Kloningan

Thursday, May 8, 2014

LSM Anti Prabowo Adalah Antek Asing

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Beberapa waktu belakangan ini berbagai LSM atau NGO di Indonesia antara lain PBHI, YLBHI, Kontras dan lain-lain mulai menyuarakan keprihatinan mereka atas pencapresan Prabowo yang menurut mereka telah melakukan pelanggaran HAM karena menculik dan menghilangkan aktivis. Rasa keprihatinan tersebut melahirkan sebuah sikap penolakan terhadap pencapresan Prabowo. Tentu saja sebenarnya sikap mereka tersebut sudah salah alamat mengingat Komnas HAM sendiri pada tahun 2006 telah menyatakan bahwa orang-orang yang ditangkap Tim Mawar dari Kopassus (yang mana Prabowo adalah Danjennya) sudah dilepas hidup-hidup, sedangkan sisanya yang masih belum kembali sampai sekarang ditangkap oleh pasukan lain. Dengan demikian penolakan LSM atau NGO ini sendiri sebenarnya telah melanggar HAM Prabowo karena mereka telah memperlakukan Prabowo seolah bersalah padahal belum ada putusan pengadilan manapun yang menyatakan Prabowo bersalah, dan perlu ditegaskan bahwa pensiun dini Prabowo adalah bukan berdasarkan putusan Mahkamah Militer terhadap Prabowo, melainkan berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang memeriksa anggota Tim Mawar dan bukan Prabowo.

Tapi seharusnya sikap LSM atau NGO tersebut dapat dibenarkan mengingat mereka berfungsi sebagai lonceng peringatan manakala terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atau oknum dalam pemerintah Indonesia atau pihak swasta. Mereka bersama dengan lembaga pengawas HAM bentukan resmi pemerintah, Komnas HAM acap menjadi benteng perlindungan bagi rakyat-rakyat kecil. Jadi sikap tegas yang berlebihan tersebut sudah merupakan keharusan bukan? Sayangnya dalam setiap bertindak NGO atau LSM tetap harus bergerak di dalam koridor hukum yang berlaku, bila tidak maka mereka tidak ada beda dari Wiji Thukul dan "aktivis radikal" lain yang sengaja menciptakan kerusuhan dan kekisruhan demi memaksakan tujuan mereka sekalipun harus melakukan pengeboman di mana-mana.

Tulisan ini sendiri tidak akan banyak membahas sikap NGO dan LSM terhadap Prabowo karena menurut saya dalam hal apapun mereka tidak memiliki bukti dan kasus yang kuat untuk melawan Prabowo selain bertindak semata-mata berdasarkan kebencian dan prasangka negatif. Tulisan ini akan membahas mengenai para NGO dan LSM tersebut secara umum supaya kita bisa melihat motivasi mereka yang sebenarnya. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa 90% LSM-LSM di Indonesia sebagaimana dicatat oleh Depdagri pada tahun 2002 berjumlah 13.500 menerima dana-dana pihak asing, terutama Amerika Serikat. Counterpunch membeberkan bahwa NGO/LSM dibiayai oleh Amerika bertujuan sebagai alat menyebarkan kebijakan Amerika Serikat di negara tersebut. Demikian pula dengan Jacob Levich menulis bahwa LSM memainkan peran dalam perubahan rezim yang direkayasa Amerika sebagaimana digariskan dalam National Security Strategy. Atas praktek yang masih berlanjut hingga hari ini tersebut, Nurjaman Center for Indonesian Democray (NCID) menyesalkan maraknya LSM Indonesia yang dibiayai asing dan karena itu tidak jelas kredibilitasnya dalam memberikan keterangan-keterangan terkait proses demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia dan dalam hal ini LSM-LSM Indonesia tersebut lebih sering menjadi kendaraan negara asing untuk ikut campur dalam pemerintahan Indonesia.

Perlu dicatat bahwa jatuhnya Pak Harto, pendirian Partai Rakyat Demokratik tidak bisa dilepaskan dari "donasi" sebesar US 26 juta dari administrasi presiden Clinton kepada LSM-LSM Indonesia dengan tujuan menjatuhkan Pak Harto dengan segala cara apapun, khususnya dengan agitasi massa dan provokasi. Demikian pula kejatuhan Pak Harto tersebut tidak bisa dilepaskan dari uang sebesar US 300,000 yang diterima oleh Goenawan Mohamad untuk membangun Institut Studi Arus Informasi/ISAI dan Kelompok Utan Kayu serta beberapa organisasi lain yang tugasnya adalah melakukan berbagai provokasi dan agitasi untuk menghancurkan kredibilitas Orde Baru sekalipun harus bergabung dengan kaum komunis, menurut saya pilihan tersebut sebenarnya ironis mengingat tahun 1960an seorang Goenawan Mohamad justru adalah seorang anti komunis yang gigih. Sekedar informasi ISAI adalah penerbit buku yang memuat fitnahan terhadap Pak Harto berjudul Dalih Pembunuhan Massal oleh John Rossa yang membuat buku berdasarkan teori Weirtheim yang sudah tidak diakui kebenarannya di belahan manapun.Lebih lanjut, NCID memberi contoh bahwa donatur terbesar Kontras adalah Kairos, sebuah lembaga berbasis di Kanada yang menulis di situsnya bahwa Kontras tidak akan bisa mempertahankan perannya di Indonesia tanpa sokongan dana Kairos. Demikian pula Imparsial yang memiliki afiliasi dengan HIVOS  yang memberi donasi melalui Yayasan Indonesia untuk kemanusiaan. Ketika para LSM Indonesia ini membutuhkan bantuan asing, di situ lah independensi mereka hilang demikian menurut NCID, dan penulis artikel ini setuju. Tidak heran apabila Haris Azhar dari Kontras sering mengunjungi Uni Eropa dan berbagai belahan barat untuk memberikan informasi mengenai Indonesia khususnya tentang pelanggaran HAM yang antara lain dimaksudkan untuk menjaga aliran donasi dari luar negeri supaya tetap masuk ke dalam Kontras. Demi menjaga donasi tersebut maka Kontras harus membuat kesan bahwa penegakan HAM di Indonesia masih sangat suram dan menyedihkan.

Ada pula indikasi sebagaimana disampaikan oleh Staff Ahli Kementerian Dalam Negeri, Roydonnyzar Moenek terkait temuan data bahwa donasi dari berbagai lembaga donor asing kepada LSM Indonesia tersebut adalah dalam rangka pencucian uang haram, sehingga LSM Indonesia adalah tempat pencucian uang bagi orang-orang asing. Untuk itu pemerintah ingin mengaudit donasi-donasi yang diterima oleh LSM-LSM di Indonesia, yang tentu saja ditolak dengan keras. Patut dicatat juga bahwa LSM Indonesia menerima dana asing sejak tahun 1970an melalui dana USAid, dan hal ini sesuai dengan buku Ideal Illusions - How the US Government Co-opted Human Rights yang menyebutkan bahwa sejak tahun 1970 Amerika telah menggunakan HAM sebagai senjata ideologis Amerika.

Selanjutnya Sudomo pada tahun 1992 sudah memperingati LBH Jakarta dan Walhi untuk tidak menerima donasi asing atau bantuan asing untuk mencemarkan nama Indonesia. Demikian pula pada tahun 1996, Mendagri Yogie SM mensinyalir bahwa ada LSM menghembuskan citra buruk pemerintah Indonesia ke dunia internasional. Berdasarkan keterangan Sudomo dan Yogie SM tersebut maka dapat diduga bahwa LSM-LSM Indonesia bukanlah pihak yang pasif dalam masalah penerimaan donasi dari donatur asing tersebut, sebab mereka juga aktif ke luar negeri untuk menceritakan semua cerita keburukan dan horor di Indonesia dengan harapan menerima donasi, sebagaimana yang terjadi pada akhir Agustus 1991 di mana Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial menyampaikan sebuah makalah tentang Indonesia dengan membawa beberapa isu antara lain Waduk Kedung Ombo, larangan becak untuk fasilitasi mobil mewah, dan penangkapan ikan di Papua merusak lingkungan. Framing yang dilakukan NGO untuk menjelek-jelekan Indonesia di luar negeri tersebut masih berlangsung sampai sekarang seperti yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menyampaikan makalah kepada Uni Eropa yang berisi isu-isu yang telah diframing sedemikian rupa sehingga menggambarkan seolah terjadi berbagai kasus kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan di Papua selama lima tahun terakhir dan tahun 2013 saja terjadi 22 kasus.

Bayangkan ini sejenak, katakanlah benar terjadi kekerasan terhadap wartawan di Papua, lantas mengapa AJI tidak melapor kepada otoritas Indonesia seperti polisi, presiden, DPR, DPRD Papua, Komnas HAM, ombudsman dan lain sebagainya tetapi justru melapor kepada Uni Eropa???? memangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara bagian Uni Eropa? Apa yang dilakukan AJI di sini tidak lepas dari pertarungan perebutan donasi yang terjadi di antara LSM-LSM Indonesia beberapa tahun terakhir, di mana karena penegakan HAM Indonesia telah sering dipuji-puji pada beberapa forum internasional sehingga persentase donasi donatur asing untuk masalah HAM sudah jauh berkurang dibanding sebelumnya karena NGO/Ornop yang seksi sekarang adalah yang bergerak di bidang anti korupsi karena fokus para donatur di Indonesia adalah isu korupsi. Oleh karena itu untuk menjamin kelancaran donasi maka AJI perlu menciptakan framing sedemikian rupa bahwa Indonesia masih negara anti penegakan HAM, Indonesia adalah negara gelap yang selalu melanggar HAM khususnya kepada jurnalis di Papua, dan bahwa Indonesia adalah negara biadab yang tidak menghormati HAM. Ini sungguh menyedihkan, seorang mantan pengurus AJI bahkan dengan bangga dan membusungkan dada mempertanyakan mengapa mereka tidak boleh menerima donasi asing?

Standar Ganda Ornop Indonesia

Ketergantungan LSM/Ornop/NGO Indonesia terhadap donasi asing sedikit banyak menjawab pertanyaan mengapa mereka diam saja saat Papua Nugini yang merupakan negara protektorat Australia membakar perahu nelayan Indonesia dan memerintah mereka berenang yang mengakibatkan lima di antaranya hilang karena tenggelam. Begitu juga mengapa mereka diam saja dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Australia kepada para pengungsi dengan menolak memberikan suaka yang merupakan hak asasi mereka dan bahkan berbuat rasis dan membakar tangan pengungsi dalam perjalanan ke Indonesia. Apakah LSM seperti Kontras, Imparsial, LBH Jakarta, PBHI dan lain-lain akan diam saja bila pemerintah Indonesia yang melakukan hal yang sama?

Demikian pula dengan berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Amerika Serikat sebagaimana dibocorkan oleh situs Wikileaks dimana terbukti Amerika melakukan pelanggaran HAM besar-besaran kepada tahanan di Guantanamo Bay, pelanggaran HAM di Irak dan Afganistan melalui Catatan Harian Perang Irak dan Catatan Perang Afganistan atau pembunuhan oleh tentara Amerika kepada wartawan Irak yang diberi judul Collateral Murder. Rasanya saya tidak pernah mendengar bahkan menemukan rilis pers atau berita yang menyatakan NGO/Ornop di bidang HAM yang hidup di Indonesia namun menerima dana asing tersebut mengecam pelanggaran hukum perang (humaniter) dan pelanggaran HAM yang dilakukan Amerika dan sekutunya. Hal ini tentu berbeda dengan semangat mereka yang terus mendorong petinggi-petinggi ABRI/TNI dibawa ke tribunal internasional untuk penjahat perang karena kasus di Timor Leste setelah jajak pendapat, atau Kontras yang sampai hari ini terus melakukan insuniasi untuk membawa Prabowo ke pengadilan HAM untuk apa yang terjadi tahun 1998 walaupun terbukti Komnas HAM sudah melepas Prabowo dari semua kesalahan.

Sebagaimana dikatakan oleh Indra J Piliang dalam beberapa twitnya beberapa waktu silam bahwa terdapat bahaya dengan framing-framing ala LSM seperti ICW dan Kontras apalagi mereka sering menerapkan standar ganda tergantung standar para donatur sebab LSM tersebut harus pintar-pintar memainkan isu  yang disenangi oleh para donatur asing dan funding agency. Bila dimainkan dengan baik maka tidak berlebihan bila dikatakan untuk cepat kaya maka seyogyanya membuat LSM di bidang demokrasi, lingkungan, HAM, anti korupsi dan lain-lain, kemudian menciptakan berbagai framing media dan kemudian meminta donasi kepada para donatur asing yang budiman, karena itu tidak heran, meminjam istilah Indra Piliang, ada beberapa orang yang pekerjaannya adalah "beternak LSM". Selain itu Indra Piliang juga mencatat bahaya dari LSM binaan asing tersebut adalah mereka sering mendorong banyak sekali undang-undang pesanan  asing dan tentu saja korupsi di kalangan LSM sangat besar, misalnya dana Pemilu 1999 dan dana bencana Aceh dan daerah lain.

Sejujurnya yang lebih menyedihkan dari fakta bahwa Indonesia hari ini telah mengalami dereformasi selama 15 tahun, adalah fakta bahwa Indonesia dikuasai oleh LSM-LSM kaki tangan asing yang terus menerus mengacau negeri ini demi dolar.

0 comments:

Post a Comment