Kloningan

Friday, May 9, 2014

Tim Mawar Cikal Bakal Densus 88

Leave a Comment
Berric Dondarrion

"LSM sudah terbiasa bekerja berdasarkan pesanan proyek dengan menerima dari dana funding agency (lembaga-lembaga keuangan) internasional. Funding agency sengaja dibentuk oleh koorporasi (perusahaan-perasaan) asing yang menyediakan dana tak terbatas untuk bisa mempertahankan dan mengembangkan bisnisnya. Caranya dengan mengibarkan panji-panji demokrasi, HAM, antikorupsi, lingkungan hidup, dan lain-lain."

- "Kritik Terhadap Kaum Post Marxist”, 1997, James Petras, sosiolog dari Universtias Binghampton, Amerika Serikat.
Kita sudah mengetahui bersama bahwa LSM/NGO/Ornop yang sekarang sedang ribut masalah penangkapan teroris oleh aparat keamanan tahun 1998 adalah organisasi yang menerima dana asing; menjalankan agenda asing; dan yang paling penting selalu membuat laporan tentang Indonesia kepada donatur asing mereka, baik donatur berupa lembaga donor maupun negara. Dalam hal penolakan mereka terhadap Prabowo tentu saja sangat patut diduga para LSM/NGO tersebut sedang menjalankan agenda Amerika yang jauh-jauh hari sudah menyatakan penolakan terhadap Prabowo. Sungguh menggelikan, apa hak Amerika menentukan siapa pemimpin yang dianggap layak oleh rakyat Indonesia? Bukankah esensi kebebasan dan demokrasi adalah kita berhak menentukan nasib sendiri dan menentukan kondisi atau keadaan bagi diri kita?

Karena kita tidak bisa mempercayai penilaian NGO/LSM yang menolak Prabowo karena tersangkut peristiwa penangkapan teroris dan dalam operasi yang sama namun dilakukan oleh pasukan lain tampaknya telah terjadi eksekusi mati terhadap teroris yang tertangkap maka kita harus melakukan penelaahan sendiri menggunakan logika dan nalar objektif yang jernih tanpa pretensi apapun.

Dari dokumen dan kesaksian pihak militer terungkap bahwa Operasi Penangkapan Setan Gundul bermula dari adanya serangkaian bom di Jakarta, termasuk ledakan di Tanah Tinggi karena bom yang sedang dirakit tidak sempurna dan meledak sebelum waktunya. Dari hasil penelusuran aparat keamanan di lokasi, ditemukan daftar nama anggota PRD yang terlibat pengeboman sebelumnya dan donatur mereka yang tidak lain adalah Sofjan dan Jusuf Wanandi dari CSIS. Ditemukan juga dokumen yang menerangkan bahwa tujuan pengeboman adalah menciptakan teror massal sehingga menghalangi berlangsungnya Sidang Umum MPR tahun 1998. Berdasarkan temuan daftar nama itu Panglima ABRI di bawah Feisal Tandjung yang kemudian dilanjutkan penggantinya, Wiranto membuat tim anti teroris yang bersifat ad hoc atau sementara untuk menanggulangi bahaya, yang mana termasuk Tim Mawar dari Kopassus. Pasukan gabungan ini segera bergerak sesuai tim masing-masing untuk menangkap nama-nama yang disebut dalam dokumen Tanah Tinggi, yang mana belakangan sembilan nama yang ditangkap Kopassus dilepas hidup-hidup sedangkan yang ditangkap tim pasukan lain tidak ketahuan keberadaannya dan patut diduga sudah dieksekusi di tempat.

Dari sisi sejarah pembentukan pasukan ad hoc untuk Operasi Penangkapan Setan Gundul tersebut kita melihat kemiripan sejarahnya dengan pembentukan Detasemen Khusus 88/Densus 88, sebuah satuan khusus Kepolisian RI dengan tugas menanggulangi terorisme di Indonesia; dan sama seperti pasukan ad hoc tahun 1998, Densus 88 juga dibentuk oleh Presiden Megawati setelah terjadinya Bom Bali. Dalam melaksanakan tugasnya, operasi Densus 88 juga sama seperti pasukan Ad Hoc tahun 1998, yaitu bersifat preventif atau mencegah terjadinya tindak pidana terorisme sebelum terjadi menggunakan informasi intelijen (jadi tidak ada bukti kuat) dengan melakukan penggebrekan lokasi terduga teroris yang biasanya berakhir dengan terduga teroris ditembak mati di tempat. Dari sisi penegakan HAM tindakan Densus 88 tentu saja bisa dikategorikan sebagai perbuatan melanggar HAM, namun anehnya kenapa negara-negara adidaya dan raja diraja bidang HAM dan demokrasi tidak mengecam Indonesia karena membunuh orang tanpa proses pengadilan?

Bukan saja Amerika, Uni Eropa dan negara barat lain yang biasanya mempolitisasi kondisi HAM di Indonesia tidak mengecam pembunuhan tanpa proses pengadilan oleh Densus 88, akan tetapi  pembentukan dan pelatihan Densus 88 juga dibiayai oleh pemerintah Amerika  dan Australia dengan pelatih berasal dari instruktur CIA, FBI, Secret Service. Demikian juga peralatan tempur dan alat lain yang digunakan Densus 88 berasal dari Amerika supaya Indonesia bisa memerangi terorisme di negara ini. Melihat konsteks saat itu di mana Amerika dan sekutunya sedang berperang melawan terorisme (war on terror) maka bantuan mereka kepada Indonesia untuk membentuk pasukan anti teror memang dapat dimengerti. Dalam hal ini terbukti Amerika dan sekutunya memahami bahwa ada kondisi khusus di mana demi mengamankan rakyat dan negara, aparat pemerintah tidak bisa terikat pada aturan hukum yang berlaku termasuk penegakan HAM, atau singkatnya HAM sebagaimana hak lain bisa dikesampingkan demi kepentingan yang lebih banyak.

Apabila kita menempatkan situasi teror dan chaos tahun 1998 dalam situasi hari ini atau hari-hari pasca Bom Bali maka sulit dibayangkan bahwa Wiji Thukul dan rekan-rekan PRDnya akan dibiarkan hidup; dan sulit dibayangkan kematian mereka akan menjadi polemik secara nasional seperti hari ini. Protes kecil-kecilan dari LSM seperti Kontras mungkin ada, akan tetapi kematian mereka tidak akan menjadi agenda utama bagi Kontras, PBHI-Setara Institute dan kawan-kawan. Ini adalah fakta! Coba periksa mana ada mereka mempermasalahkan kematian teroris korban Densus 88 secara berkepanjangan? Protes mereka biasanya hanya berlangsung saat kejadian akan tetapi lama-kelamaan dilupakan. Tidak ada kampanye "melawan lupa" bagi korban Densus 88, ini juga fakta.

Lantas mengapa tindakan Tim Mawar Kopassus dan pasukan lain tahun 1998 kemudian dipermasalahkan hari ini? Karena tahun 1998 Amerika sedang dalam keadaan tentram, mereka sudah lama tidak merasakan teror di dalam negeri karena sejak Inggris ditendang tidak ada lagi pihak luar yang bisa mengancam Amerika. Kesombongan khas Amerika dengan gaya koboy dan HAMnya menyebabkan mereka mempolitisasi tindakan pengamanan yang dilakukan oleh Indonesia. Nah, setelah 9/11 baru mereka kena batunya, dan bagaimana reaksi mereka? Justru lebih represif dan brutal dari yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi ancaman komunis PKI dan komunis PRD, mulai dari penyadapan oleh NSA; memenjarakan orang asing di negara asing tanpa batas waktu dan tanpa pengadilan di penjara Guantanamo yang masih berlangsung sampai hari ini; sampai program bernama FEMA's CAMP dan "Prolonged Detention" yang bisa menahan orang hanya dengan laporan intelijen dan menolak melepas tahanan sekalipun ada putusan pengadilan yang menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah dan harus dilepaskan. Ini fakta bahwa pendekatan keamanan memang lebih benar dalam mengelola negara dibanding pendekatan kebebasan, dan bahkan negara yang mengagung-agungkan demokrasi dan HAM seperti Amerika mengakui kebenaran tersebut.

0 comments:

Post a Comment