Kloningan

Wednesday, May 7, 2014

Jokowi Capres Bermental Inlander

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Sebelum kita memulai diskusi ini terlebih dahulu harus dipahami apa yang dimaksud dengan "mental inlander". Inlander berasal dari bahasa Belanda yang berarti pribumi dan istilah ini digunakan Belanda untuk menyebut rakyat di tanah jajahan mereka, termasuk di wilayah Hindia Belanda atau sekarang dikenal sebagai Republik Indonesia. Penyebutan inlander oleh Belanda ini juga memiliki konotasi negatif dan konotasi ini lahir dari hasil propaganda Belanda selama 350 tahun terhadap rakyat Indonesia yang bermaksud mempermudah atau memuluskan aksi mereka dalam menjajah Indonesia. Propaganda dan doktrinasi tersebut antara lain melalui usaha menanam di pikiran kaum inlander atau pribumi bahwa mereka adalah kaum bodoh, terbelakang dan primitif sedangkan Belanda adalah manusia modern yang status atau stratanya lebih tinggi daripada kaum inlander, oleh karena itu secara alamiah Belanda memiliki hak istimewa untuk memperbudak atau menjajah kaum inlander. Salah satu wujud doktrinasi tersebut adalah melalui Pasal 131 dan Pasal 163 Indsiche Staatsregeling (I.S.) yang membagi golongan masyarakat di Hindia Belanda menjadi tiga strata atau golongan, yaitu: 1. Eropa, 2. Golongan Timur Asing (China, Arab, dll), dan 3. Pribumi (Bumi Putera). Sebagaimana terlihat, golongan bumiputera atau inlander diletakan oleh Belanda di strata paling bawah.

Doktrinasi Belanda yang begitu kuat di kalangan Bumi Putera atau inlander selama 350 tahun begitu kuatnya sehingga sekalipun Indonesia sudah merdeka, pemikiran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa inferior yang bodoh, tidak percaya diri pada kemampuan sendiri, menganggap bangsa lain lebih superior, lebih bagus, lebih pintar, lebih berpengalaman dalam segala hal masih terpaku kuat dalam mental kita, inilah yang disebut sebagai mental inlander atau yang dapat disebut sebagai sindrom mantan rakyat terjajah. Ironisnya semakin lama kita merdeka mental inlander ini bukan semakin hilang, tapi justru semakin meluas ke generasi muda kita, termasuk orang-orang yang menjadi pemimpin Indonesia, khususnya Joko Widodo alias Jokowi, capres PDIP.

Mental inlander Jokowi sangat jelas terlihat dari fakta bahwa seperti seorang rakyat jajahan menghadap meneer Belanda, Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dan capres PDIP datang menghadap para duta besar negara-negara imperialis dan penjajah atas undangan (perintah) Jacob Soetoyo petinggi CSIS yang merupakan lembaga perwakilan CIA di rumah sang petinggi CSIS tersebut. Yang lebih menyedihkan lagi, Jokowi bukan saja menghadap sendiri, melainkan juga membawa mantan presiden Indonesia, Megawati menghadap meneer-meneer dan mister-mister imperialis. Apakah kehormatan dan harga diri Jokowi dan Megawati sudah serendah itu sehingga mereka tidak malu menghadap dan menundukan kepala demi menyerahkan leher untuk memohon dukungan kepada para duta besar negara imperialis terkait pencapresan Jokowi?

Peristiwa kedua yang menunjukan mental inlander Jokowi sudah tidak bisa ditolong lagi adalah pertemuannya kemarin di restoran super mewah bernama Restoran Oasis di Cikini dengan duta besar negara imperialis seperti Amerika Serikat dan Kanada yang bila kita ingat kedua negara ini sedang menjalankan rencana menjajah Ukraina. Bila memang acara kemarin adalah acara Pemprov DKI Jakarta, maka apa alasan pertemuan tersebut tidak diadakan di Balai Kota saja? Mengapa harus di restoran mewah berharga mahal yang tentu saja Jokowi akan membebankan kepada APBD atau rakyat Jakarta demi kepentingan politiknya? Menyedihkan, pajak rakyat Jakarta dihambur-hamburkan agar Jokowi yang bermental inlander itu dapat belagak di depan meneer-meneer dan mister-mister yang memeliharanya selama ini.

Apakah ada keraguan bahwa Jokowi adalah manusia yang bermental inlander? Tidak ada, dan karena itu tidak heran bahwa Jokowi merupakan bukti kebenaran teori psikologis bahwa manusia cenderung berkumpul atau mencari teman-teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya sebab semua orang di sekeliling Jokowi adalah manusia-manusia bermental inlander. Tidak percaya? Mari kita lihat beberapa contoh:

1. PDIP: tahun lalu menghadap Partai Komunis China untuk "belajar" cara berorganisasi dengan baik. #mental inlander.

2. Soekarno: patron PDIP, pendukung marxis alias komunis, ajaran orang asing, dan mau menerapkan di Indonesia #mental inlander.

3. Megawati Soekarnoputri: anak dari ayah bermental inlander, terbukti menyerahkan leher ke asing dalam pertemuan di Rumah Jacob Soetoyo dan menjual aset negara bernilai mahal dengan harga murah kepada pihak asing. #mental inlander.

4. Budiman Soejatmiko: komunis dan mau menerapkan di Indonesia #bermental inlander.

5. CSIS: bentukan agen CIA bernama Pater Beek, menjalankan perintah Amerika Serikat sejak pendirian #mental inlander.

6. Tempo: didirikan Goenawan Mohamad, didikan agen CIA bernama Ivan Katz, menerima uang asing dan menjalankan agenda asing di Indonesia sejak lama. #mental inlander

7. Todung Mulya Lubis: didikan Amerika Serikat, menerima uang George Soros dan Amerika Serikat serta menjalankan agenda asing di Indonesia sejak lama. #mental inlander

8. Kontras dan NGO lain: menerima uang asing dan menyerahkan informasi tentang Indonesia kepada negara-negara asing. #mental inlander

9. James Riady: penyumbang kampanye Bill Clinton, sedangkan Bill Clinton adalah penghancur Indonesia tahun 1997 sampai 1998. #mental inlander

10. Ribka Tjiptaning: anak PKI, komunis. #mental inlander

11. Tahir: anggota Dewan Universitas Berkeley, dan menggunakan gedung Mayapada miliknya sebagai pusat agitasi dan propaganda bagi Jokowi. #mental inlander

12. Edward Soerjadjaja: harus mengundang perusahaan RRC untuk membangun monorel. #mental inlander

dan lain sebagainya.

NGO peliharaan asing di Indonesia seperti Kontras atau AJI (bentukan Goenawan Mohamad) biasanya akan menantang ketika dipermasalahkan sikap mereka yang menerima uang asing, menjalankan agenda asing di Indonesia dan memberikan laporan tentang Indonesia kepada asing, bagi mereka tidak ada masalah selama "niat" mereka baik dan demi kepentingan bangsa. Sayangnya adalah dari standar apapun, termasuk standar Barat yang liberal semua orang yang menerima dana dari negara asing untuk menjalankan agenda negara asing dan bahkan memberikan informasi kepada negara asing adalah penghianat negara. Tidak ada istilah lain, orang seperti ini adalah penghianat. Tidak percaya? Kita akan mengambil satu contoh, satu saja, yaitu Wilfred Burchett.

Siapa Wilfred Burchett? Dia adalah jurnalis perang asal Australia yang liputannya selalu bertentangan dengan sikap barat, dalam hal ini Amerika Serikat termasuk Australia. Liputan-liputan mengenai bom atom di Hiroshima-Nagasaki, perang Vietnam dan Korea begitu menyudutkan barat dan menguntungkan komunis sehingga Wilfred sempat dituduh sebagai simpatisan komunis atau agen Uni Soviet dan tahun 1955 paspornya sempat dicabut yang menyebabkan dia tidak bisa masuk Australia sampai tahun 1972 ketika paspornya dikembalikan. Tuduhan Wilfred Burchett adalah agen Soviet semakin diperkuat dengan kesaksian Yuri Krotkov, agen Soviet yang menyerahkan dirinya kepada Amerika Serikat, yang mana di depan senat Amerika Serikat tahun 1969 dia menyatakan Wilfred Burchett menerima uang dari Uni Soviet.

Sikap rakyat Australiapun terbelah dua, ada yang membela Wilfred Burchett sebagai pembela kebebasan pers (karena tudingan dia menerima uang Soviet tidak terbukti); sedangkan ada yang menganggapnya penghianat karena percaya keterangan Yuri Krotkov. Belakangan sikap yang bertentangan ini mengerucut pada kesimpulan akhir bahwa Wilfred Burchett memang penghianat Australia karena berdasarkan dokumen KGB yang dilepas ke publik pada awal tahun 1990an terbukti bahwa tahun 1957 komite sentral Uni Soviet memberikan Burchett uang sejumlah 20,000 rubel dan selanjutnya memberi gaji sebesar 3,000 rubels setiap bulannya sampai setidaknya akhir tahun 1960an. Sejak saat itu semua orang Australia termasuk para profesor di bidang HAM dan demokrasi melihat Burchett sebagai penghianat karena dia menerima uang dari Uni Soviet (negara asing) dan membuat berita yang menyudutkan Australia dan sekutunya.

Bila kita sandingkan dengan Kontras dan kawan-kawan, jelas bahwa mereka menerima uang dari negara asing dan bahkan Haris Azhar dari Kontras sering menghadap Uni Eropa untuk memberikan data tentang Indonesia kepada negara-negara asing tersebut, dan karena itu tidak ada kata ajektif yang layak untuk menyebut perbuatan NGO Indonesia itu selain penghianat dan tidak nasionalis dengan karakter bermental inlander karena menganggap konsep HAM negara luar lebih bagus daripada konsep HAM berpancasila di Indonesia.

Mau punya presiden yang dikelilingi orang-orang bermental inlander yang menganggap dirinya layak dijajah negara asing baik secara fisik maupun psikis? Pilih Jokowi. Bila tidak mau maka jangan pilih Jokowi. Pilihan di tangan anda, tapi ingat, pilihan anda juga menentukan nasib Indonesia dan anak-anak maupun sanak saudara anda yang ada di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment