Kloningan

Tuesday, May 13, 2014

Ita Martadinata Haryono Lebih Berharga daripada Wiji Thukul!!

Leave a Comment
Berric Dondarrion

"When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground." - Cersei Lannister

"Why it is always the innocence that suffers most when you high lords play your game of thrones?" - Lord Varys

Saya tiba-tiba ingat satu lagi bahan yang mau saya tulis sejak lama. Kerusuhan Mei 1998 adalah persis seperti pribahasa Gajah Bertarung Lawan Gajah, Pelanduk Mati Di Tengah-tengah, yang artinya elit politik bertarung memperebutkan kekuasaan maka yang jadi korban pasti dari kalangan rakyat kecil yang tidak berdosa.

Berdasarkan hal ini maka maaf saja bila saya tidak bersimpati kepada Wiji Thukul dan para teroris yang sampai sekarang hilang dan terakhir menurut keterangan Kivlan Zen, mereka yang hilang termasuk Wiji Thukul ditangkap pasukan non-kopassus, dibunuh dan mayatnya dibuang (mungkin sekarang sudah jadi makanan binatang liar). Mengapa? Karena melalui JAKER dan PRD Wiji Thukul dkk adalah termasuk elit politik yang sedang bertarung memperebutkan kursi kekuasaan, dan seharusnya sudah menyadari bahwa dalam permainan kekuasaan hanya ada dua kemungkinan, anda menang dan berjaya atau anda kalah dan "mati" baik secara fisik maupun secara psikis.

Dalam bahasa yang lebih lugas, kematian Wiji Thukul adalah resiko dari pilihan hidupnya yang mau bermain merebut kursi kekuasaan dan panggung politik secara radikal dan mengadopsi terorisme. Oh iya, bagi yang menganggap Wiji Thukul hanya penyair, anda harus bangun dari tidur anda semua. Wiji Thukul adalah teroris yang mau mendongkel kursi Presiden Soeharto untuk berkuasa di Indonesia bersama teman-temannya, dan dia kalah yang kemudian membayar dengan nyawanya. Bila Wiji Thukul dkk tidak siap mempertaruhkan semua miliknya dalam perebutan kekuasaan maka jangan ikut permainan kekuasaan, semudah itu.

Tentu saja dalam sejarah banyak sekali contoh bagaimana elit politik memperebutkan kekuasaan dan mempertaruhkan segalanya demi kekuasaan, di mana yang menang jadi raja dan yang kalah jadi mayat, atau dalam istilah bahasa mandarin, bu shi ni shi, shi wo wang (bila bukan anda yang mati maka saya yang akan mati). Jadi sungguh bukan hal yang mengherankan dan perlu dibesar-besarkan.

Sementara gajah lawan gajah akan berakhir dengan kematian salah satu gajah atau kekalahan si gajah dan menjadi bawahan gajah pemenang, sayangnya pertarungan mereka akan membunuh pelanduk yang tidak tahu apa-apa dan tidak terlibat dengan apapun yang diperebutkan dua gajah yang bertikai sehingga mereka bertarung. Inilah yang terjadi dengan Kerusuhan Mei 1998 atau Peristiwa 27 Juli 1996, ribuan rakyat menjadi tumbal perebutan elit kekuasaan.

Elit kekuasaan di sini bukan berarti elit yang sedang berkuasa melainkan elit yang sedang berjuang memperebutkan kekuasaan, termasuk Fadjroel Rahman, Goenawan Mohamad, Amien Rais, Megawati, Budiman Soejatmiko, Adnan Buyung Nasution, Benny Moerdani, CSIS, Dita Indah Sari, SBY dan lain-lain. Oleh karena itu simpati justru harus disampaikan kepada rakyat korban Mei 1998 dan bukan kepada teroris seperti Wiji Thukul yang juga mencoba memperkeruh suasana untuk merusuh, bedanya kemampuan dia hanya cukup membuat kerusuhan tingkat lokal dan tidak kerusuhan skala besar seperti Kerusuhan Mei 1998.

Salah satu pelanduk yang menjadi korban dalam epik perebutan kekuasaan 1998 adalah Ita Martadinata Haryono yang ketika dibunuh dengan keji dan biadab masih berumur 18 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SMA di Sekolah Katolik Pascalis.

Pembunuhan Ita Martadinata Haryono dimulai ketika dia menjadi sukarelawan kemanusiaan yang membantu meringankan trauma para korban Kerusuhan Mei 1998, khususnya para korban pemerkosaan. Ita adalah bagian dari tim penyelidik independen untuk mencari tahu berapa banyak korban yang ditelan oleh Kerusuhan Mei 1998. Seperti biasa saat tim bekerja ada beberapa kelompok gelap yang melakukan teror kepada anggota tim dengan maksud menghentikan penyelidikan sehubungan dengan Kerusuhan Mei 1998.

Kejadian tragis terhadap Ita terjadi pada tanggal 9 Oktober 1998, atau tiga hari setelah konferensi pers yang menyampaikan hasil penyelidikan mereka terkait Kerusuhan Mei 1998 dengan hasil antara lain terdapat banyak pemerkosaan berjamaah, dan pembunuhan terhadap wanita dari etnis Tionghoa. Rencananya sebelum dibunuh dalam beberapa hari Ita sudah akan berangkat bersama empat korban pemerkosaan dan Ibunya untuk memberi kesaksian di depan Kongres Amerika mengenai temuan mereka.

Pembunuhan terhadap Ita Martadinata Haryono sangat mengerikan, dia ditemukan oleh ayahnya di kamar dengan bagian luka tikaman perut, dada, tangan kanan sebanyak sepuluh tikaman, leher digorok dan sebelumnya diperkosa. Hasil penyelidikan kepolisian saat itu adalah pembunuhan Ita akibat kejahatan biasa, yang dilakukan oleh pecandu narkoba yang berniat merampok namun dipergoki oleh Ita sehingga untuk menutup jejak perampok membunuh Ita. Akan tetapi tidak ditemukan perhiasan apapun milik Ita di perampoknya.

Tentu saja pembunuhan Ita bukan kriminal murni melainkan bagian dari usaha pihak-pihak tertentu untuk meneror anggota tim penyelidik Kerusuhan Mei 1998. Sampai sekarang fakta sebenarnya tentang pembunuhan Ita belum terungkap dan kematiannya sudah terlupakan karena kalah gembar-gembor dari kematian gembong teroris Wiji Thukul. Padahal Ita adalah korban pertarungan politik antar elit politik medio tahun 1998 sehingga kejadian yang menimpanya sungguh sangat menyayat hati. Dia bukan elit politik, dia tidak mengejar kekuasaan, dia tidak paham apapun mengenai politik selain keinginan tulusnya membantu korban kerusuhan, dan dia membayar dengan nyawanya.

Antara Wiji Thukul dan Ita Martadinata Haryono siapa yang lebih mulia dan bermartabat? Anda yang menilai.

0 comments:

Post a Comment