Kloningan

Sunday, May 11, 2014

Logika Sesat Raden Nuh Ttg Jokowi

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Salah satu tugas penting intelijen adalah mengumpulkan data, melakukan analisa data secara objektif dan rasional kemudian memutuskan tindak lanjut yang akan diambil sehubungan dengan kesimpulan berdasarkan analisa data tadi.

Sehubungan dengan fungsi intelijen tadi, harus diakui Triomacan2000 (TM2000) yang digawangi Raden Nuh cukup kompeten mengumpulkan data-data dan informasi-informasi intelijen tapi sayangnya mereka cukup lemah dalam melakukan analisa terutama bila objek analisa adalah pihak yang mereka tidak sukai dan perusahaan tidak suka tersebut berasal dari perasaan rasialis terhadap etnis Tionghoa. Melakukan analisa berdasarkan like and dislike adalah kesalahan paling fatal yang dapat dilakukan kalangan intelijen.

Kita ambil contoh kasus Jokowi. TM2000 telah berhasil mengumpulkan banyak data valid tentang Jokowi mulai dari korupsi di Solo sampai dukungan banyak pengusaha kelas kakap Indonesia yang kebetulan sebagian berasal dari etnis Tionghoa. Berangkat dari perasaan rasisnya tersebut membuat kesimpulan yang diambil TM2000 salah. Adapun kesimpulan TM2000 sehubungan dengan data cukong itu adalah adanya "konspirasi etnis Tionghoa" untuk merampok Indonesia.

Bagaimana membuktikan analisa TM2000 itu salah? Mudah saja karena sebagaimana diakui TM2000 sendiri cukong Jokowi juga terdiri dari Djan Faridz, JK, Sutiyoso dan lain-lain yang semuanya tentu saja bukan termasuk etnis Tionghoa. Nama "non-Tionghoa" di jajaran cukong Jokowi juga antara lain mencakup Goenawan Mohamad dan Moeryati Soedibyo. Di sini saja sudah membuktikan "lobang menganga" dalam kesimpulan TM2000 dan Raden Nuh.

Lantas bagaimana cara "membaca" data-data tersebut? yaitu dengan membaca pencapresan Jokowi dalam kerangka politik nasional dan politik global yang bila saja TM2000 lebih rasional seharusnya kesalahan analisa yang fatal tidak akan terjadi. Misalnya TM2000 dengan tepat mengungkap adanya Arkansas Connection dalam pencapresan Jokowi, yaitu hubungan James Riady dan Bill Clinton, namun alih-alih menganalisa kedudukan Bill Clinton sehubungan dengan politik luar negeri Amerika yang selalu mencampuri urusan suksesi negara lain sehingga memastikan presiden terpilih akan terus mengikuti keinginan Amerika, TM2000 malah membuat analisa dari "kecinaan" James Riady dan kemudian mengatakan ada niat RRC menguasai China. Padahal semua juga tahu RRC sudah meninggalkan kebijakan internasionalisme sejak Deng Xiaoping menggantikan Mao Tzedong.

Melihat Jokowi dari konteks internasionalis Amerika adalah rumus untuk membuka semua misteri seputar Jokowi, misalnya mengapa Jokowi dan mantan Presiden Megawati menghadap Duta Besar Amerika di rumah petinggi CSIS; alasan CSIS, dan grup Goenawan Mohamad gencar mempromosikan Jokowi; Arkansas Connection; dukungan LSM/NGO; pemuatan Jokowi di majalah Fortune dan The Foreign Policy dan lain sebagainya.

Ikut campurnya Amerika dalam isu suksesi pemimpin di Indonesia yang mulai bergeser dari orbit Amerika tentu bukan hal baru, misalnya kejatuhan Presiden Soeharto. Banyak yang mengatakan dukungan Amerika kepada Presiden Soeharto mulai ditarik sejak perang dingin berakhir. Namun demikian mereka semua salah sebab sejak akhir 1980an Presiden Soeharto sudah menarik diri dari orbit Amerika misalnya dengan mengunjungi Uni Soviet dan membangun hubungan dengan RRC. Selain itu sebagai Ketua Gerakan Non Blok Presiden Soeharto juga berani menantang dominasi dan hegemoni Amerika di PBB.

Merenggangnya hubungan Indonesia dengan Amerika terbukti dari dinginnya hubungan Indonesia dengan presiden-presiden Amerika tahun 1990an seperti George Bush Sr. dan Bill Clinton. Bill Clinton bahkan bertindak lebih jauh dengan memberikan "dana perang" sebesar US 26juta kepada oposisi di Indonesia setelah CSIS, agen Amerika di Indonesia membangkitkan oposisi sipil yang sudah mati dan takluk sejak tahun 1980an akhir.

Demikian pula dengan Presiden Megawati yang menolak mendukung perang Amerika di Irak dan Afganistan dibalas Amerika dengan mendukung SBY sebagai calon presiden, dan tentu saja semua nama-nama "rekanan" Amerika di atas seperti Tempo; NGO/LSM mendukung pencapresan SBY yang pernah mengungkap perasaannya yang mencintai Amerika seperti negara kedua itu selama dua periode.

Karena SBY adalah Presiden pilihan Amerika maka sungguh tidak mengherankan bila SBY sejak awal tampak mendukung pencapresan Jokowi dan menyindir program bernuansa nasionalisme dari Prabowo. Tentu saja, Presiden pilihan Amerika harus mendukung sesama capres pilihan Amerika, bukan demikian?

0 comments:

Post a Comment