Sultan Abdul Hamid II |
Sejak itu, dengan bantuan dana dari para pemodal Yahudi utamanya Dinasti Rothschild, mengalirlah imigrasi orang-orang Yahudi ke Timur Tengah, utamanya Palestina dan daerah-daerah sekitarnya.
Gerakan orang-orang Yahudi ini bukannya tidak diketahui oleh orang-orang Arab, pada tahun 1891 beberapa pengusaha Palestina dengan nada prihatin mengirim telegram ke Istambul. Dalam telegram itu, dengan penuh kecemasan, para pengusaha Palestina menyatakan imigrasi orang-orang Yahudi ke wilayahnya akan benar-benar menjadi ancaman jika tidak dihentikan.
Lima tahun kemudian, Theodore Hertzl menulis sebuah buku yang secara detil mengajukan konsep tentang upaya pendirian ‘negara Israel’ di Palestina. Buku itu berjudul ‘Der Judenstaat’ atau Negara Yahudi (1896). Bukunya ini segera mendapat sambutan yang hangat dan sebab itu, Hertzl dinobatkan sebagai ‘Bapak Zionisme Modern’.
Strategi perjuangan Yahudi, oleh Hertzl, secara singkat bisa diungkapkan dalam sebuah kalimat yang singkat namun penuh arti: “Bila kita tenggelam, kita akan menjadi suatu kelas proletariat revolusioner, pemanggul ide dari suatu partai revolusioner; bila kita bangkit, dipastikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan kita yang dahsyat.”
Untuk bisa mendirikan negara Yahudi di atas tanah milik bangsa Palestina, maka kaum Yahudi—demikian Hetrzl—harus melaluinya dengan jalan di luar jalan demokratis. Beberapa hal yang harus dilakukan antara lain: memenuhi tanah Palestina dengan orang Yahudi sehingga Yahudi menjadi mayoritas, seiring dengan itu menjadikan warga Palestina sebagai warga minoritas dengan berbagai cara yang bisa dilakukan seperti pembersihan etnis, perang, penyebaran penyakit, pembukaan lahan kerja di negara tetangga, dan sebagainya.
Rekayasa demografis ini terus berlangsung hingga hari ini. Selain itu, garda terdepan bangsa Yahudi juga harus memaksakan dunia internasional untuk membuatkan undang-undang yang melegitimasi keberadaan Yahudi di Palestina. Inilah pokok-pokok strategi pendudukan Palestina.
Hertzl mengatakan, “Kami akan mengeluarkan kaum tidak berduit (maksudnya bangsa Palestina) dari perbatasan dengan cara membuka lahan-lahan pekerjaan di negara-negara tetangga, dan bersamaan dengan itu mencegah mereka memperoleh pekerjaan di negeri kami. Kedua proses itu harus dilakukan secara senyap.”
Sembari mempropagandakan hak sejarah orang-orang Yahudi atas tanah Palestina dan mendelegitimasi keberadaan orang Palestian di tanahnya sendiri, Hertzl kemudian berangkat menemui Sultan Abdul Hamid II yang tengah berada di tampuk kekuasaan Turki Utsmaniyah. Saat itu, Palestina merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Turki.
Hertzl datang menghadap Sultan dengan satu maksud, untuk mempengaruhinya agar bersedia bekerjasama dengan kaum Yahudi dalam hal penyerahan tanah Palestina. Ini dilakukan Hertzl di tahun 1896, setahun sebelum dirinya menggelar Kongres Zionis Internasional I di Bassel, Swiss. Kala itu kongres tersebut belumlah terpikirkan.
Sebenarnya, Hertzl sudah mengerti apa sikap Sultan menghadapi permintaannya ini. Namun Hertzl tidak mau mengira-ngira dan ingin mendengar langsung dari bibir Sultan tentang sikapnya itu. Apalagi Hertzl membawa satu janji menggiurkan dari para pemilik modal Yahudi internasional yang berkenan memulihkan kas keuangan Turki Utsmani yang sedang kosong jika permintaannya dituruti.
Namun di luar perkiraan Hertzl, Sultan Mahmud II ternyata memang seorang pemimpin yang sangat tegas, seorang pemimpin yang begitu kuat memegang prinsip, bahkan dengan berani menolak tawaran yang sangat menggiurkan sekali pun.
Mendengar permintaan Hertzl yang menginginkan Sultan menghibahkan Palestina kepada kaum Yahudi dengan imbalan bantuan keuangan dalam jumlah sangat besar, Sultan Abdul Hamid II dengan tegas berkata,
“Jangan lagi engkau membicarakan soal ini. Saya tidak akan menyisihkan sejengkal pun tanah Palestina karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka… Biarkanlah orang Yahudi menyimpan uang mereka yang berjuta-juta banyaknya di peti mereka.[1]
Hertzl sangat tersinggung. ‘Bapak Zionisme Modern’ ini pun meninggalkan Turki dengan tangan hampa. Kegagalan ini kelak membuatnya berpikir untuk sesegera mungkin mengumpulkan para tokoh Yahudi dari seluruh dunia, untuk membahas rencana dan strategi yang lebih khusus, action plan, dalam mencapai tujuan akhir yaitu menjadikan bangsa Israel memiliki sebuah tanah airnya sendiri.
Hertzl kemudian teringat rencana yang telah dilontarkan oleh Albert Pike, seorang tokoh Illuminati, sebelum kematiannya di tahun 1893. Albert Pike merupakan seorang jenderal Amerika Serikat yang direkrut oleh pemimpin revolusi Italia yang juga seorang Freemason bernama Giuseppe Mazzini, yang kemudian menjadi salah satu tokoh sentral dalam Illuminati.
Di kemudian hari, Albert Pike ini juga membentuk Order of Knights of the Ku Klux Klan (KKK) yang melandasi gerakannya pada semangat rasialis untuk menghancurkan semua manusia berkulit hitam (negro) atau selain kulit putih. KKK didirikan di Nashvilee pada tahun 1867 dengan mengunakan lambang Salib Ksatria Malta.
Beberapa tahun lalu, Albert Pike menyarankan agar Hertzl menggelar sebuah pertemuan besar, yang dihadiri semua tokoh berpengaruh Yahudi dari berbagai negara, untuk menyusun rencana aksi guna mendirikan sebuah negara bagi kaum Yahudi. Hertzl merasa yakin, inilah momentum yang tepat untuk menabuh genderang persatuan kaum Zionis Internasional bagi sebuah rencana aksi yang besar. Inilah latar belakang diselenggarakannya Kongres Zionis Internasional I.
Sesungguhnya, ketika Hertzl tengah menggodok rencana penyelenggaraan Kongres Zionisme Internasional I, Konspirasi Yahudi Internasional mengirim kembali delegasinya yang kini berjumlah tiga orang untuk menghadap Sultan Abdul Hamid II. Mereka adalah Mezrahi Krazu, Jack, dan Lion. Namun Sultan yang mengetahui hal ini menolak menemui mereka dan hanya mengutus salah seorang pejabat istana bernama Takhsin Pasha.
Ketiga utusan Yahudi itu dihadapan Takhsin Pasha tidak lagi meminta hibah tanah Palestian seperti halnya yang dilakukan Theodore Hertzl, namun hanya meminta izin agar orang Yahudi diperkenankan memasuki Palestina untuk keperluan ziarah ke tempat-tempat suci mereka dan mendirikan sebuah perkampungan kecil mereka di dekat Yerusalem.
Jika permintaan ini disetujui Sultan, maka delegasi itu akan menyerahkan imbalan sebagai tanda terima kasih kepada Sultan berupa janji akan melunasi seluruh hutang pemerintah, akan membiayai berdirinya armada laut yang lengkap dengan kapal-kapal perangnya demi menjaga kedaulatan Turki Utsmani, dan akan memberikan kredit sebesar 35 juta lire uang emas tanpa bunga guna memperkuat keuangan negara dan menghidupkan perekonomiannya.
Segera saja Takshin menyampaikan hal ini kepada Sultan. Sikap Sultan tak bergeser sedikit pun. Kepada Takhsin, Sultan Abdul Hamid II berkata,
“Takhsin, katakan kepada orang-orang Yahudi itu sebagai berikut: Pertama, hutang pemerintah bukanlah suatu kejahatan. Negara lain seperti Perancis juga tersangkut hutang, dan semua itu tidak mempengaruhinya.
Kedua, Baitul Maqdis telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin atas pimpinan Umar bin Khattab r.a. Aku tidak bersedia menanggung nama buruk dalam sejarah, bahwa aku telah menjual tanah suci itu kepada Yahudi. Aku tidak mau mengkhianati amanah kaum Muslimin yang telah dipikulkan di atas pundakku.
Ketiga, katakan kepada orang-orang Yahudi itu untuk menyimpan saja hartanya sendiri. Pemerintah negara tidak dibenarkan membina aparatur negaranya dengan uang musuh Islam. Dan keempat, ini yang paling penting, suruh mereka segera angkat kaki dari sini, dan jangan boleh lagi mencoba menemui aku atau memasuki tempat ini!”[2]
Demikianlah, Yahudi tidak pernah bosan untuk terus mendesakkan kemauan mereka kepada Sultan Abdul Hamid II. Namun lagi-lagi jawaban yang diterima tetap sama. Sebab itu, Konspirasi kemudian memandang harus dicari strategi yang jitu agar kaum Yahudi bisa berkumpul di Palestina dan mendirikan sebuah negara di atasnya. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] Neville Barbour; A Survey of the Palestine Controversy; Institute of Palestine Studies, Beirut, 1969. hal.45.
[2] Syaikh Muhammad Namer al-Khatib, Fakta Kejahatan Yahudi, dalam buku “Dendam Barat Dan Yahudi Terhadap Islam”; Pustaka Mantiq; 1993; hal.102-103.
0 comments:
Post a Comment