Di tahun 1976 terjadi serangkaian peristiwa yang membawa Zionisme-Kristen masuk ke lingkaran pusat politik Amerika. Berkat dukungan kalangan sayap fundamentalis Kristen Evangelis Amerika, Jimmy Carter terpilih sebagai seorang Presiden yang sudah “lahir baru sebagai seorang Kristen-Zionis.” Setahun kemudian, Menachem Begin dan Partai Likud yang juga berhaluan politik fundamentalis berkuasa di Israel. Dengan sendirinya terbangunlah suatu hubungan erat, hubungan ‘theologis’ antara keduanya.
Tahun 1978, Jimmy Carter menyatakan terus terang bahwa kepercayaan pro-Zionisnya telah banyak mempengaruhi kebijakan politik Timur Tengahnya. Namun lama-kelamaan, Carter menyadari bahwa Partai Likud terlalu jahat terhadap warga Arab Palestina. Untuk itu Carter mengusulkan agar dibentuk satu negara merdeka bagi orang-orang Arab di Palestina. Dengan melunaknya sikap Carter, dukungan lobi Yahudi pun surut terhadapnya dan berbalik mengucilkannya. Mereka kemudian mengalihkan dukungan kepada Ronald Reagan dalam Pemilu 1980.
Ketika Reagan terpilih, dukungan Amerika kepada Zionisme Yahudi-Kristen bertambah besar dan luas. Pemerintahan Reagan merupakan pemerintahan Amerika yang paling pro-Israel, tetapi ia juga memberikan jabatan-jabatan politik sangat penting kepada beberapa orang Zionis-Kristen terkemuka. Reagan sendiri seorang Zionis-Kristen, juga Kepala Departemen Kehakiman Amerika Ed Meese, Sekretaris Departemen Pertahanan Casper Weinberger, dan Menteri Dalam Negeri James Watt.
Di saat kekuasaan Reagan-lah dimulai diselenggarakan seminar-seminar keagamaan di Gedung Putih secara teratur, Para tokoh Zionis-Kristen seperti Jerry Falwell, Mike Evans, dan Hal Lindsey, diundang untuk berbicara dan mengadakan kontak pribadi langsung dengan para pemimpin nasional dan Kongres.
Misal, di tahun 1982, Reagan mengundang Falwell untuk memberikan ceramahnya di depan pejabat Dewan Keamanan Nasional soal kemungkinan pecahnya perang nuklir melawan Russia. Dalam suatu percakapan pribadi dengan Tom Dine, seorang pelobi senior Yahudi yang bekerja untuk American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), seperti yang dimuat dalam The Washington Post (April 1984), Reagan menyatakan,
“Anda tahu, saya berpaling kepada nabi-nabi kuno Perjanjian Lama dan kepada tanda-tanda yang meramalkan Perang Armageddon. Saya sendiri jadi bertanya-tanya, apakah kita ini akan melihat semuanya itu terpenuhi. Saya tidak tahu. Apakah Anda belakangan ini juga telah memperhatikan nubuat-nubuat para nabi itu; akan tetapi, percayalah kepada saya bahwa nubuat-nubuat itu menggambarkan masa-masa yang sekarang ini sedang kita jalani.”
Penerus Reagan, George HW Bush, Bill Clinton, dan George W. Bush, meneruskan upaya Reagan. Ada yang berpendapat bahwa penerus Reagan ini semata demikian untuk memelihara dukungan lobi Yahudi Amerika yang memang sangat berpengaruh, ada pula yang meyakini bahwa penerusnya ini juga seorang Zionis-Kristen. Di sekeliling Bush sekarang ini bertebaran pendeta-pendeta Zionis-Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, Hal Lindsey, Zola Levitt, Oral Roberts, Mike Evans, Tim LaHaye, Kenneth Copeland, Paul Crouch, Ed McAteer, Jim Bakker, Chuck Missler dan Jimmy Swaggart. Semuanya adalah para pemuka Kristen–Zionis. Mereka membela kepentingan Israel lewat semua media yang dikuasainya.
Secara teratur, para pemimpin Kristen fundamentalis ini, bersama dengan organisasi-organisasi pro-Israel yang mereka pimpin, menjangkau lebih dari 100 juta orang Kristen Amerika, dan lebih dari 100 ribu pendeta. Jumlah dana operasional mereka konon mencapai US$ 300 juta setahun. Merekalah aktor intelektual bagi dukungan membabi-buta Amerika terhadap Zionis-Israel sampai saat ini.
Hal Lindsey bahkan dengan tegas menyamakan orang Kristen yang anti-Zionisme sebagai pendukung Nazisme yang anti-Semit. Sedang Jerry Falwell adalah pendeta dari Thomas Road Baptist Church. Ia juga mendirikan Baptist Liberty University di Lynchburg, Virginia. Mahasiswanya berjumlah 10.000 orang. Jerry Falwell Ministries mendanai Jaringan Siaran TV Liberty dan program bersama Old Time Gospel Hour yang disiarkan 350 stasiun TV dunia dan memiliki anggaran sebesar US$ 60 juta per tahun.
Tahun 1979, Falwell mendirikan Moral Majority sebagai bagian dari usahanya untuk menjadikan Amerika bangsa bermoral, anti terhadap homoseksualitas, aborsi, pornografi, dan dosa-dosa sosial lainnya. Walau demikian, dalam ceramah-ceramahnya, Falwel kerap melakukan penghinaan terhadap Islam dan sebagian orang-orang Kristen yang masih saja ragu mendukung Zionis-Israel.
Disebabkan pembelaannya yang begitu gigih terhadap Zionisme, pada tahun 1979 Falwell menerima hadiah sebuah pesawat jet dari Israel. Falwell pula, orang non-Yahudi pertama yang dianugerahi medali Vladimir Ze’ev Jabotinsky, sebuah penghargaan untuk mereka yang berjuang bagi keunggulan Zionis, yangdiserahkan langsung oleh PM Menachem Begin di tahun 1980. Jabotinsky adalah pendiri Zionisme Revisionis dan berpandangan bahwa orang-orang Yahudi memiliki mandat ilahi untuk menguasai dan menduduki “kedua tepi (barat dan timur) Sungai Yordan” dan tidak tunduk pada hukum internasional.
Maret 1985, Falwell berjanji di hadapan Majelis Para Rabbi konservatif di Miami akan menyumbangkan 70 juta orang Kristen-Zionis bagi Israel. Sebab itu, Januari 1998, ketika PM Israel Benjamin Netanyahu berkunjung ke Washington, yang pertama dijumpainya bukan Presiden Clinton, tetapi Falwell dan The National Unity Coalition for Israel, yang menghimpun lebih dari 500 tokoh Kristen-Zionis. Kali ini, Falwell berjanji akan menghubungi 200.000 pendeta dan pemimpin gereja untuk mendesak Clinton mengakhiri tekanannya pada Israel yang mau memaksa negeri Zionis ini taat pada kesepakatan Oslo (Declaration of Principles) yang ditandatangani di Washington, 13 September 1993.
Dukungannya kepada Zionis-Israel, secara simetris juga berarti sikap permusuhan yang amat sangat ditunjukkan mereka kepada Islam. Di depan jaringan televisi nasional Amerika, pada tanggal 8 Oktober 2002, Falwell tanpa risih sedikit pun berceramah dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW itu adalah seorang teroris.
Mereka inilah yang sesungguhnya berada di balik keyakinan-keyakinan ideologis Bush dan kelompok Neo-Konservatif di gedung Putih, yang selalu mengobarkan perang demi memenuhi ambisi penguasaan dunia. Serangan ke Afganistan dan Irak, oleh mereka, dikatakan sebagai bagian dari nubuatan Tuhan menjelang datangnya The Second Coming atau Maranatha.
“IN THE NAME OF DOLLAR, OIL, AND GOD”
Ahad malam, 7 Oktober 2001. Jarum jam baru menunjukkan angka 8.45 waktu setempat. Raungan mesin pesawat dari puluhan jet tempur Amerika tiba-tiba merobek langit Afghanistan. Dari arah perbatasan Pakistan, sejumlah jet tempur dengan royal menghujani lima kota besar Afghanistan : Kandahar, Kabul, Mazar-e-Sharif, Jalalabad, dan Herat. Kegelapan malam berubah menjadi lautan api. Cahayanya berpendar menerangi kawasan perbukitan di sekitarnya.
Hanya duapuluh enam hari setelah peristiwa WTC, Amerika Serikat menembakkan salvo tanda dimulainya perang terhadap Afghanistan. Sebuah penyerangan yang pengecut, karena untuk melawan Afghanistan yang notabene negara miskin saja, Amerika merasa perlu mengumpulkan negara-negara sekutunya agar mau bersama-sama mengeroyok Afghanistan. Jadilah pertarungan antara sekawanan elang pemakan bangkai melawan seekor kelinci.
Ironisnya, semua ini dilakukan Gedung Putih hanya berdasar tudingan, tanpa bukti sedikit pun. Akibatnya ribuan anak-anak Afghan menemui syahid secara mengerikan. Tak terhitung banyaknya yang mengungsi atau yang kehilangan sanak-keluarganya.
Pagi hari, Selasa, 13 November 2001, pasukan Koalisi pimpinan AS memasuki Ibukota Afghanistan, Kabul, yang ternyata sudah dikosongkan Mujahidin Thaliban pada malam harinya. Tidak terjadi pertempuran. ‘Jatuhnya’ Kabul dianggap oleh Amerika sebagai kemenangan. Padahal sampai hari ini, walau pemerintahan boneka AS pimpinan Hamid Karzai sudah dibentuk, pejuang-pejuang Thaliban dan Mujahidin lainnya masih melakukan serangan secara bergerilya. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
0 comments:
Post a Comment