Kloningan

Thursday, May 29, 2014

Jokowi: Dari Joko Klemer ke Capres Boneka

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Artikel ini adalah edisi spesial menyambut artikel saya yang keseratus di Kompasiana dengan topik perjalanan hidup atau riwayat hidup capres PDIP bernama Jokowi dari kelahiran sampai ditetapkan menjadi capres, dan mengambil judul: "Jokowi: Dari Joko Klemer ke Capres Boneka", selamat menikmati.

Masa Kecil Hingga Dewasa

Jokowi yang bernama lengkap Joko Widodo lahir di Surakarta, 21 Juni 1961 dari ayah bernama Widjiatno yang kemudian berubah nama menjadi Noto Mihardjo, yang berayah seorang lurah abadi di Kragan, Karanganyar berjulukan "Lurah Dongkol", seorang pengusaha mebel lokal sangat sukses seperti adiknya yang bernama Miyono dan mempunyai banyak karyawan dengan rumah terletak di Jalan Raya Ahmad Yani, depan pool damri. Rumah ini menjadi milik ayah Jokowi sejak tahun 1960 dan terus ditinggali hingga Jokowi menikah dengan Iriana.

Sejak kecil Jokowi sudah menunjukan bahwa dia tidak memiliki kecerdasan yang memadai karena dia gagal lolos saat tes seleksi masuk SMA 1, 3, 4 Surakarta yang termasuk sekolah favorit. Jokowi kecil adalah anak pemalu sedikit manja yang tidak bergaul dengan anak-anak di sekitar rumahnya dan lebih sering mengurung diri di rumah atau main ke rumah pamannya, Miyono dengan naik sepeda mahal. Panggilan Jokowi dari kecil hingga dewasa adalah "Mas Joko Klemer", yang dimaksudkan sebagai sebuah ledekan karena gerak tubuh dan perilaku Jokowi yang klemar-klemer; kemayu; feminin, yang kemungkinan hasil tinggal bersama tiga adik kandung yang semuanya perempuan (Sriyantini, Handayati dan Titik Ritawati).

Walikota Surakarta Dari 2005 - 2012

Pada masa pemerintahan walikota Surakarta sebelum Jokowi yaitu Slamet Suryanto dari PDIP (2000 - 2005), Solo terkenal sebagai pusat kaum radikal Islam dan tidak baik dari segi perekonomian. Dalam kondisi inilah Jokowi tiba-tiba memiliki aspirasi untuk mencalonkan diri sebagai walikota Solo namun saat itu Jokowi bukan anggota parpol, sedangkan untuk mencalonkan diri sebagai harus dicalonkan oleh salah satu partai politik. Dengan pertimbangan Jokowi mulai keliling demi mengunjungi beberapa partai yang bersedia mencalonkannya sebagai walikota Solo dan hanya PDIP yang bersedia mencalonkannya.

Pada saat Jokowi mendatangi PDIP mereka sedang mencari pengganti Slamet Suryanto namun kader yang dianggap sepadan hanya Ketua PDIP Solo, FX Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik sehingga akan sulit maju mencalonkan diri sebagai walikota, dan.kedatangan Jokowi memberi mereka solusi. Kesepakatan tercapai antara PDIP Solo dengan Jokowi, yaitu Jokowi maju sebagai calon walikota sementara FX Hadi sebagai calon wakilnya dan bila mereka terpilih maka FX Hadi akan menjadi walikota de facto menggunakan Jokowi sebagai walikota de jure (topeng/boneka).

Sebagai figur yang kurang terkenal maka cara Jokowi berkampanye adalah dengan mengunjungi warga satu per satu atau yang sekarang dikenal sebagai blusukan. Akhirnya pasangan Jokowi-FX Hadi memenangkan pemilihan tersebut dengan persentase suara sebesar 36,62%, dan hal ini bukan karena faktor Jokowi, melainkan karena Solo adalah salah satu basis atau lumbung suara PDIP.

Hampir saat bersamaan dengan terpilihnya Jokowi sebagai Walikota Solo secara kebetulan Amerika dan CIA menangkap salah seorang yang terkait serangan 9/11 dan salah satu yang dianggap merencanakan Bom Bali I tahun 2002 bernama Riduan Isamuddin atau yang dikenal sebagai Hambali yang setelah diintrograsi oleh CIA ternyata memiliki hubungan dengan Jemaah Islamiyah yang terkait Al Qaeda, pimpinan Abubakar Basyir yang bermarkas di Solo.

Hubungan Hambali dan Abu Bakar Basyir membuat dinas intelijen Amerika Serikat memusatkan perhatian mereka ke Kota Solo yang saat itu dipimpin Jokowi. Dinas intelijen Amerika juga berkali-kali mengirim agennya untuk menemui Jokowi, dan hal ini terbukti dari dokumen rahasia CIA yang dibocorkan oleh Wikileaks bahwa pada tanggal 7 April 2006 atau hanya tujuh bulan sejak terpilih menjadi walikota; agen rahasia Amerika yaitu Pierangelo dan David S Williams menemui Jokowi dan memintanya mengontrol Abu Bakar Basyir.

Jokowi berhasil mengontrol keradikalan pengikut Abu Bakar Basyir di Solo dengan mendekati sang ustad secara pribadi, terbukti ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta Abu Bakar Baasyir mengirim utusan ke Jakarta pada tanggal 30 Januari 2013 untuk menyampaikan pesan dan nasihat kepada Jokowi, padahal saat itu Abu Bakar Baasyir sedang berada di penjara Nusakambangan. Jokowipun mengucapkan terima kasih atas nasihat tersebut dan menyampaikan salah kepada Abu Bakar Baasyir yang menunjukan kedekatan hubungan mereka.

Keberhasilan Jokowi mengontrol Abu Bakar Baasyir mendapat pujian Amerika sebagaimana kembali terbukti dari bocoran kawat diplomatik Dubes AS di Jakarta, Cameron R. Hume, di website Wikileaks berjudul "Solo, From Radical Hub To Tourist Heaven." Dalam kawat diplomatik ke pemerintah Amerikanya itu, Dubes AS menulis bahwa Solo sebelum 2005 adalah pusat kaum radikal Islam namun Jokowi berhasil menekan militansi ponpred Ngruki dan Islam melalui acara-acara seperti Euro-Asia World Heritage Cities Organization.

Setelah keberhasilan Jokowi menekan keradikalan Abu Bakar Baasyir inilah tampaknya Amerika memutuskan Jokowi adalah kandidat pemimpin boneka Amerika di Indonesia selanjutnya, dan untuk itu Amerika memutuskan "mematangkan" Jokowi sebagai "calon pemimpin nasional" dengan mengirim Luhut Panjaitan, anak emas Benny Moerdani, dan AM Hendropriyono, murid Benny Moerdani. Benny Moerdani tentu saja adalah bagian dari CSIS yang didirikan oleh Pater Beek, agen CIA, dinas intelijen Amerika yang setelah komunis jatuh melihat Islam sebagai kekuatan yang bisa melawan Amerika (selengkap bisa dibaca di tulisan George Junus Aditjondro, mantan murid Pater Beek, berjudul CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani).

Untuk menutupi kegiatan intelijen ketika menggarap/membina Jokowi agar menjadi boneka Amerika yang baik maka tahun 2008 Luhut Panjaitan membuat usaha patungan dengan Jokowi melalui perusahaannya Luhut, PT Toba Sejahtera mendirikan PT Rabuka Sejahtera, di mana modal awal disebutkan dari Luhut sebesar Rp. 15,5miliar dan anak Jokowi bernama Gibran Rakabuming Raka yang saat itu berusia 20 tahun "menyetor" Rp. 19.2miliar. Ini tentu sangat luar biasa bahwa anak Jokowi memiliki uang sebesar Rp. 19,2miliar untuk membangun perusahaan dengan Luhut Panjaitan, padahal tahun lalu dia mengatakan kesulitan mencari modal Rp. 1miliar untuk membangun usaha catering sampai hampir stress.

Sebagai persiapan membawa Jokowi ke panggung nasional maka dibuatlah serangkaian operasi intelijen untuk membangun citra palsu Jokowi sebagai pemimpin muda terbaik negeri ini, antara lain membuat Jokowi meraih suara sampai 90,09% pada pilkada Solo tahun 2010; mendekatkan Jokowi dengan Esemka, proyek milik BPPT dan Kementerian Pendidikan, dan lain sebagainya.

Akhirnya untuk melontarkan Jokowi ke panggung nasional dipilihlah Tempo, media massa milik Goenawan Mohamad, didikan Ivan Kats, agen CIA ketika Amerika sedang berusaha mengalahkan komunisme di Indonesia yang bekerja di Congress for Cultural Freedom yang dibentuk di Berlin oleh CIA pada 1950 dan dipimpin oleh Michael Josselson, agen CIA. Kedekatan antara Ivan Kats dengan Goenawan Mohamad digambarkan sebagai berikut:

"Para periode inilah, awal 1960an, Kats membangun hubungan dengan simpatisan PSI dari generasi yang lebih muda ini, khususnya Goenawan Mohamad, yang kelak menjadi salah seorang tokoh paling berpengaruh dalam mengokohkan liberalisme barat dalam kebudayaan kontemporer Indonesia."

- Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, halaman 79

Tampaknya sampai hari ini Goenawan Mohamad masih menjadikan CIA sebagai salah satu sumber keuangannya dengan bekerja untuk kepentingan-kepentingan Amerika di Indonesia, sebagaimana ditemukan Wijaya Herlambang berikut ini:

"...Ketika mendirikan ISAI pada 1995, Goenawan juga menghadap orang-orang Amerika itu untuk mendapatkan bantuan keuangan. Dibantu oleh Arief Budiman, yang memperkenalkannya kepada Mark Johnson, Kepala Program USAID [samaran bagi Divisi pendanaan CIA), Goenawan mengajukan proposal pendirian ISAI [Institut Studi Arus Informasi]. Johnson setuju memberikan sekitar AS$ 100,000-200,000 untuk kegiatan selama dua atau tiga tahun.."

- Wijaya Herlambang, halaman 242

"Sebagaimana hampir semua institusi yang berasosiasi dengan KUK [Komunitas Utan Kayu], JIL [Jaringan Islam Liberal] juga menerima dukungan keuangan dari organisasi-organisasi filantropi yang berbasis di AS. Salah satunya adalah The Asia Foundation [terkait USAID] yang berkomitmen menyediakan dana sekitar AS 150,000/tahun.."

- Wijaya Herlambang, halaman 245

Peran Tempo dalam mengangkat Jokowi ke panggung nasional terbukti dari fakta bahwa Tempo adalah majalah yang pertama kali mengulas kehebatan Jokowi dan visionernya Jokowi terkait proyek yang akan menjadi cikal bakal mobil nasional bernama Esemka dengan hasil sukses besar sebab Jokowi segera menjadi fenomena baru di Indonesia dan siap ke batu pijakan pertama menuju panggung nasional: pilkada Jakarta untuk memilih Gubernur.

Dari Gubernur DKI Menuju Capres Boneka

Menggunakan pemahaman yang diperoleh sekarang dapat menjelaskan banyak anomali dan keanehan pada berbagai kejadian saat pemilihan Gubernur DKI berlangsung hingga Jokowi berhasil mengalahkan Foke sangat kental dengan operasi intelijen dari kelompok Benny Moerdani, termasuk secara kasat mata penggunaan strategi Lempar Batu Sembunyi Tangan atau Politik Dizalimi khas Jokowi, yaitu perekaman ceramah Rhoma Irama yang mengajak umat Islam jangan memilih Jokowi; dan kerusuhan rasial di Solo yang ditanggapi Jokowi bahwa perbuatan keji bila kejadian tersebut terkait pilkada DKI.

Karena sejak semula Amerika dan kaki tangannya di Indonesia menempatkan Jokowi di Jakarta sebagai batu loncatan menuju kursi presiden Indonesia maka selama dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI, yang dilakukan Jokowi adalah meningkatkan citra dirinya setinggi mungkin melalui berbagai blusukan dan proyek-proyek pencitraan yang sekarang mangkrak semua; sementara media massa peliharaan Amerika di Indonesia terus mendorong-dorong Jokowi sebagai capres dengan dibantu gerakan intelijen kelompok Benny Moerdani membentuk PDIP ProJo/Seknas Jokowi untuk mendorong Megawati mencapreskan Jokowi.

Setelah Jokowi menjadi capres, para "pasukan bayangan" di belakang Jokowi mulai berani menampakan diri; CSIS melalui petinggi mereka, Jacob Oetoyo mengatur pertemuan Jokowi sebanyak dua kali dengan dubes Amerika dan Inggris, sekali di rumahnya; dan yang kedua kali di rumah makan mewah di Jakarta Pusat. Goenawan Mohamad dan Ayu Utami juga secara terbuka mendukung Jokowi, termasuk Tempo yang sengaja memasang foto palsu kebakaran besar di Jelambar seolah-olah adalah foto posko PDIP yang terbakar kecil (terbakar bukan dibakar).

Demikian pula dengan pasukan-pasukan ex Benny Moerdani yang pernah disingkirkan Prabowo karena mereka selama bertahun-tahun mencoba mendeislamisasi Indonesia juga sudah mulai terang-terangan menampakan diri dan secara terbuka menyatakan mendukung Jokowi, boneka Amerika itu. Para kelompok Benny Moerdani tersebut antara lain: Wiranto; Agum Gumelar-Hendropriyono; Sutiyoso; Luhut Panjaitan; dan masih banyak lagi.

Kesimpulan:

Dengan demikian adalah bohong bahwa Jokowi anak orang miskin; bohong Jokowi Jokowi lahir; tinggal dan pernah digusur tiga kali dari rumahnya di bantaran kali Pepe, Munggung; bohong Jokowi pernah menjadi kuli panggul atau ojek payung demi mencari uang sekolah. Logikanya bila ayah Jokowi pengusaha mebel sukses yang sangat kaya maka untuk apa ketika masih kecil Jokowi harus capek-capek bekerja mencari uang sekolah dengan menjadi ojek payung? Tidak masuk akal bualan Jokowi tersebut. Kebohongan Jokowi yang lain adalah ayah kandungnya tidak meninggal ketika dia masih di bawah umur.

Jokowi sudah masuk radar Amerika sejak tahun 2006 dan dipilih menjadi capres Indonesia oleh Amerika sejak Jokowi berhasil melaksanakan tugas melumpuhkan Abu Bakar Baasyir. Selama proses "pematangan" tersebut Jokowi dibina oleh Hendropriyono dan Luhut Panjaitan, dua-duanya adalah anggota kelompok Benny Moerdani dari CSIS, yang sangat dekat dengan Tempo dan Goenawan Mohamad.

0 comments:

Post a Comment