Kloningan

Friday, May 30, 2014

Mengintai Masjid: Fasisme dan Ambisi Jokowi

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Ada sebuah kalimat bijak China yang kira-kira berbunyi bahwa kekuasaan itu seperti sebilah pedang, dan agar dapat digunakan tanpa melukai diri sendiri dan/atau orang lain maka pedang tersebut membutuhkan "gagang" dan "sarung" untuk menyarungkan pedang (scabbard); dan dalam hal ini orang yang memiliki kekuasaan wajib memiliki "moralitas" dan "pengendalian diri" sehingga dia tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dapat melukai diri sendiri dan orang lain.

Sayangnya Jokowi tidak memiliki kedua prasyarat memegang kekuasaan, yaitu moralitas dan pengendalian diri. Dengan menyimak perilaku Jokowi selama di Jakarta sampai menjadi capres hari ini dia sering melakukan berbagai perbuatan yang tidak bisa dianggap bermoral dan menunjukan dia tidak bisa mengendalikan dirinya, terutama mengendalikan diri ketika kesempatan bagi dirinya untuk menjadi capres terbuka lebar dalam waktu singkat.

Kita ambil contoh perbuatan Jokowi yang sulit dikatakan bermoral adalah beberapa hari terakhir yang mencatut nama tokoh-tokoh atau kelompok masyarakat dan diklaim sebagai telah memberikan dukungan kepadanya padahal hal tersebut tidak benar. Tokoh-tokoh atau kelompok masyarakat dimaksud misalnya: istri Said Aqil Siroj; Santri Gontor; Iwan Fals; Dahlan Iskan; Din Syamssudin; dan tokoh-tokoh lain.

Perbuatan lain yang dapat membuat kita semua mempertanyakan moralitas seorang Jokowi adalah keputusannya untuk sebagaimana disampaikan Eva Kusuma Sundari, menjalankan aksi intelijen terhadap seluruh masjid Indonesia dengan tujuan mengawasi dan merekam setiap kotbah yang sedangkan disampaikan untuk "mencari kotbah yang dianggap sebagai kampanye hitam".

Pengawasan terhadap masjid sebenarnya sudah dilakukan oleh Orde Baru ketika CSIS dan Benny Moerdani berkuasa, dan pengulangan metode yang sama oleh Jokowi tidak mengherankan mengingat dia didukung oleh orang-orangnya Benny Moerdani seperti Hendropriyono; Agum Gumelar; Wiranto; Luhut Panjaitan; Sutiyoso; Try Sutrisno; Ryamizard Ryacudu dan lain-lain. Bukankah saya sudah pernah mengatakan bahwa jenderal yang mendukung Jokowi adalah kelompok yang pernah mencoba mendeislamisasi Indonesia namun usaha mereka digagalkan Prabowo sehingga mereka masih dendam kepada Prabowo sampai hari ini; dan kebijakan mengawasi masjid tersebut adalah bukti kesamaan PDIP sekarang dengan Orde Baru, bahkan bisa dibilang PDIP mewarisi semua sisi terburuk dan terkelam dari Orde Baru sampai tahun 1990, khususnya militerisme; kekerasan dan Anti Islam yang melihat para khotib sebagai penyebar permusuhan, dan kebencian serta biang terorisme.

Tidak mengherankan tapi bukan berarti kita tidak perlu mengecam kebijakan Jokowi itu, dan dalam hal ini yang menjadi masalah adalah bagaimana bisa tim sukses capres tidak malu belagak seperti Opsusnya Ali Moertopo yang kemudian diwariskan kepada Benny Moerdani atau polisi dengan melakukan operasi intelijen terhadap aktivitas warga masyarakat? Tidak masuk akal dan tidak bisa diterima akal sehat. Bagaimana bila mereka berkuasa nanti? Bisa-bisa fasisme militer sipil ala pemerintahan Megawati akan kembali; dan sipil yang bertingkah seperti militer adalah jauh lebih berbahaya dari militer yang sesungguhnya karena mereka berperilaku seperti militer namun tidak melatih kedisiplinan diri ala militer.

Di kalangan masyarakat kecaman dan protes terhadap keputusan Jokowi tersebut sudah mulai bermunculan, antara lain seperti disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Saleh Daulay yang menyatakan sebagai berikut ini:

"Tindakan pengawasan masjid ini, akan menimbulkan kesan adanya fragmentasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, bisa juga menimbulkan kesan seolah-olah para khatib selama ini dijadikan sebagai agen politik dari suatu kepentingan politik tertentu. Padahal, fungsi masjid adalah tempat suci dimana orang berupaya mendekatkan diri pada sang pencipta. Selain itu pengawasan ini sama saja dengan melakukan aksi sweeping terhadap khotbah-khotbah di masjid. Saya khawatir, ini bisa dilihat masyarakat sebagai upaya mengembalikan rezim otoriter dengan masuknya intervensi ke rumah-rumah ibadah."

Berita ini sungguh mengerikan dan membuat bulu kuduk saya berdiri. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya Indonesia bila Jokowi berkuasa bila baru mencalonkan diri saja dia sudah otoriter dan mau membungkam kebebasan berpendapat. Ingat bahwa Jokowi memiliki pasukan di dunia maya untuk membungkam informasi yang dipandang bisa merugikan dirinya.

Kritikan terhadap moralitas Jokowi juga datang seorang wartawan senior bereputasi nasional, Nanik S. Deyang mantan tim sukses Jokowi yang menyebrang ke kubu Prabowo karena melihat dengan mata dan kepala sendiri karakter Jokowi yang sebenarnya, misalnya Jokowi sejak dilantik sebagai gubernur sampai nyapres tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada Prabowo padahal adalah Prabowo yang berusaha keras membujuk Megawati untuk mencalonkan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta. Perbuatan Jokowi ini jelas bertentangan dengan prinsip tata krama yang dipegang teguh orang Jawa yaitu mikul dhuwur mendhem jero. Nanik bahkan menyatakan dengan tegas bahwa Jokowi adalah orang yang minus moral dan tidak memiliki hati nurani.

Selanjutnya melalui akun facebooknya, Nanik S. Deyang juga mengungkap bahwa satu bulan sejak dilantik menjadi Gubernur DKI atau Desember 2012, Jokowi sudah menunjukan nafsu besar menjadi Presiden. Pernyataan Nanik di akun facebooknya tersebut antara lain:

"Monorel dipaksakan supaya dalam setahun pemerintahan proyek itu ada dan lihatlah sekarang mangkrak karena ketidakmampuan investor yang ditunjuk. Lihat itu proyek Market Night, beritanya sampai mana-mana sampai ada satu media besar yang mengulas satu halaman apa hasilnya hanya berlangsung beberapa malam saja."

Nanik juga membuka komentar Jokowi terkait MRT yang mangkrak yaitu:

"Sudahlah yang penting saya dukir-dukir tanahnya, yang penting kelihatan pembangunannya dimulai."

Kesaksian Nanik S. Deyang ini adalah kunci membuktikan apa yang sudah diketahui banyak orang selama ini bahwa yang dilakukan Jokowi satu setengah tahun di Jakarta adalah pencitraan guna mendongkrak popularitasnya demi menjamin tiket pencapresan dapat diraih. Sistem pencitraan Jokowi adalah: "yang penting kelihatan pembangunan dimulai; yang penting kelihatan kerja." Kata kunci disini adalah "kelihatan", kelihatan siapa? Tentu saja kelihatan media massa nasional dan kelihatan oleh masyarakat. Jadi yang dipentingkan Jokowi bukan apakah pembangunan benar berjalan atau tidak, yang penting kelihatan ada pembangunan.

Nanik S. Deyang tidak melakukan fitnah karena semua, catat, semua kebijakan Jokowi dilakukan agar programnya "kelihatan berjalan; kelihatan ada" tanpa mempedulikan kesiapan pelaksanaan program itu sendiri yang akhirnya justru merugikan masyarakat banyak. Kita lihat beberapa "program Jokowi":

- KJS-KJP diterbitkan secara besar-besaran di media massa padahal program belum siap; rumah sakit belum siap karena tidak ada sosialisasi KJS; akibatnya banyak pasien miskin meninggal dan menyebabkan kekacauan di puskemas dan rumah sakit. Semua kekacauan ini akhirnya ditangani oleh Kementerian Kesehatan yang mengganti total sistem KJS dengan INA-CBG dan baru kondisi normal kembali. Adapun KJP sekarang tidak tepat sasaran; banyak dikorupsi pejabat partai; disalahgunakan anak penerima KJP dan lain-lain.

- Normalisasi Waduk Pluit: "sistem asal kelihatan" dari Jokowi menjelaskan mengapa dia fokus membangun taman di pinggir Waduk Pluit dan mengabaikan waduknya sendiri sebab dengan demikian Jokowi bisa menunjukan ilusi dia bisa menormalisasi Waduk Pluit dengan cepat padahal hal tersebut tidak benar, sebagaimana terbukti hari ini endapan Waduk Pluit kembali seperti semula karena berbulan-bulan tidak diurus.

- Melakukan groundbreaking monorel dan MRT secara besar-besaran juga menggunakan rumus "asal kelihatan", masalah kontraktor ternyata belum siap sama sekali bukan urusan Jokowi karena buat Jokowi yang penting besok ngecor.

Yang dirugikan akibat ketamakan dan kurang pengendalian dari Jokowi untuk tidak mengejar jabatan sudah sangat jelas adalah rakyat Jakarta pada umumnya dan masyarakat kecil dan kaum marjinal pada khususnya sebab dua tahun APBD yang total berjumlah Rp. 160trilyun tidak dimanfaatkan dengan baik tapi malah digunakan untuk proyek-proyek pencitraan dan mercusuar untuk meningkatkan popularitas Jokowi. Kita lihat saja biaya blusukan Jokowi perbulan mencapai Rp. 5miliar, artinya selama satu setengah tahun terakhir Jokowi telah menghamburkan Rp. 100miliar begitu saja. Apakah ini perbuatan seorang pemimpin yang bermoral? Silakan anda simpulkan.

Bicara tentang moralitas Jokowi sesungguhnya terlalu banyak yang bisa diambil sebagai contoh dan terdapat banyak sisi; bisa dari fakta bahwa dia memalsukan riwayat hidup dengan pura-pura miskin padahal kaya; bisa dari dia mempolitisasi korban Lapindo; bisa dari dia melanggar seluruh janjinya kepada rakyat Jakarta demi ambisi; bisa juga dari kebohongan demi kebohongan yang terus dia lakukan tanpa dosa; bisa juga karakter Jokowi yang tampil di muka bila ada prestasi tapi buang badan bila ada kesalahan. Mau dibawa kemana negeri ini bila pemimpin kita hanya mengandalkan popularitas yang didongkrak seperti Jokowi? Mana bisa seseorang memimpin bermodal popularitas semata? Mana bisa pemimpin yang dibutakan oleh ambisinya sampai mengintai masjid satu Indonesia diperbolehkan memimpin negeri ini?

Untuk menutup artikel ini saya akan mengutip pandangan JK sebagai cawapres Jokowi mengenai Jokowi sebagai presiden: "Jangan hanya karena Jokowi terkenal lantas tiba-tiba dicalonkan menjadi presiden. Bisa hancur negeri ini, bisa masalah."

0 comments:

Post a Comment