Suratkabar Israel, Davar, edisi 9 Juni 1979, memuat sebuah artikel yang berisi buku harian seorang tentara Israel. Tentara ini ikut serta dalam sebuah operasi untuk mengepung desa Palestina, Ed-Dawayma, pada tahun 1948, dan menggambarkan kejadian kejam yang disaksikannya,
“Mereka membunuh antara delapan puluh hingga seratus lelaki, perempuan, dan anak-anak Arab. Untuk membunuh anak-anak, para tentara itu mematahkan leher mereka dengan tongkat. Tidak ada satu rumah pun tanpa mayat. Para perempuan dan anak-anak di desa tersebut dipaksa tinggal di dalam rumah tanpa makanan dan air, lalu para tentara itu datang dan meledakkan dinamit di dalamnya.
Seorang komandan memerintahkan seorang tentara untuk membawa dua perempuan muda ke sebuah bangunan tempat ia menembaki mereka… Tentara lainnya bangga karena telah memerkosa seorang perempuan Arab sebelum menembak mati dirinya. Seorang perempuan bersama bayinya disuruh membersihkan tempat itu selama beberapa hari, kemudian mereka menembaknya berikut bayinya. Para komandan yang terdidik dan sopan yang dianggap sebagai “orang baik” …. menjadi pembunuh tak berprikemanusiaan, dan ini tidak terjadi dalam sebuah pertempuran, melainkan hanya sebuah cara pengusiran dan pemusnahan. Semakin sedikit orang Arab yang tertinggal, semakin baik.
Kejadian nyata di atas hanyalah contoh kecil yang diperbuat tentara Israel selama ini terhadap Muslim Palestina.
Lebih setengah abad sudah warga Palestina, baik yang Muslim maupun Kristen, hidup bagaikan di dalam neraka. Setiap saat, di pasar, sekolah, di dalam kendaraan, bahkan di dalam rumah dan di tempat tidur, tidak ada satu tempat pun yang aman dari serangan membabi-buta tentara teroris Israel. Bukan hal aneh lagi jika seorang bocah perempuan Palestina, pagi hari berangkat ke sekolah dengan riang, menyalami tangan dan mencium pipi bundanya, sepulang dari sekolah ia telah kehilangan sebelah kaki atau tangannya.
Bukan pula hal yang aneh ketika bayi Palestina baru lahir dan baru diadzankan serta diberi nama oleh ayahnya, keesokan paginya ketika dijemur di luar rumah, sebutir peluru sniper Israel menghunjam dada mungilnya.
Mungkin, dibanding warga dunia lainnya, hanya orang Palestina yang mempunyai satu pilihan untuk cita-citanya: Syahid. Bukan menjadi pilot, dokter, guru, insinyur, dan sebagainya, tapi hanya satu dan sangat sederhana: syahid.
Wartawan penulis Ruth Anderson dari The Palestine Chronicle, menulis dengan penuh kegetiran, “…Setiap orang tahu bahwa bayi-bayi tidak bisa melempar batu. Setiap orang tahu, kecuali orang-orang Israel dan Amerika.” Sebab itulah, Zionis-Israel dengan dukungan penuh Amerika setiap hari terus saja membunuhi bayi-bayi Palestina dengan dalih memerangi teroris.
Setelah Perang Dunia II, secara terorganisir orang-orang Yahudi Diaspora terus memenuhi Tanah Palestina. Harun Yahya dalam artikel yang berjudul “Zionisme: Sebuah Nasionalisme Sekuler Yang Mengkhianati Yudaisme”, mencatat pada tahun 1954-1955 kaum Yahudi dari Maroko pindah ke Palestina sebanyak 230.000 jiwa, dari Aljazair sebanyak 130.000, dari Tunisia juga sebanyak 130.000, dari Irak 125.000, dari Syiria 30.000, dari Rusia 80.000, dari Turki 80.000, dari Lebanon (1953-1954) sebanyak 40.000, dari Mesir 66.000 (1956), dan dari Yaman 52.000 (1948-1950).
Perpindahan besar-besaran ini mengakibatkan perubahan jumlah populasi di Tanah Palestina secara drastis. Apalagi setelah Inggris angkat kaki dari Palestina, teroris-teroris Israel melakukan pembantaian dan teror terhadap warga Palestina dalam jumlah amat besar secara sistematis.
Pada tahun 1948, Jenderal Moshe Dayan, yang kemudian menjadi menteri pertahanan, memimpin pembantaian di Masjid Dahmash dan membunuh 100 Muslim Palestina. Akibatnya, 60.000 orang mengungsi, dan 350 orang lebih akhirnya juga meninggal dalam perjalanan.
Dalam tahun yang sama, Zionis juga melakukan pembantaian di Salha dengan cara menggiring penduduk masuk ke dalam masjid dan kemudian membakarnya hidup-hidup. Sekitar 105 warga Palestina syahid.
Yang lebih biadab lagi adalah pembantaian di Deir Yassin yang dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan Stem, yang dipimpin Menachem Begin yang kemudian menjadi PM Israel.
Pada malam, 9 April 1948, rumah-rumah penduduk di Deir Yassin dibakar dan semua orang yang mencoba melarikan diri dari api ditembak mati. Selama serangan ini, wanita-wanita hamil dicabik perutnya dengan bayonet dan kemudian perutnya yang terbelah itu dihunjam tembakan, anggota tubuhnya dipotong-potong, dan banyak perempuan muda Palestina diperkosa.
Sekitar 52 orang anak-anak Palestina disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh secara keji. Lebih dari 280 warga Palestina syahid di tangan Zionis.
Pembantaian juga terjadi di Qibya (1953) mengakibatkan 96 Muslim Palestina, Kafr Qasem (1956, 49 syahid), Khan Yunis (1956, 275 syahid), Gaza (1956, 60 syahid), Fakhani (1981, 150 syahid), Masjid Aqsa (1990, 11 syahid dan 800 terluka), Masjid Ibrahimi (1994, 50 syahid), Qana, Lebanon (1996, 109 syahid), dan lain-lain. Belum lagi pembantaian zionis atas bocah-bocah Palestina dalam intifadhah.
Di antara operasi teroris Zionis itu yang paling terkenal kebiadabannya adalah pembantaian pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, Lebanon, tahun 1982, yang merenggut nyawa lebih dari 3.000 warga Palestina. Arsitek pembantaian itu adalah Ariel Sharon yang bekerja sama dengan kelompok Phalangis Kristen, Lebanon.
Dengan dalih mencari pejuang Palestina, para pengungsi yang tidak bersenjata, tanpa membedakan usia dan jenis kelamin, diberondong senjata otomatis secara membabi buta. Setelah pembantaian keji itu, Ariel Sharon mendapat julukan dari berbagai media sebagai ‘Tukang Jagal Timur Tengah’.
Setiap hari tentara-tentara Zionis-Israel membunuhi dan menjagal warga Palestina, dari bayi yang baru lahir hingga orangtua renta yang sudah tidak bisa lagi berjalan sendiri, namun orang-orang Arab ini tidak juga habis, tidak juga menunjukkan ketakutannya. Bukannya mengibarkan bendera putih, orang-orang Palestina malah menunjukkan bahwa mereka adalah ‘laki-laki jantan’ yang selalu berdiri dengan gagah walau harus menghadapi kematian.
Alangkah terkejutnya Barat ketika HAMAS keluar sebagai pemenang dalam pengumuman hasil pemilihan umum parlemen Palestina, 25 Jauari 2006. Walau proses pemilihan itu berlangsung dengan damai dan sangat demokratis, namun Amerika dan juga Israel tetap saja tidak mau mengakui hasil tersebut. Bahkan Presiden George W. Bush menggalang kekuatan Eropa untuk bersama-sama menerapkan embargo dan menghentikan bantuan finansial terhadap rakyat Palestina.
Satu-satunya keengganan Bush terhadap HAMAS karena selama ini tidak mengakui keberadaan Zionis-Israel sebagai sebuah negara. Selain itu, HAMAS yang oleh Washington dimasukkan sebagai salah satu organisasi teroris dunia, juga dianggap melindungi banyak gerakan perlawanan terhadap Zionis-Israel dan Amerika di dunia.
HAMAS sendiri memandang keberadaan Zionis-Israel di tanah milik bangsa Palestina adalah illegal dan sama sekali tidak sah. Keberadaan Zionis-Israel di tanah Palestina adalah sebagai penjajah. Sebab itu, HAMAS—lewat pernyataan Kepala Biro Politiknya Khalid Mishal—berketetapan hati bahwa sampai kapan pun pihaknya tidak pernah mengakui Zionis-Israel sebagai suatu negara hingga Israel hengkang dari bumi Palestina. Bahkan ketika Barat dan Sekutunya benar-benar mengembargo Palestina setelah HAMAS menang pemilu, sikap dan keyakinan HAMAS tidak bergeming sedikit pun. Embargo yang dilancarkan Amerika dan Sekutunya ini mengakibatkan pemerintahan Palestina di bawah HAMAS berjalan tertatih-tatih. Bahkan untuk menggaji pegawai negeri termasuk para guru, pemerintahan Palestina yang dipimpin Perdana Menteri Ismail Haniya dari HAMAS tidak sanggup. Akibatnya banyak keluarga-keluarga Palestina yang tinggal di rumah-rumah sempit yang sudah hancur karena dibom tentara Zionis, makan seadanya dan seketemunya. Banyak orangtua Palestina yang melakukan puasa agar perut anak-anaknya bisa terisi makanan. PM Ismail Haniya sendiri telah menjalani hidup yang sangat berkekurangan. “Kami sudah siap makan nasi hanya dengan garam,” demikian tegasnya. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
0 comments:
Post a Comment