Pasukan Saladin |
Tanduk Hattin dipenuhi mayat-mayat ksatria Salib. Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai beterbangan dalam jumlah ribuan berputar-putar di atas tumpukan ribuan mayat yang bersimpah darah. Raja Yerusalem Guy de Lusignan, Grand Master Templar Gerard de Ridefort, dan Reynald de Cathillon menjadi tawanan. Mereka semua digiring dan dibawa masuk ke dalam kemah khusus. Para pangeran yang masih hidup dibebaskan dengan tebusan yang sangat tinggi.
Di dalam kemah khusus, Shalahuddin menghampiri Guy dengan membawa semangkok air minum. Shalahuddin mempersilakan Guy meminum air dari mangkoknya sendiri. Dengan gemetar ketakutan Guy meraih mangkok itu. Setelah rasa dahaganya sedikit terpuaskan, Guy memberikan mangkok air itu kepada Reynald yang memberi isyarat kehausan. Melihat hal itu Shalahuddin bangkit dari duduknya dan menendang mangkok itu hingga airnya tumpah. Dengan sangat cepat Shalahuddin menghunus pedangnya. Sekali tebas terpisahlah kepala Reynald dari lehernya, menggelinding keluar kemah.
Dalam tradisi perang, musuh yang diberi minum dari mangkok sang pemenang akan selamat. Namun Shalahuddin tidak bisa memberi ampunan pada Reynald yang terkenal karena suka menghujat Rasululah SAW dan telah mencederai beberapa perjanjian damai antara Shalahuddin dengan mendiang King Baldwin IV. Melihat Reynald tersungkur jatuh tanpa kepala membuat Guy tambah gemetaran. Shalahuddin mendekati Raja Yerusalem itu dan mengatakan kalimat yang sangat terkenal,
“Jangan takut, tidak ada kebiasaan seorang raja membunuh raja lainnya.” Guy lalu di tahan di penjara Nablus dan dibebaskan pada tahun 1188 sebagai seorang yang sudah tidak lagi memiliki harapan hidup.
Menyusul kekalahan Guy dan pasukannya, dengan sendirinya Yerusalem pun futuh. Amat berbeda ketika Yerusalem ditaklukkan pasukan Salib di tahun 1099 di mana diwarnai dengan perampokan, penjarahan, pemerkosaan, dan pembantaian besar-besaran terhadap seluruh warga sipilnya. Saat Shalahuddin masuk ke Kota Suci Yerusalem, tidak ada setetespun darah tertumpah di dalam kota tersebut. Orang-orang Kristen dan Yahudi yang tinggal di dalamnya bebas menentukan pilihan: tetap tinggal di dalam kota dengan membayarjizyah, atau meninggalkan Yerusalem menuju kampung halamannya di Eropa dengan damai dan diperbolehkan membawa serta harta bendanya.
Kejatuhan Yerusalem dengan cepat disusul oleh kejatuhan daerah-daerah kekuasaan Salib di sekitar Palestina. Pada Mei 1291, benteng Acre, benteng terakhir kekuasaan Salib di Palestina pun tumbang. Dalam mempertahankan benteng besar dan kuat yang berada di tepi pantai yang terjal ini, para Ksatria Templar mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Bahkan Grand Masternya sendiri, Guillaume de Beaujeu, tewas dalam pertempuran ini.
Jatuhnya benteng Acre mirip dengan sebuah benteng yang digoyang gempa berkekuatan besar. Benteng yang tinggi tersebut runtuh ke bawah mengubur penyerang dan yang diserang. Asap bercampur debu mengepul ke udara menandai berakhirnya masa kekuasaan Kristen di Palestina. Air laut di sekitarnya pun berubah mejadi merah darah.
Yerusalem dan seluruh daerah kekuasaan Salib di Palestina telah lepas dari kekuasaan Salib. Lantas, bagaimana dengan keberadaan Ksatria Templar dan Ordo Sion? Kejatuhan Yerusalem inilah yang menjadi sebab terjadinya peristiwa “Penebangan Pohon Elms”, sebuah perpisahan dan perceraian antara Ordo Sion dengan Ksatria Templar. Tindakan gegabah Ksatria Templar dalam menghadapi Shalahuddin sama sekali tidak bisa dimaafkan para pemuka Ordo Sion. Cerai adalah jalan terbaik. Bisa jadi ini hanya terjadi di permukaan, suatu strategi yang dibuat oleh Ordo Kabbalah.
PECAHNYA ORDO SION DENGAN KSATRIA TEMPLAR
Dalam The Dossiers Secrets disebutkan salah satu sebab kejatuhan Yerusalem adalah karena pengkhianatan yang dilakukan oleh Grand Master Templarnya sendiri, Gerard de Ridefort. Walau sebab-sebab lain juga tidak dikesampingkan seperti begitu gegabahnya Guy de Lusignan dan sebagainya. Namun dokumen tersebut sama sekali tidak menjelaskan bentuk pengkhianatan seperti apa yang telah dilakukan Gerard hingga tuduhan yang teramat serius itu dialamatkan kepadanya. Tidak main-main, yang menuduhkan hal tersebut adalah Ordo Sion sendiri, “Sang Bapak” dari Ksatria Templar.
Jatuhnya Yerusalem berarti juga jatuhnya Gereja Abbey of Notre Dame du Mont de Sion yang terketak di selatan Yerusalem. Secara simbolis ini berarti penyerahan Yerusalem kepada kekuasaan Saracen, namun secara hakikat kejatuhan ini sungguh-sungguh memporak-porandakan rencana besar Ordo Sion untuk menemukan “sesuatu” yang diyakini masih berada di bawah markas para Templar yang dulunya merupakan bekas tempat berdirinya Haikal Sulaiman.
Selain itu, ribuan ‘calon anggota Sion’ yang tengah berada dalam perjalanan dari Perancis menuju Yerusalem juga akhirnya berbalik dan kembali ke Perancis. Sebab inilah, Ordo Sion tidak bisa memaafkan kegagalan Ksatria Templar dalam mempertahankan Yerusalem, apalagi kejatuhan ini bukan disebabkan oleh rencana Shalahuddin sendiri melainkan pihak Saliblah yang melakukan provokasi untuk memulai peperangan.
Satu tahun setelah kejatuhan Yerusalem, tahun 1188, secara resmi Ordo Sion melepaskan segala tanggungjawab dan memutuskan hubungan dalam bentuk apa pun terhadap Ksatria Templar. Perpecahan ini dikabarkan diperingati dengan sebuah upacara ritual yang dinamakan “The Cutting of the Elm” (Penebangan Pohon Elm). Tidak jelas apa maksudnya.
Sejak itu, secara resmi Ordo Sion menyatakan Ksatria Templar sudah tidak ada lagi ikatan apa pun dengannya. Ksatria Templar merupakan organisasi mandiri yang tidak ada lagi sangkut-pautnya dengan Ordo Sion. Untuk mempertegas hal tersebut, Ordo Sion pun mengubah namanya menjadi Biarawan Sion (The Priory of Sion). Jika sebelum tahun 1188, Ordo Sion dan Ksatria Templar memiliki satu Grand Master yang sama, maka sejak tahun itu mereka memiliki Grand Masternya sendiri-sendiri. Menurut Dokumen Biara, Grand Master Ksatria Templar pertama di tahun 1188 adalah Jean de Gisors.
Walau secara resmi mengumumkan pisah, namun dalam gerakan bawah tanahnya mereka sepertinya tetap melakukan kerjasama dan saling berhubungan. Di tahun 1307, Guillaume de Gisors, Grand Master Biarawan Sion, dihadiahi kepala emas, Caput LVIIIm dari Ordo Kuil. Caput LVIIIm atau Caput 58M, menurut Tracy R. Twyman harus dibaca sebagai 5 dan 8 dan jika dijumlahkan maka didapat angka 13. Afabet ke-13 adalah M. Jika demikian Caput 58M adalah Caput MM. Ini adalah kode untuk Maria Magdalena (MM).[1]
Hubungan ini oleh Henry Lincoln yang memulai penelitian panjang tentang Ordo Sion dan Templar di Perancis selatan dianggap suatu petunjuk bahwa antara Ordo Sion dengan Ksatria Templar memang tidak ada pemutusan hubungan yang total. Guillaume de Gisors diketahui memiliki hubungan yang baik dengan para Templar, namun diam-diam ia ternyata juga memiliki hubungan dengan Guillame Pidoye, salah seorang kaki tangan King Philippe IV—Philippe Le Bel—dari Perancis yang telah memburu dan membubarkan ordo Templar di tahun 1307. Ada anggapan sementara pihak bahwa Guillame de Gisors ini melakukan kegiatan double agent, yang mengambil keuntungan dari pertentangan antara Templar dengan raja-raja Eropa dan gereja.
Guillame de Gisors inilah yang diyakini telah membocorkan rencana operasi kilat yang akan dilakukan King Philippe le Bel terhadap Templar pada tahun 1307 sehingga pasukan Raja Philippe ini tidak mampu menyita dokumen-dokumen atau keterangan-keterangan penting yang dimiliki Templar, walau berhasil menangkap Grand Master Templarnya dan menghukum mati, DeMolay.
Setelah peristiwa Penebangan Pohon Elm, praktis tidak banyak keterangan yang mengupas tentang keberadaan dan kegiatan Ksatria Templar. Yang mengemuka dalam banyak catatan tentang Templar adalah tudingan bahwa ordo Kristus ini kian hari kian meresahkan para penguasa, raja-raja, para bangsawan, dan termasuk Gereja, yang salah satu sebabnya disebutkan bahwa Ksatria Templar diketahui telah melakukan ritual-ritual keagamaan khusus yang berbeda sekali dengan ritual kekristenan dan bahkan menjurus pada bid’ah dan penyebaran ajaran sesat.
Amat mungkin, perkembangan ordo militer yang sangat pesat, termasuk jumlah kekayaannya, inilah yang berakibat pada semakin luas dan besar pengaruhnya di dalam masyarakat Eropa, telah membuat cemas para penguasa, raja-raja, para bangsawan, dan Gereja. Mereka jelas cemas dengan saingan baru yang bernama Ksatria Templar yang suatu saat dipastikan bisa mengalahkan pengaruh mereka dan menggantikan kedudukan mereka sebagai penguasa Eropa. Kenyataan inilah yang pada akhirnya membuat ordo militer ini dihabisi. Hal tersebut akan dibahas kemudian. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
——————–
[1] Michael Baigent cs; Holy Blood, Holy Grail; Ufuk Pres; 2006; hal. 642.
0 comments:
Post a Comment