Setelah itu, Umar melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti layaknya seorang musafir biasa. Tidak ada pengawal. Ia menunggang seekor kuda yang biasa, dan menolak menukarnya dengan tunggangan yang lebih pantas.
Di pintu gerbang kota Yerusalem, Khalifah Umar disambut Partiarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka kota, dan para komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu berpakaian berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan murah. Sebelumnya, seorang sahabat telah menyarankannya untuk mengganti dengan pakaian yang pantas, namun Umar berkata bahwa dirinya mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islam, bukan dari pakaian yang dikenakannya. Saat Sophronius melihat kesederhanaan Umar, dia menjadi malu dan mengatakan, “Sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama mana pun.”
Di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus), Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Khalifah Umar r.a. Setelah itu Umar menyatakan ingin diantar ke suatu tempat untuk menunaikan shalat tasyakur. Oleh Sophronius, Umar diantar ke dalam gereja tersebut. Umar menolak kehormatan itu sembari mengatakan bahwa dirinya takut hal itu akan menjadi preseden bagi kaum Muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Umar lalu dibawa ke tempat di mana nabi Daud a.s konon dipercaya sholat dan Umar pun sholat di sana dan diikuti oleh umat Muslim.
Ketika orang-orang Romawi Bizantium menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata, kaum yang begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa. “Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik…,” ujar Sophronius.
Umar tinggal beberapa hari di Yerusalem. Ia berkesempatan memberi petunjuk dalam menyusun administrasi pemerintahan dan yang lainnya. Umar juga mendirikan sebuah masjid pada suatu bukit di kota suci itu. Masjid ini sekarang disebut sebagai Masjid Umar. Pada upacara pembangunan masjid itu, Bilal r.a.—bekas budak berkulit hitam yang sangat dihormat Khalifah Umar melebihi dirinya—diminta mengumandangkan adzan pertama di bakal tempat masjid yang akan didirikan, sebagimana adzan yang biasa dilakukannya ketika Rasulullah masih hidup. Setelah Rasulullah SAW wafat, Bilal memang tidak mau lagi mengumandangkan adzan. Atas permintaan Umar, Bilal pun melantunkan adzan untuk menandai dimulainya pembangunan Masjid Umar.
Saat Bilal mengumandangkan adzan dengan suara yang mendayu-dayu, Umar dan kaum Muslimin meneteskan airmata, teringat saat-saat di mana Rasulullah masih bersama mereka. Ketika suara adzan menyapu bukit dan lembah Yerusalem, penduduk terpana dan menyadari bahwa suatu era baru telah menyingsing di kota suci tersebut.
PERANG SALIB
Walau demikian, penyerahan kota suci Yerusalem oleh Uskup Agung Sophronius yang mewakili Gereja Katolik Romawi Bizantium (Timur), diam-diam telah menimbulkan dendam di dada Gereja Katolik Romawi Barat. Perjanjian Aelia yang menancapkan perdamaian antara umat Islam dengan umat Kristen ternyata tidak langgeng. Paus Urbanus II-lah bersama Peter si Pertapa (Peter the Hermit) yang mengakhiri perdamaian itu dan menggali kapak peperangan dengan mengirimkan ekspedisi tentara Salib pertama ke Yerusalem untuk merebut kota suci itu dari tangan kaum Muslimin.
Nama Paus Urban II begitu dikenal dalam sejarah Gereja maupun dunia. Pidatonya yang begitu berapi-api pada tahun 1095 di Clermont, Tenggara Perancis, sangat fenomenal karena mengakhiri masa perdamaian panjang antara Dunia Kristen dengan Dunia Islam dengan menyerukan Perang Salib. Paus Urban II berteriak, “Deus Vult!” Inilah kehendak Tuhan! Maka ratusan ribu orang-orang Kristen Eropa tumpah-ruah menjadi tentara salib dan berbondong-bondong mengalir menuju ke Yerusalem yang hanya dihalangi Lautan Tengah.
Mengapa tiba-tiba Paus Urban II mengobarkan Perang Salib? Mengapa seruan yang sebenarnya mengerikan ini begitu disambut dengan gemuruh oleh orang-orang Kristen di Eropa? Benarkah motivasi orang-orang Kristen—dan Paus Urban II sendiri—adalah murni ingin merebut Kota Suci Yerusalem dari kekuasaan orang-orang Islam? Benarkah Perang Salib semata didasari iman Kristiani? Lantas siapa sebenarnya Peter si Pertapa yang mendampingi Paus Urban II dan memprovokasinya? Adakah Peter si Pertapa merupakan salah seorang anggota cikal bakal Ordo Sion? Adakah Peter merupakan seseorang suruhan dari Majelis Tertinggi Ordo Kabbalah? Pertanyaan ini akan membawa kita menelusuri sebuah kisah yang terjadi di tahun 1070, duapuluh sembilan tahun sebelum Perang Salib I dikobarkan.
Suatu hari, ketenangan dan kesunyian yang ada di sekitar Hutan Ardennes, Belgia, terusik dengan bunyi gemuruh derap puluhan ekor kuda yang berlari kencang. Debu-debu beterbangan ke udara. Burung-burung mengepakkan sayap keluar dari sarang. Hewan-hewan kecil berlarian menghindari jalan tanah yang penuh dilalui kuda-kuda yang berlari dengan cepat. Satu kesatuan biarawan khusus dari Calabria, Italia selatan, pimpinan Ursus tiba di dekat hutan. Hutan Ardennes merupakan bagian dari kekuasaan Godfroi de Bouillon. Setibanya di tempat itu, biarawan-biarawan dari Calabria yang dipimpin seorang tokoh keturunan Dinasti Merovingian langsung mendapat sambutan hangat dari Duchess of Lorraine. Bahkan oleh penguasa daerah itu, para biarawan dari Calabria tersebut diangkat menjadi pemimpin. Duchess of Lorraine adalah ibu angkat dari Godfroi de Bouillon yang bernama Mathilde de Toscane (Mathilda dari Tuscany).[1]
Masih menurut The Holy Blood and the Holy Grail, para biarawan tersebut diberi sebidang tanah dari Mathilde yang terletak di Orval, tidak jauh dari Stenay, sebuah tempat di mana Dagobert II dibunuh lima abad silam. Di atas tanah tersebut didirikan sebuah gereja yang dipergunakan sebagai tempat tinggal mereka. Tigapuluh delapan tahun kemudian, 1108, para biarawan dari Calabria tersebut meninggalkan gereja dan Ardennes secara misterius. Menurut penduduk setempat, konon mereka kembali ke Calabria. Pada tahun 1131, Orval menjadi salah satu tanah milik Saint Bernard. Kedatangan para ksatria misterius ini disambut layaknya saudara dekat yang sudah lama tidak bertemu oleh tuan rumah, Mathilde de Toscane. Para Biarawan dari Calabria ini sangatlah mungkin kelompok dari Ordo Putih Kabbalah, seperti halnya Godfroi de Bouillon.
Sebelum meninggalkan Orval, para biarawan Callabria ini sempat memasukkan salah satu anggotanya, Peter si Pertapa, ke dalam kehidupan keluarga Mathilde de Toscane. Peter menjadi pembimbing ruhani sekaligus penasehat Godfroi de Bouillon. Dengan cepat Peter diterima oleh petingggi Gereja. Pada tahun 1095, bersama Paus Urbanus II, Peter memberikan khotbahnya yang berapi-api yang menekankan pentingnya Dunia Kristen mengakhiri perjanjian damai dengan Kaum Muslimin dan mengobarkan Perang Salib guna merebut kembali Kota Suci Yerusalem. Sejarah telah mencatat, salah satu pencetus Perang Salib selain Paus Urbanus II adalah Peter si Pertapa.
Latar belakang peristiwa yang terjadi dalam Dunia Kristen sebelum Paus Urbanus II dan Peter mengeluarkan pidato yang menghendaki Perang Salib digelorakan, patut dilihat. Pada tahun 1054, lebih kurang 40 tahun sebelum Perang Salib diserukan, Gereja Katolik dilanda perpecahan besar (Schisma) yang mengancam otoritas gereja ini menjadi dua bagian: Gereja Katolik Barat yang berkedudukan di Vatikan, dan Gereja Katolik Timur yang berkedudukan di Konstantinopel. Yang pertama dikemudian hari sering disebut sebagai Gereja Katolik Roma, dan yang kedua dikenal sebagai Gereja Katolik Ortodoks.
Para petinggi Vatikan termasuk Paus Urbanus II terlibat sangat aktif dalam polemik hak penobatan (Controversi Investiture). Selain itu, Gereja Katolik Ortodoks yang berada di wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi Bizantium dianggap sebagai batu ganjalan bagi Katolik Roma dan Eropa Barat untuk melakukan perdagangan secara langsung dengan kawasan timur yakni Dunia Islam.
Faktor lain yang juga menjadi latar belakang Perang Salib adalah anggapan bahwa Palestina merupakan hak milik Dunia Kristen, bagian dari negeri-negeri Kristen (The Christendom). Palestina saat itu tengah berada dalam kekuasaan umat Islam di bawah Dinasti Seljuk. Terlebih setelah kemenangan Dinasti Seljuk atas Romawi Bizantium dalam Perang Manzikert pada tahun 1071, Kaisar Romawi Timur Alexei Comnenus merasa posisinya kian terjepit.
Kepentingan Eropa ini, merebut Yerusalem, ternyata sama dengan kepentingan dari Ordo Kabbalah yang hendak kembali menguasai Palestina guna mendirikan kembali Haikal Sulaiman sebagai Tahta Suci kepercayaan paganis mereka. Mereka percaya, Sulaiman adalah sahabat para Iblis termasuk Lucifer, sebab dalam kitab-kitab Ilahiah pun disebutkan bahwa setan termasuk bagian dari tentaranya Nabi Sulaiman a.s., selain bangsa jin. Penjaga harta karun Haikal Sulaiman saja disebut sebagai Asmodeus, setan penjaga harta karun. Sebab itu, lewat perantaraan Peter Sang Pertapa, Ordo Kabbalah memprovokasi Paus Urbanus II agar mengakhiri perjanjian damai Aelia dan mengobarkan Perang Salib. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln; Holy Blood, Holy Grail; hal. 124.
0 comments:
Post a Comment