Kloningan

Wednesday, May 7, 2014

Semakin Terbukti Jokowi Antek Amerika

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Masih segar dalam ingatan kita bahwa bulan lalu, tepatnya beberapa hari setelah Jokowi diusir Puan Maharani, atas undangan petinggi CSIS, Jacob Soetoyo, Jokowi bersama Megawati bertemu dengan beberapa duta besar negara imperialis dan penjajah, antara lain Amerika Serikat dan Inggris di rumah Jacob Soetoyo di Permata Hijau. CSIS tentu saja adalah sebuah lembaga bentukan Pater Beek dinas intelijen Amerika Serikat, CIA, dan rekam jejak CIA dalam usaha mengganti pemerintah suatu negara dengan rezim pro Amerika sangat panjang, antara lain:

- Tahun 1949 dalam kudeta di Suriah

- Tahun 1953 dalam kudeta di Iran

- Tahun 1954 dalam kudeta di Guatemala

- Tahun 1959 dalam kudeta di Tibet

- Tahun 1958 dalam kudeta di Indonesia (PRRI/Permesta)

- Tahun 1961 dalam serangan ke Teluk Babi (Bay of Pigs), Kuba

- Tahun 1963 dalam kudeta di Vietnam Selatan

- Tahun 1964 dalam kudeta di Brazil

- Tahun 1965 dalam kudeta di Indonesia (epilog G30S/PKI)

- Tahun 1973 dalam kudeta di Cile

- Tahun 1976 dalam kudeta di Argentina

- Tahun 1979 sampai 1989 dalam kudeta terhadap komunis di Afganistan

- Tahun 1980 dalam kudeta di Turki

- Tahun 1998 dalam kudeta di Indonesia (Kerusuhan Mei 1998)

- Tahun 2002 dalam usaha kudeta di Venezuela

- Tahun 2011 dan seterusnya kudeta di tanah Arab yang dikenal sebagai Arab's Spring.

dan masih banyak lagi termasuk keterlibatan CIA dalam kudeta berdarah di Ukraina untuk menggusur presiden Ukraina pro Rusia, Viktor Yanukovich dan menggantikan dirinya dengan presiden pro Washington.

CIA melalui USAid juga pernah mencoba menggusur presiden nasionalis Rusia, Vladimir Putin supaya bisa diganti oleh pemimpin yang pro Amerika Serikat, namun saat itu mereka salah perhitungan karena sebagai mantan agen KGB seorang Putin tidak mudah digusur oleh Amerika Serikat. Setelah terjadi usaha kudeta sipil di Rusia atas dukungan CIA yang gagal tersebut, Putin segera bergerak melakukan pembalasan dengan mengusir USAid dari tanah Rusia dengan tuduhan melakukan kegiatan spionase/mata-mata dan membiayai gerakan kaum penghianat. USAid tentu saja juga membiayai kaum penghianat di Indonesia menjelang jatuhnya Presiden Soeharto misalnya memberi uang sebesar US 300,000 kepada anak didik Ivan Katz, agen CIA yaitu Goenawan Mohamad untuk membangun lembaga Institut Studi Arus Informasi dengan tujuan menjatuhkan Soeharto; atau uang sebesar US 26juta kepada Adnan Buyung Nasution sejak tahun 1995 sampai 1998 termasuk membantu pendirian Partai Rakyat Demokratik/PRD yang beraliran komunis di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI.

Nah, sekarang bila kita telusuri dengan baik-baik, antek CIA, yaitu CSIS dan grup Tempo baik menggunakan organ CSIS maupun koran The Jakarta Post milik CSIS dan Tempo milik Goenawan Mohamad adalah pihak-pihak yang berada di belakang Jokowi, membangun dukungan dan koalisi bagi Jokowi serta menepis semua "serangan" kepada Jokowi termasuk aksi The Jakarta Post membocorkan berita Jokowi diusir Puan Maharani yang mana sekarang terlihat sekali tidak ada peran Puan maupun Megawati dalam setiap gerakan politik Jokowi membangun koalisi maupun melakukan pencitraan, singkatnya kekuasaan keduanya sudah digembosi oleh Jokowi.

Ok, sekarang kita kembali sedikit ke acara pertemuan Jokowi dengan duta besar negara penjajah dan imperialis di rumah Jacob Soetoyo, agen CSIS, saat itu Jokowi berdalih bahwa pertemuan dirinya dengan para duta besar tersebut adalah dalam kapasitas sebagai Gubernur DKI Jakarta, tapi bila demikian untuk apa Megawati ikut serta bila acara hari itu adalah acara resmi Pemprov DKI? Kebohongan Jokowi semakin terungkap dari mulut Megawati bahwa pertemuan mereka adalah supaya Jokowi "belajar" dari para duta besar, dengan kata lain Jokowi telah menyerahkan lehernya kepada para duta besar asing, dan akhirnya Jokowi mengakui bahwa pertemuan tersebut adalah untuk meminta dukungan untuk pencapresan dirinya dan tidak ada hubungan dengan Pemprov DKI atau tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Satu bulan setelah pertemuan dirinya dengan duta besar negara imperialis, Jokowi dalam usaha menutup citra bahwa dia adalah antek Barat mencoba melakukan pertemuan dengan duta-duta besar negara Arab setelah sebelumnya bertemu dengan kiai-kiai NU. Pertemuan ini adalah simbolis bahwa Jokowi bukan antek Barat karena buktinya dia juga bertemu dengan duta besar negara Islam. Sayangnya Jokowi adalah tipe orang grasa-grusu sebab jelas sekali pertemuan tersebut hanya kamuflase supaya bisa menghindari kritik ketika dia kembali menyerahkan lehernya kepada duta besar negara imperialis yang dilakukan kemarin di sebuah rumah makan mewah di Cikini.

Benar, kemarin Jokowi kembali menghadap tuan besarnya di Restoran Oasis, Cikini dan kembali menyembunyikan fakta bahwa dia sedang menjilat Amerika dengan menggunakan jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, seolah-olah acara kemarin adalah acara resmi Pemprov DKI Jakarta, padahal tentu saja bila kita ingat cara licik Jokowi dalam berpolitik dan berkampanye yang kerap menunggangi jabatan sebagai Gubernur (pencitraan Jokowi di Lampung, Bogor dan NTT tentang masalah pangan di Jakarta yang merupakan kampanye terselubung misalnya) maka acara tersebut sama sekali tidak ada hubungan dengan Pemprov DKI Jakarta, melainkan sepenuhnya merupakan acara pencitraan Jokowi di depan para duta besar negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat dan Kanada. Memang saat itu ada juga duta besar dari negara Amerika Latin yang mana semuanya selain Venezuela merupakan negara-negara yang pemerintahannya sudah dikoptasi atau digarap oleh operasi CIA sehingga mereka tidak ada bedanya dari boneka-boneka Amerika Serikat.

Dua pertemuan Jokowi dengan duta besar Amerika Serikat sudah merupakan bukti yang lebih dari cukup untuk kita sampai kepada kesimpulan bahwa Jokowi adalah boneka Amerika Serikat dan bila dia menjadi presiden maka semua kebijakannya akan dikendalikan oleh Amerika Serikat untuk kepentingan Amerika Serikat. Apakah anda mau presiden yang telah menjual dirinya dan menyerahkan lehernya kepada Amerika seperti Jokowi? Ini bukan omong kosong, sebab karakter Jokowi memang sangat haus dan rakus jabatan sehingga dia rela menjadi boneka siapapun selama memegang jabatan publik, misalnya ketika di Solo dia merupakan boneka FX Hadi yang menjalankan roda pemerintahan di Solo; dan dia juga merupakan boneka Ahok yang menjalankan roda pemerintahan di Jakarta.

Pilihan di tangan anda.

0 comments:

Post a Comment