New York adalah ikon dari banyak hal, salah satunya simbol kedigdayaan ekonomi dan pengaruh Amerika Serikat. Apa salahnya jika menabuh genderang perang abad millennium dari meledakkan satu atau dua gedung ternama di kota ini? Gemanya akan sangat kencang terdengar di seluruh dunia. Demikian yang ada di benak para teroris.
Yang jelas, pada pagi hari, Selasa, 11 September 2001, sebuah drama mengerikan dipentaskan di atas langit New York, disaksikan miliaran mata penduduk dunia karena CNN menayangkannya secara langsung, on location. Banyak yang mengacungkan jempol dan menyatakan tidak percaya CNN mampu men-set sebuah acara on the location yang begitu sempurna hanya dalam hitungan detik, hingga beredar spekulasi bahwa CNN telah menerima bocoran dari pihak tertentu akan ada drama besar abad ini di atas langit New York. Mungkin hanya Ted Turner, Kaisar Teve Dunia berdarah Yahudi, yang bisa memberi jawaban.
Dalam waktu tidak terlalu lama, ‘Obor raksasa’ itu pun ambruk dan rata dengan tanah. Ambruk lurus ke bawah hingga menyelamatkan gedung-gedung yang lebih rendah yang berada di sisi-sisinya. Sebuah kehancuran yang begitu sempurna dan aman. ‘Gerbang raksasa’ kota New York tidak ada lagi. Musnah dalam hitungan jam. Dan bangsa Amerika menangis, mengecam dan mengutuk siapa pun pelakunya.
Dengan cepat, telunjuk Bush langsung menuding Al-Qaeda sebagai pihak yang harus bertanggungjawab. Dari bibirnya, dengan sombong, Bush berkata, “Perang Salib baru telah dimulai.” Sebuah pernyataan yang kemudian diralatnya setelah mendapat teguran dari banyak orang. The New Crusade in Millenium Age.
Peristiwa WTC tentu tidak berdiri sendiri. Pada tahun 1994, pemodal raksasa Yahudi Amerika yang setara dengan Rothschild di Jerman, David Rockefeller, di hadapan Dewan Bisnis PBB menyatakan,“Kita tengah berada di ambang transformasi global. Yang kita perlukan adalah adanya krisis besar sehingga bangsa-bangsa di dunia akan menerima Tata Dunia Baru (The New World Order)”
Ucapan Rockefeller mendapat dukungan dari analis politik luarnegeri berdarah Yahudi, Zbigniew Brzezinski yang dalam bukunya The Grand Chessboard, menulis, “…besar kemungkinan akan sulit mencapai sebuah konsensus (di Amerika Serikat) dalam isu-isu berkaitan dengan kebijakan luar negeri, kecuali dalam situasi berupa kejelasan akan adanya ancaman langsung dari luar secara massif.”
Dan setahun sebelum peristiwa yang mengerikan itu terjadi, pada tahun 2000, Project for a New American Century (PNAC) yang menskenariokan secara matang bahwa dalam waktu dekat Amerika harus menjadi satu-satunya kekuatan dunia tanpa penyeimbang, menyatakan, “Beberapa peristiwa menggemparkan dan bencana besar, seperti sebuah Pearl Harbour yang baru” yang akan menggiring opini masyarakat Amerika untuk mendukung agenda perang.
PNAC juga yang menelurkan cetak biru Pax-Americana, sebuah program strategis yang menskenariokan agar Amerika memiliki kontrol atas negara lain, menjadi pemimpin satu-satunya dari Tata Dunia Baru. Skenario ini disusun oleh Wapres Dick Cheney, Menhan Donald Rumsfeld, Deputi Menhan Paul Wolfowitz, Jeb Bush (saudara George W Bush), dan Lewis Libby (Kastaf Cheney), dan dirilis pada bulan September 2000 dengan nama “Membangun Ulang Pertahanan Amerika”. Jadi, peristiwa serangan terhadap Menara kembar WTC memang diperlukan oleh Gedung Putih agar semua skenario di atas bisa berjalan dengan efektif dan sesuai dengan yang direncanakan.
KEDUSTAAN YANG TERANG BENDERANG
Prof. Dr. Steven Earl Jones adalah Guru Besar Departemen Fisika dan Astronomi pada Birgham Young University, AS. Pria kelahiran Amerika, 25 Maret 1949, ini memperoleh gelar Doctor Bidang Fisika dan Matematika dari University of Vanderbilt di usia 29 tahun. Kredibilitas kelimuannya sungguh tidak bisa diremehkan. Peneliti senior pada berbagai lembaga penelitian yang telah menyabet berbagai penghargaan bergengsi tingkat dunia ini meragukan bahwa Menara Kembar WTC ambruk gara-gara ditabrak pesawat terbang. “Mengapa Menara WTC 7 yang memiliki 47 lantai dan tidak terkena serangan pesawat juga ikut-ikutan rubuh?” selidiknya
Dalam sebuah seminar di Birgham Young University, AS, pada 22 September 2005, di hadapan peserta yang berasal dari Departemen Fisika, Mechanical Engineering, Civil Engineering, Electrical Engineering, Psikologi, Geologi, dan Departemen Matematika, Profesor Jones membantah teori versi pemerintah AS soal rubuhnya Menara WTC yang diklaim diakibatkan oleh tumbukan pesawat terbang. “Saya akan mengemukakan bukti baru berupa hipotesa kehancuran akibat ledakan,” tegas Prof. Jones.
Hipotesa ini diambil berdasar keraguannya sebagai seorang pakar yang meyakini bahwa Menara kembar WTC yang dibuat dari rangka baja dan konstruksi tahan gempa bisa dirubuhkan hanya dalam waktu singkat. Keraguannya ini seolah mendapatkan pembenaran tatkala membaca pengakuan-pengakuan saksi mata yang berada di lokasi sekitar menara WTC saat kejadian.
Edward Cahcia, seorang Fire Fighter (Pemadam Kebakaran) yang bertugas dekat sekali dengan lokasi tanpa mengisahkan kembali apa yang dialaminya. “…kami pikir seperti ada ledakan-ledakan, karena bunyinya, buum.. buum.., buuum, dan kemudian menara itu ambruk… ledakan itu ada di lantai bawah, bukannya di antai yang ditubruk pesawat.”
Petugas pemadam kebakaran yang lain juga mengaku melihat kilatan cahaya dan ledakan-ledakan di lantai atas dekat pesawat dan juga di bawah gedung WTC2 sebelum keruntuhannya.
Apalagi saat liputan langsung, reporter FOX News memberitakan sepersekian nyaris bersamaan dengan runtuhnya gedung, “…ada sebuah ledakan di bagian bawah gedung… asap putih keluar dari dasar… sesuatu telah terjadi di lantai bawah! Lalu ada lagi ledakan…!”
Prof. Jones menyatakan, menara WTC7 yang terdiri dari 47 lantai tidak dihantam pesawat, hanya terbakar karena rembetan dari Menara Kembar WTC. Setelah 7 jam terbakar, WTC7 ambruk, padahal struktur gedung WTC7 yang diletakkan secara asimetris disangga 24 kolom baja berkualitas tinggi yang tahan api. Hukum Kedua Thermodynamics menjelaskan kecil sekali kemungkinan adanya keruntuhan total secara simetris karena api. Keruntuhan itu baru bisa terjadi jika ‘dihancurkan’ oleh bom atau“controlled demolition”. Belum pernah ada dalam sejarah, gedung berstruktur baja kualitas wahid bisa runtuh secara simetris hanya karena kobaran api yang tidak terkendali.
Jika WTC7, berdasarkan rekaman para saksi mata, memperlihatkan kilatan cahaya ledakan di bagian bawah gedung, maka untuk Menara kembar WTC, kilatan cahaya terlihat di bagian bawah dan atas gedung. Hasil analisa pakar pemadam kebakaran yang dimuat dalam Fire Engineering Journal juga menolak anggapan pemerintah. Mereka memastikan bahwa kerusakan struktural akibat hantaman pesawat dan ledakan minyak pesawat tidak cukup mampu untuk merobohkan bangunan menara seperti WTC.
Pandangan Prof. Jones juga didukung oleh Thomas W. Eagar dan Christopher Musso. Eagar adalah seorang Guru Besar Materials Engineering and Engineering Systems, sedangkan rekannya, Musso, adalah peneliti pada Massachussetts of Technology. Kedua pakar ini menyatakan, “…menara WTC yang dibangun pada pertengahan 1960-an, tiap menaranya memiliki luas 64 meter persegi, tinggi 411 meter di atas permukaan jalan dengan kedalaman 21 meter di bawah tanah. Total berat struktur bangunannya 500.000 ton.
Gedung ini dirancang untuk mampu menahan angin berkecepatan 225 km/jam dan sanggup menahan tiupan badai yang bobotnya melebihi 30 kali berat pesawat terbang. Tapi apa lacur, hanya dengan satu tumbukkan pesawat terbang, gedung itu runtuh. Ini sangat ganjil.”
Sejumlah laporan memperkirakan bahwa bahan alumunium dari badan pesawat turut terbakar dan karenanya menghasilkan panas yang sangat tinggi sehingga mampu melelehkan struktur baja gedung itu. “Memang, alumunium bisa saja melebur dalam kondisi panas tertentu, namun seharusnya nyala api berwarna putih dan menyimpan hawa panas. Tetapi nyala api yang terjadi di gedung WTC tidak menunjukkan tanda-tanda seperti ini. Pembersihan puing-puing WTC diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan, tetapi nyatanya upaya pembersihan berlangsung dengan cepat. Malah sisa-sisa baja yang menjadi penyangga struktur bangunan WTC begitu cepat disingkirkan. Bahkan, sebelum sempat dilakukan uji lapangan untuk meneliti kegagalan fungsi baja dalam menyangga gedung itu,” tambah mereka. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
0 comments:
Post a Comment