Gubernur Jenderal Pieter Stuyvessant yang berkuasa di Nieuw Amsterdam mengetahui imigrasi orang-orang Yahudi di wilayahnya. Stuyvessant sendiri tidak menyukai kehadiran orang-orang Yahudi. Namun akibat campur tangan pemodal Yahudi internasional, Stuyvessant akhirnya mengalah dan membolehkan mereka tinggal di koloninya.
Walau demikian terhadap orang-orang Yahudi itu, Stuyvessant memberlakukan sejumlah persyaratan. Di antaranya, orang-orang Yahudi tidak boleh menjadi ambtenaar (pegawai pemerintah) dan juga dilarang berdagang komoditas tertentu. Hal ini menjadikan saudagar-saudagar itu memutar otak untuk bisa menghasilkan uang.
Saat itu, di kota baru ini juga terdapat banyak imigran Eropa yang miskin, pakaiannya lusuh dan bahkan jarang yang diganti. Akhirnya para saudagar Yahudi ini membuka sebuah usaha baru yang sebelumnya belum di kenal oleh dunia: berdagang pakaian bekas. Dan ini ternyata laku keras.
Maulani mencatat, “Adalah masyarakat Yahudi yang pertama kali menjadikan pakaian bekas sebagai komoditas perdagangan di dunia. Bisnis itu di kemudian hari mereka kembangkan ke industri pakaian murahan, yang kini dikenal dengan jenis pakaian ‘jeans’ dan ‘denim’ yang semula terbuat dari bahan kain layar (terpal) yang murah, kuat, serta tahan lama, yang terutama sekali cocok bagi pekerja di daerah pedalaman Amerika Serikat.
Salah satu nama yang kesohor hingga kini adalah Strauss Levi. Orang-orang Yahudi adalah pedagang pertama di dunia yang memperdagangkan apa saja dari barang-barang bekas, mereka adalah kaum pemulung pertama di dunia.”[1]
Nieuw Amsterdam pun menjadi pusat perdagangan pakaian bekas yang dilakukan para saudagar Yahudi. Orang-orang Yahudi menamakan kota tersebut sebagai The New Yerusalem. Tak sampai setengah abad kemudian Inggris merebut koloni itu dan mengganti nama Nieuw Amsterdam dengan New York. Hingga sekarang, New York menjadi kota dan negara bagian dengan konsentrasi orang Yahudi terbesar di seluruh Amerika Serikat. Bahkan New York mencatat sebagai kota dengan jumlah penduduk terpadat di seluruh Amerika Serikat.
Saat berlangsung Revolusi Amerika saja, jumlah mereka ditaksir sekitar empat ribu jiwa. Setengah abad kemudian jumlahnya membengkak menjadi 3,3 juta jiwa. Orang-orang Yahudi sudah terlibat dalam Perang Kemerdekaan Amerika melawan Inggris. Namun seperti yang sudah-sudah, Tentara Konstinental di bawah pimpinan Jenderal George Washington mendapat bantuan dana perang dari para saudagar Yahudi Amerika, sedangkan Rothschild mengucurkan bantuan kepada pihak Inggris. Dan yang menang perang, lagi-lagi Yahudi.
GERBANG BERNAMA DOLLAR
Ketika negara Amerikat Serikat belum terbentuk, dan bahkan Inggris belum menjadikan Amerika sebagai koloninya, orang-orang Yahudi telah ada di sana dan membantai penduduk asli Indian. Sama seperti yang dilakukan Zionis-Yahudi yang memenuhi Tanah Palestina dan membunuhi penduduk aslinya, Muslim Palestina. Christopher Columbus berlayar di bawah Salib Templar atas dana Pemodal Yahudi, Columbus juga beristerikan seorang puteri Templar, dan awaknya banyak yang Yahudi.
Tak heran, tidak lama setelah Columbus menjejakkan kakinya di Amerika, orang-orang Yahudi Spanyol dan kemudian disusul dengan Yahudi-Yahudi lainnya melakukan imigrasi memenuhi tanah Amerika, dan mengusir atau membantai penduduk aslinya, suku Indian.
Jika saja sejarah benar-benar sebuah paparan yang jujur tentang masa lampau, maka saat ini kita akan menyebut ekspedisi Columbus sebagai ekspedisi perampok dan pembunuh. Demikian pula para imigran Eropa yang datang dan mendirikan koloni di Amerika. Sejarah tidak pernah mencatat, seberapa banyak orang-orang Indian yang menemui ajal dibunuh oleh orang-orang Eropa yang mendarat di sana. Namun sejarah ternyata bukan paparan jujur tentang masa lampau, tapi kisah para pemenang, yang tentu saja merasa benar sendiri. Hal ini diabad ke-21 diteruskan oleh kelompok Zionis-Israel dan juga kaum Hawkish di Amerika Serikat yang memiliki semboyan “Mighty is the Right” atau Kekuatan adalah Kebenaran.
Jauh sebelum negara Amerika Serikat terbentuk, para Mason telah berada di daratan ini. Ketika Amerika masih menjadi 13 koloni Inggris, Benjamin Franklin mengunjungi London dan menemui sejumlah pemodal Yahudi berpengaruh di sana. Dalam pertemuan yang dicatat dalam Dokumen Senat Amerika halaman 98 butir 33 yang ditulis oleh Robert L. Owen, matan kepala komisi bank dan keuangan Kongres AS, dilaporkan bahwa wakil-wakil perusahaan Rothschild di London menanyakan kepada Benjamin Franklin hal-hal apa saja yang bisa membuat perekonomian koloni Amerika itu bisa maju.
Franklin yang masih menjadi anggota Freemasonry Inggris menjawab, “Masalah itu tidak sulit. Kita akan mencetak mata uang kita sendiri, sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh industri yang kita miliki.” Rothschild segera saja mencium kesempatan besar untuk mengguk untung di koloni Inggris ini. Namun sebagai langkah awal, hak untuk mencetak uang sendiri bagi koloni di seberang lautan tersebut masih dilarang oleh Inggris. Seperti yang sudah kita singung di muka, bank sentral Inggris dan seluruh sendi perekonomian Inggris saat itu sudah dikuasai sepenuhnya oleh para pemodal Yahudi.
Amshell Mayer Rothschild sendiri saat itu masih sibuk di Jerman mengurus bisnisnya, yang salah satu cabang usahanya adalah mengorganisir tentara bayaran (The Mercenaries) Jerman bagi Inggris untuk menjaga koloni-koloni Inggris yang meluas melampaui Eropa. Usulan mencetak mata uang sendiri bagi Amerika, lepas dari sistem mata uang Inggris, akhirnya tiba di hadapan Rothschild.
Setelah memperhitungkan segala laba yang akan bisa diperoleh, demikian pula dengan penguasaan politisnya, maka Rothschild akhirnya menganggukkan kepalanya. Dengan cepat lahirlah sebuah undang-undang yang memberi hak kepada pemerintah Inggris di koloni Amerika untuk mencetak mata uangnya sendiri bagi kepentingan koloninya tersebut. Seluruh asset koloni Amerika pun dikeluarkan dari Bank Sentral Inggris, sebagai pengembalian deposito seklaigus dengan bunganya yang dibayar dengan mata uang yang baru.
Hal ini menimbulkan harapan baru di koloni Amerika. Tapi benarkah demikian? Dalam jangka waktu setahun ternyata Bank Sentral Inggris—lewat pengaruh pemodal Yahudi—menolak menerima pembayaran lebih dari 50% dari nilai mata uang Amerika, padahal ini dijamin oleh undang-undang yang baru. Dengan sendirinya, nilai tukar mata uang Amerika pun anjlok hingga setengahnya. “…Masa-masa makmur telah berakhir, dan berubah menjadi krisis ekonomi yang parah. Jalan-jalan di seluruh koloni tersebut kini tidak lagi aman,” demikian paparan Benjamin Franklin yang tercatat dalam Dokumen Kongres AS nomor 23.
Belum cukup dengan itu, pemerintah pusat Inggris memberlakukan pajak tambahan kepada koloninya tersebut yakni yang dikenal sebagai Pajak Teh. Keadaan di koloni Amerika bertambah buruk. Kelaparan dan kekacauan terjadi di mana-mana. Ketidakpuasan rakyat berbaur dengan ambisi sejumlah politikus. Situasi makin genting. Dan tangan-tangan yang tak terlihat semakin memanaskan situasi ini untuk mengobarkan apa yang telah terjadi sebelumnya di Inggris dan Perancis: Revolusi.
Sejarah mencatat, bentrokkan bersenjata antara pasukan Inggris melawan pejuang kemerdekaan Amerika Serikat terjadi pada tanggal 19 April 1775. Jenderal George Washington diangkat menjadi pimpinan kaum revolusioner. Selama revolusi berlangsung, Konspirasi Yahudi Internasional seperti biasa bermain di kedua belah pihak. Yang satu mendukung Inggris, memberikan utang dan senjata untuk memadamkan ‘pemberontakan kaum revolusioner’, sedangkan satu pihak lagi mendukung kaum revolusioner dengan uang dan juga senjata. Tangan-tangan Konspirasi menyebabkan Inggris kalah dan pada 4 Juli 1776, sejumlah tokoh Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya. (Bersambung/Rizi Ridyasmara)
[1] Z.A. Maulani; Zionisme, Gerakan Menaklukan Dunia; hal. 150.
0 comments:
Post a Comment