Guna mendapatkan gambaran yang relatif lebih baik tentang Ksatria Templar, kita mau tidak mau harus menelusuri peristiwa Perang Salib, sebuah peristiwa yang berjalan dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki arti yang sangat besar dalam hubungan antara Islam dengan Kristen, bahkan hingga hari ini.
Dalam Perang Saliblah nama Ksatria Templar muncul pertama kali dan menjadi begitu terkenal, baik karena misterinya maupun karena sikapnya yang sungguh-sungguh haus darah. Perang Salib yang diawali dengan pidato berapi-api Paus Urban II tidak bisa terpisah dari peristiwa penyerahan kunci kota suci Yerusalem dari Uskup Sophronius kepada Khalifah Umar bin Khattab yang berjalan dengan sangat damai. Walau demikian, penyerahan ini menimbulkan dendam kesumat Barat terhadap umat Islam, yang kian bertambah ketika mereka terpojok dan tidak mampu memenangkan pertempuran melawan kaum Muslimin di akhir episode Perang Salib.
Dendam ini terbawa ke dalam alam bawah sadar Barat dan mengendap hingga kini.
PEMBEBASAN YERUSALEM
Sekitar empat abad sebelum Perang Salib pertama meletus, setelah terjadinya perang Yarmuk, pasukan kaum Muslimin meneruskan ekspedisi pembebasan wilayah-wilayah ke seluruh negeri. Pasukan induk kaum Muslimin yang berada di bawah komando Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid meneruskan gerakan mereka ke bagian utara negeri Syam,[1] sementara itu beberapa kontingen pasukan Islam di bawah komando Amru bin Ash dan Shurabbil tetap bertahan di wilayah selatan negeri Syam, yang meliputi Yordania dan Palestina.
Mengetahui induk pasukan Islam bergerak meninggalkan Yarmuk, Artabunus, Gubernur Imperium Romawi Timur, Bizantium, yang kala itu merupakan salah satu negara super power dunia di samping Imperium Persia, menghimpun pasukannya kembali di Ajnadin untuk mengadakan serangan balasan guna mengusir pasukan Muslim yang masih ada di Suriah. Pertarungan Palagan Ajnadin yang berlangsung sampai di penghujung tahun 636 M berlangsung dengan sangat ganas dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan Muslim. Artabunus dan sisa pasukannya kabur ke Yerusalem.
Dari Ajnadin, pasukan Muslim bergerak ke seluruh penjuru Yordania dan Palestina. Kota-kota Sabtah, Gaza, Nablus, Bait-Jibril, dan lainnya berhasil dibebaskan oleh pasukan Muslim. Pembebasan Yerusalem tinggal menunggu waktu. Kota suci bagi tiga agama itu dipertahankan dengan sangat kuat. Kota Yerusalem dikelilingi tembok tinggi yang kokoh dan di bagian luarnya digali parit-parit yang dalam dan terjal. Jika musuh menyerang, maka parit-parit iu akan segera diisi dengan minyak panas atau sulfur yang membara. Siapa pun yang menyerang Yerusalem, maka ia pasti akan mendapatkan kerugian yang amat banyak.
Saat pasukan Muslim mendekati Yerusalem di awal tahun 637 M, musim dingin masih menusuk tulang. Walau demikian, pengepungan terhadap kota ini terus dilakukan dengan sangat ketat. Amru bin Ash, panglima Muslim di wilayah selatan, tidak tega membiarkan pasukannya berlama-lama mengepung Yerusalem dalam kondisi kedinginan seperti itu. Ia ingin operasi pembebasan Yerusalem cepat dituntaskan. Amru bin Ash lalu menulis sepucuk surat minta bala-bantuan kepada panglima Abu Ubaidah di Suriah. Saat itu, seluruh utara Suriah sudah dibebaskan pasukan Muslim hingga Abu Ubaidah dengan cepat bisa mengirimkan pasukan bantuan guna mendukung gerak pasukan Islam di wilayah Selatan.
Berita kedatangan bala bantuan kepada pasukan Muslim yang tengah mengepung kota membuat pasukan dan warga Kristen dan Yahudi yang berdiam di dalam kota menjadi ciut. Mengingat kedudukan Yerusalem sebagai kota suci, sebenarnya pasukan Muslim enggan menumpahkan darah di kota itu. Sementara kaum Kristen yang mempertahankan kota itu juga sadar mereka tidak akan mampu menahan kekuatan pasukan Muslim. Menyadari memperpanjang perlawanan hanya akan menambah penderitaan yang sia-sia bagi penduduk Yerusalem, maka Patriarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius mengajukan perjanjian damai. Permintaan itu disambut baik Panglima Amru bin Ash, sehingga Yerusalem direbut dengan damai tanpa pertumpahan darah setetespun.
Walau demikian, Uskup Agung Sophronius menyatakan kota suci itu hanya akan diserahkan ke tangan seorang tokoh yang terbaik di antara kaum Muslimin, yakni Khalifah Umar bin Khattab r.a. Sophronius menghenaki agar Amirul Mukminin tersebut datang ke Yerusalem secara pribadi untuk menerima penyerahan kunci kota suci tersebut. Biasanya, hal ini akan segera ditolak oleh pasukan yang menang. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh pasukan kaum Muslimin. Bisa jadi, warga Kristen masih trauma dengan peristiwa direbutnya kota Yerusalem oleh tentara Persia dua dasawarsa sebelumnya di mana pasukan Persia itu melakukan perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan juga penajisan tempat-tempat suci.
Walau orang-orang Kristen telah mendengar bahwa perilaku pasukan kaum Muslimin ini sungguh-sungguh berbeda, namun kecemasan akan kejadian dua dasawarsa dahulu masih membekas dengan kuat. Sebab itu mereka ingin jaminan yang lebih kuat dari Amirul Mukminin sendiri.
Panglima Abu Ubaidah memahami psikologis penduduk Yerusalem tersebut. Ia segera meneruskan permintaan tersebut kepada Khalifah Umar r.a yang berada di Madinah. Khalif Umar segera menggelar rapat Majelis Syuro untuk mendapatkan nasehatnya. Usaman bin Affan menyatakan bahwa Khalifah tidak perlu memenuhi permintaan itu karena pasukan Romawi Timur yang sudah kalah itu tentu akhirnya juga akan menyerahkan diri.
Namun Ali bin Abi Thalib berpandangan lain. Menurut Ali, Yerusalem adalah kota yang sama sucinya bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, dan sehubungan dengan itu, maka akan sangat baik bila penyerahan kota itu diterima sendiri oleh Amirul Mukminin. Kota suci itu adalah kiblat pertama kaum Muslimin, tempat persinggahan perjalanan Rasulullah SAW pada malam hari ketika beliau berisra’ dan dari kota itu pula Rasulullah bermi’raj. Kota itu menyaksikan hadirnya para anbiya, seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa a.s. Umar akhirnya menerima pandangan Ali dan segera berangkat ke Yerusalem.
Sebelum berangkat, Umar menugaskan Ali untuk menjalankan fungsi dan tugasnya Madinah selama dirinya tidak ada.
Kepergian Khalifah Umar hanya ditemani seorang pelayan dan seekor unta yang ditungganginya bergantian. Ketika mendekati Desa Jabiah di mana panglima dan para komandan pasukan Muslim telah menantikannya, kebetulan tiba giliran pelayan untuk menunggang unta tersebut. Pelayan itu menolak dan memohon agar khalifah mau menunggang hewan tersebut. Tapi Umar menolak dan mengatakan bahwa saat itu adalah giliran Umar yang harus berjalan kaki.
Begitu sampai di Jabiah, masyarakat menyaksikan suatu pemandangan yang amat ganjil yang belum pernah terjadi, ada pelayan duduk di atas unta sedangkan tuannya berjalan kaki menuntun hewan tunggangannya itu dengan mengenakan pakaian dari bahan kasar yang sangat sederhana. Lusuh dan berdebu, karena telah menempuh perjalanan yang amat jauh.
Di Jabiah, Abu Ubaidah menemui Khalif Umar. Abu Ubaidah sangat bersahaya, mengenakan pakaian dari bahan yang kasar. Khalif Umar amat suka bertemu dengannya. Namun ketika bertemu dengan Yazid bin Abu Sofyan, Khalid bin Walid, dan para panglima lainnya yang berpakaian dari bahan yang halus dan bagus, Umar tampak kurang senang karena kemewahan amat mudah menggelincirkan orang ke dalam kecintaan pada dunia.
Kepada Umar, Abu Ubaidah melaporkan kondisi Suriah yang telah dibebaskannya itu dari tangan Romawi Timur. Setelah itu, Umar menerima seorang utusan kaum Kristen dari Yerusalem. Di tempat itulah Perjanjian Aelia (istilah lain Yerusalem) dirumuskan dan akhirnya setelah mencapai kata sepakat ditandatangani. Berdasarkan perjanjian Aelia itulah Khalifah Umar r.a menjamin keamanan nyawa dan harta benda segenap penduduk Yerusalem, juga keselamatan gereja, dan tempat-tempat suci lainnya. Penduduk Yerusalem juga diwajibkan membayar jizyah bagi yang non-Muslim.
Barangsiapa yang tidak setuju, dipersilakan meninggalkan kota dengan membawa harta-benda mereka dengan damai. Dalam perjanjian itu ada butir yang merupakan pesanan khusus dari pemimpin Kristen yang berisi dilarangnya kaum Yahudi berada di Yerusalem. Ketentuan khusus ini berangsur-angsur dihapuskan begitu Yerusalem berubah dari kota Kristen jadi Kota Muslim.
Perjanjian Aelia secara garis besar berbunyi: “Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah ‘Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi.” (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] Pada abad ke-7 hingga kehadiran kolonialisme Inggris di Timur Tengah pada abad ke-19 meliputi wilayah Palestina, Yordania, dan Suriah.
0 comments:
Post a Comment