Dihadapan King Baldwin dan para pembesar lainnya, kesembilan ksatria[1] itu menyatakan siap menjaga keamanan jalan-jalan kecil dan jalan raya yang biasa dilalui para peziarah dari kota pelabuhan Jaffa menuju Kota Suci Yerusalem, jalur peziarah sepanjang 38 mil. Raja Baldwin begitu terpesona dengan kesungguhan dan janji mereka sehingga mempercayai kesembilan ksatria ini serta menyerahkan sayap istana sebelah kirinya sebagai tempat tinggal para ksatria itu. Kamar-kamar para Ksatria Templar yang diberikan oleh King Baldwin ternyata berdiri di atas Kuil Sulaiman.
Di sini timbul pertanyaan, apakah memang King Baldwin yang memberikan wilayah itu kepada mereka tanpa sengaja atau sekadar kebetulan, atau para Ksatria Kuil itu yang meminta wilayah tersebut dengan berbagai dalih. Dari ‘markas’ mereka yang dibangun di atas Kuil Sulaiman itulah nama The Knights Templar muncul. Dari kamar-kamar itulah secara diam-diam para Templar melakukan penggalian ke bawahnya guna mencari harta karun yang diyakininya.
Menurut penelitian Lynn Picknett dan Olivia Prince, Hughues de Payens dan kedelapan ksatria Templar lainnya sesungguhnya merupakan anggota dari Gereja Yohanit (gereja yang mengakui Yohanes Pembaptis sebagai Kristus, bukan Yesus).[2]
Ksatria Templar ini memiliki banyak segel resmi, namun yang paling popular adalah segel yang menggambarkan dua orang ksatria tengah menunggang seekor kuda dari Bertrand de Blanchefort. Ada pendapat yang menyatakan bahwa gambaran ini mewakili kondisi Ksatria Templar itu sendiri yang berjanji akan selalu hidup dalam kemiskinan.
Namun pendapat ini segera dibantah oleh yang lainnya, karena berdasarkan banyak catatan sejarah Perang Salib, Ksatria Templar ini ternyata hidup bergelimang harta dan bahkan organisasi inilah yang mendirikan lembaga simpan-pinjam uang dan harta pertama di dunia yang di kemudian hari dikenal sebagai sistem perbankan konvensional yang ada sekarang.
Oleh Paus, Ksatria Templar ini memang diberi kebebasan—dibanding ordo lainnya—untuk bisa memungut pajak dari wilayah yang dikuasainya. Bagi sejarahwan yang mengamini pandangan kedua, simbol dua orang ksatria menunggang seekor kuda dinilai lebih sebagai simbol kekikiran Ksatria Kuil tersebut, bukan kemiskinan.
Selain segel resmi, Ksatria Templar juga mempunyai motto organisasi yang kalimatnya mencerminkan kebuasan mereka terhadap musuh-musuhnya dalam Perang Salib, yakni kaum Muslim. Motto itu berbunyi: “Rubet en sii sanguinis araborum” (Merahkan pedang agungmu dengan darah orang Arab).
Alasan para Ksatria Templar untuk menjaga rute peziarah dari Jaffa ke Yerusalem di hadapan King Baldwin oleh sejumlah sejarahwan dianggap sangat mengada-ada. Bagaimana mungkin dengan hanya mengandalkan sembilan orang—Templar mengaku tidak menambah personilnya selama sembilan tahun sejak menempati sayap kiri Istana King Baldwin—akan mampu menjaga keseluruhan rute ziarah tersebut yang sangat panjang (38 mil), luas, dan terdiri dari bukit-bukit serta lembah.
Dan sesungguhnya, alasan utama para Templar pergi ke Yerusalem adalah untuk melakukan penelitian dan penggalian harta karun yang diyakininya begitu berharga yang tersimpan di bawah Kuil Sulaiman Kuno.[3]
Sejarawan Prancis bernama Ghaetan de Laforge juga mempunyai kesamaan pandangan. De Laforge menyatakan, “Tugas sebenarnya dari sembilan ksatria itu adalah melakukan penyelidikan di daerah tersebut untuk mendapatkan berbagai barang peninggalan dan naskah yang berisi intisari dari tradisi-tradisi rahasia Yahudi dan Mesir kuno.[4]
Apalagi setelah para peneliti, di antaranya Charles Wilson pada abad ke-19, menemukan bukti-bukti arkeologis ketika melakukan riset arkeologis di Yerusalem berupa jejak-jejak penggalian dan eskavasi di bawah pondasi kuil tersebut. Menilik jenis dan bentuk alat-alat pengalian tersebut dan beberapa peninggalan arkeologis lainnya, Wilson sampai pada kesimpulan bahwa alat-alat tersebut merupakan peninggalan dari Ksatria Templar. Peninggalan-peninggalan ini kemudian dijadikan salah satu koleksi dari Robert Byrdon yang memang memiliki koleksi cukup banyak tentang Templar.[5]
Para peneliti menyatakan bahwa riset dan penggalian yang dilakukan para Templar ini menemukan hasil. Hal tersebut berangkat dari catatan bahwa sejak sejak di Yerusalem inilah, Ksatria Templar yang semula berasal dari para ksatria Kristen ternyata di kemudian hari mengadopsi suatu ajaran, filsafat, dan keyakinan yang sama sekali berbeda dengan Gereja.
Sangat mungkin, selain harta benda yang diketemukan oleh para Templar, ada sesuatu yang mengubah cara pandang Templar terhadap kehidupan dan keyakinannya. Menurut sejumlah kalangan, ‘sesuatu’ itu diyakini sebagai Kabbalah, sebuah ajaran mistik kuno yang berurat-akar pada sejarah para Fir’aun di zaman Mesir kuno.
Pencarian terhadap harta karun ini sekilas bisa dilihat dalam film “National Treasure’ (2004), di mana para Ksatria Templar telah menemukan gudang harta karun yang amat sangat besar dan berharga, di mana dikatakan bahwa karena saking banyaknya maka harta karun ini bukanlah milik seseorang bahkan untuk seorang raja pun.
Selain “National Treasure”, film lain yang juga menggambarkan keyakinan masyarakat umum di Barat tentang ‘harta karun’ ini bisa dilihat di dalam “Indiana Jones and The Last Crusade” yang mengisahkan perburuan The Holy Grail sebagai harta karun tersebut. Menurut Indiana yang diperankan Harrison Ford, “The Holy Grail telah diamankan oleh Yusuf Arimatea dan setelah itu kisahnya tidak terdengar lagi hingga seribu tahun kemudian, ketika tiga orang Ksatria Templar menemukan The Holy Grail itu di Kuil Sulaiman dan mereka mengamankannya hingga kini.”
Pandangan bahwa para Templar ini mengalami perubahan orientasi selama di Yerusalem tentu saja bisa diterima, walau juga harus dipertanyakan kembali bahwa bukankah Ksatria Templar tersebut pergi ke Yerusalem, menghadap King Baldwin dengan suatu dalih, lalu diperbolehkan tinggal di atas kuil Sulaiman kuno, itu semua dimotivasi oleh semangat pencarian harta harun atau sesuatu yang dianggap sangat berharga?
Jika demikian, sebenarnya para Templar itu sebelum pergi ke Yerusalem, mereka sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal ini. Jadi, pandangan yang menyatakan para Templar ini mengalami ‘perubahan keyakinan dan filsafat hidup’ sejak berada di Yerusalem dan menemukan ‘sesuatu’ agaknya patut ditinjau kembali.
Bukankah para Ksatria Templar itu pergi ke Yerusalem sudah dalam kondisi in-mission? Apalagi jika kita menengok ke belakang Templar di mana berdiri Ordo Biara Sion yang juga tidak kalah misteriusnya. Walau sulit untuk mencari pembuktiannya, namun banyak catatan dan literatur meyakini bahwa keberadaan Biara Sion dan Ksatria Templar di Yerusalem sesungguhnya adalah dalam rangka menjaga ‘sesuatu yang paling berharga’ dan juga mencari ‘sesuatu yang belum ditemukan’ yang diyakini mereka berada di bawah reruntuhan Kuil Sulaiman (Solomon’s Temple). Mereka diduga kuat tengah menjalankan misi suci yang diperintahkan Majelis Tertinggi Ordo Kabbalah yang keberadaannya lebih rahasia dan misterius, yang berada di atas para Sanhedrin—pendeta tertinggi Yahudi—sekali pun.
Apakah ‘sesuatu’ itu Cawan Suci (The Holy Grail) yang berisi darah Yesus Kristus di mana menurut kepercayaan pagan Yahudi siapa pun yang mendapatkannya akan menjadi panjang usia, kaya raya, berpengaruh, dan memiliki kekuasaan atas semua bangsa di dunia? Inikah motivasi sesungguhnya? Lalu bagaimana dengan kabar yang menyatakan bahwa The Holy Grail itu sendiri adalah Maria Magdalena, perempuan bangsawan yang dinikahi Yesus dan melahirkan keturunannya? Adakah di bawah Kuil Sulaiman itu tertanam jasad seorang Maria Magdalena?
Pertanyaan demi pertanyaan akan mengemuka tiada habisnya. Dan untuk mencari jawabannya juga sangat sulit mengingat tidak ada literatur yang mengetahui pasti atau mencatatnya. Yang bisa dilakukan paling-paling adalah menarik hipotesis dari mosaik yang didapatkan. Dan susahnya lagi, siapa pun tidak mengetahui secara pasti seberapa besar gambar yang harus disusun dari mosaik-mosaik yang terus bermunculan dan diketemukan. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] Nama-nama kesembilan Ksatria Templar itu adalah: Hughues de Payens, Geoffrey de Saint Olmer, Rossal, Gondamer, Geoffrey Bisol, Payen de Montdidier, Archambaud de Saint Agnat, Andre de Montbard, dan Hugh Conte de Champagne (Harun Yahya; The Knights Templars;2002).
[2] Lynn Picknett dan Olive Prince; The Templar Revelation; hal. 258.
[3] Christopher Knight and Robert Lomas: The Hiram Key; Arrow Books; 1997; hal.37
[4] Delaforge; The Templar Tradition in the Age of Aquarius; The Hiram Key; hal.37
[5] Charles Wilson; The Excavation of Jerusalem; The Hiram Key; hal.38
0 comments:
Post a Comment