothschild memasuki gerbang pasar bursa. Seperti biasa, ia berdiri di dekat ‘Pilar Rothschild’ kesukaannya, sebuah tempat favorit. Agen-agen Rothschild yang sudah berada di pasar bursa sejak beberapa hari lalu, dengan wajah yang juga biasa menunggu isyarat dari bosnya. Entah isyarat apa yang diberikan Rothschild, tiba-tiba saja orang-orang Rothschild ini mulai menumpahkan surat-surat berharga senilai ratusan ribu dollar ke pasar. Begitu kertas-kertas berharga ini dilempar ke pasar dalam jumlah besar, nilainya dengan cepat merosot tajam.
Nathan tetap diam di pilarnya. Ia terus menjual, dan menjual. Nilai kertas-kertas berharga ambruk tidak tertolong. Pialang-pialang lain mulai gelisah melihat sikap Rothschild yang begitu berani melepas saham-sahamnya tanpa ampun bagaikan membuang kertas-kertas yang tidak ada harganya sama sekali. Mereka mulai berspekulasi, bisik-bisik mulai menyebar di antara mereka. Pasar bursa London berdengung bagai suara lebah, “Rothschild sudah tahu! Rothschild sudah tahu! Wellington kalah di Waterloo! Napoleon menang!”
Kepanikan seketika melanda bursa. Semua orang mulai mengikuti ulah Rothschild, menumpahkan kertas-kertas berharganya ke pasar tanpa peduli menjadi berapa pun harganya. Tak hanya uang, logam mulia seperti emas dan perak pun dilepas dengan nominal yang melorot drastis. Hanya satu harapan mereka: berupaya sekuat tenaga mempertahankan kekayaan yang masih tersisa di tangannya. Semuanya terus menukik tajam. Kertas-kertas berharga berserakan di lantai bursa bagaikan gunungan sampah.
Namun dengan wajah tetap dingin, tak berekspresi, Nathan memberi isyarat lain kepada para agennya. Hanya agen-agen yang terlatih yang mengetahui isyarat tersembunyi dari Rothschild. Hasilnya sungguh fantastis. Para agen Rothschild yang tadinya melepas sahamnya, sekarang mereka melesat ke tiap meja yang ada dan memborong seluruh kertas berharga yang teronggok di atas meja dan bertebaran di lantai.
Kepanikan telah menyebabkan banyak pialang dan pengusaha tidak lagi bisa berpikir jernih. Mereka tidak lagi melihat perubahan sikap dari Rothschild. Dalam hitungan menit, semua saham, kertas berharga, emas, perak, dan sebagainya kini telah jatuh ke tangan satu orang: Rothschild. Dia menjadi penguasa tunggal dengan modal yang tidak seberapa.
Beberapa hari kemudian berita yang sesungguhnya tentang Palagan Waterloo tiba di London. Wellington menang! Wellington menang! Harga saham, kertas berharga, dan sebagainya yang tadinya begitu murah, dengan cepat meninggi, harganya melesat ke angkasa.
Kekayaan Rothschild dalam waktu semalam berlipat-lipat jumlahnya. Jumlah kekayaan Rothschild bertambah tak kurang dari duapuluh kali lipat! Rakyat kebanyakan meloncat-loncat kegirangan di jalanan. Sedang para pengusaha banyak yang merasakan mati sebelum waktunya. Mereka kini telah menjadi budak dari Tuan Rothschild, sang penguasa Inggris dan Eropa yang sesungguhnya. Perekonomian Inggris jatuh ke bawah sepatu Nathan Rothschild pada tahun 1815.
Tiga tahun kemudian Perancis menyusul Inggris dan jatuh ke bawah sepatu yang sama.
Frederich Morton menulis, jika dahulu Dinasti Rothschild sangat terbuka dalam berbisnis, hidup dalam gemerlap kemewahan, dan menjadi pusat pemberitaan selebritis dunia, maka kini hal itu tidak lagi menjadi kebiasaan keluarga kaya raya tersebut.
“Kini keluarga itu menyelimuti kehadiran mereka dengan kesenyapan, tak terdengar dan tak terlihat…”Menurut Morton, hal ini dilakukan sebagai strategi baru keluarga ini untuk tetap eksis dalam tujuan utamanya memonopoli dunia.
MENGAKU SEBAGAI DALANG
Tidak selamanya Freemasonry bersikap tertutup. Terkadang mereka juga bisa terbuka, sekali pun sebenarnya menyangkut hal-hal yang sensitif. Namun tentu saja, hal ini dilakukan bukan pada tataran persiapan atau perencanaan suatu aksi, bukan pula strategi dan cetak biru pelaksanaan, tetapi hanya menyangkut ‘sejarah’.
Dalam sebuah diskusi yang terjadi di Majelis Nasional Perancis, seorang wakil anggota Majelis, De Rosanbe, mengungkapkan, “Kita telah meyakini dengan sungguh-sungguh tentang masalah ini, yaitu bahwa Freemasonry adalah satu-satunya pihak yang merancang timbulnya Revolusi Perancis. Dari sambutan serta tanggapan yang kita peroleh dalam Majelis ini menunjukkan bahwa sebagian kita sudah mengetahui apa yang saya ketahui.”
Seorang anggota lain bernama Gommel, yang diketahui juga merupakan anggota dari The Grand Eastern Lodge Perancis yang sering diistilahkan dengan Bluemasonry, mengatakan, “Kita bukan hanya mengetahui hal tersebut, tetapi kita juga akan mengumumkannya kepada dunia.” Hal yang sama ternyata juga dibuka dengan penuh kejujuran, bahkan dengan nada angkuh seperti para Templar dahulu, yang terjadi di saat acara makan malam besar-besaran di Paris pada tahun 1923.
Acara ini dihadiri oleh para politisi dan wakil-wakil dari Liga Bangsa-Bangsa yang kelak beberapa tahun kemudian mengubah namanya menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Seorang tokoh dari The Grand Eastern Lodge, sambil berdiri, berkata dengan lantang, “Perancang Pemerintahan Perancis adalah putera Freemasonry Nasional Perancis. Dan perancang Republik Dunia besok adalah puteri Masonry Internasional.”
DI BELAKANG REVOLUSI OKTOBER RUSIA
Salah satu kantung komunitas Yahudi di Eropa dalam jumlah yang amat besar berada di Rusia. Ketika Konspirasi meletuskan revolusi di Inggris dan Perancis, berita tersebut juga sampai ke telinga komunitas Yahudi di Rusia yang tinggal secara ekslusif di dalam kantung-kantung Yahudi sendiri dan tidak berbaur dengan orang-orang Rusia lainnya. Berabad-abad mereka menempuh cara hidup yang sangat tertutup, jauh dari hiruk pikuk keramaian, dan tentu saja mendidik anak-anak mereka menjadi seorang Yahudi sejati dengan tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum yang ada tetapi menyelenggarakan sistem pendidikannya sendiri di dalam perkampungan mereka.
Kaum Yahudi di Rusia telah tumbuh menjadi satu etnis besar namun sangat tertutup. Sebab itu, mereka sering menjadi bulan-bulanan kebijakan penguasa Rusia (Tsar atau Kaisar) yang menganggap mereka sebagai ‘kelinci percobaan’. Keterasingan mereka sesungguhnya bukan inisiatif sendiri, melainkan suatu bentuk hukuman dari penguasa Rusia yang mengenakan hukuman pembuangan terhadap mereka ke sebuah wilayah tertentu dan dengan demikian mereka tidak bisa berinteraksi dengan orang-orang Rusia lainnya.
Invasi pasukan Napoleon ke Rusia (1812), walau pun akhirnya Napoleon berhasil dipukul mundur, telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi Kekaisaran Rusia. Tsar Rusia, Alexander I, segera membenahi negaranya. Salah satu yang diperbuatnya adalah dengan mengeluarkan sebuah undang-undang baru yang tujuannya untuk mempersatukan seluruh rakyatnya yang porak-poranda akibat perang itu.
Salah satu peraturan baru adalah penghapusan hukuman pembuangan yang sebelumnya dikenakan terhadap orang-orang Yahudi sejak 1772. Peraturan baru ini akan mendorong agar orang-orang Yahudi mau bekerja di ladang-ladang dan berbaur dengan penduduk asli Rusia.(Bersambung/Rizki Ridyasmara)
0 comments:
Post a Comment