Kloningan

Friday, May 30, 2014

Teganya Jokowi Politisasi Korban Lumpur Lapindo

Leave a Comment
Berric Dondarrion

Kemarin, delapan tahun lalu pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoardjo, Jawa Timur yang menyebabkan kawasan permukiman, pertanian dan perindustrian di kawasan tersebut tenggelam oleh lumpur sampai tidak tersisa ("Lumpur Lapindo"). Delapan tahun kemudian lumpur masih terus meluap di Sidoardjo tanpa dapat diperkirakan kapan akan berhenti.

Pertanyaan selanjutnya tentu adalah siapa atau apa yang menyebabkan tragedi Lumpur Lapindo ini? Ada dua pendapat yang sempat menjadi perdebatan sengit: pertama Lumpur Lapindo terjadi karena kelalaian dalam kegiatan pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas; dan kedua, disebabkan oleh gempa besar di Jogjakarta yang terjadi beberapa hari sebelum luapan lumpur pertama kali dimulai. Masing-masing pendapat didukung oleh banyak ahli sehingga sekarang sudah cukup sult, bila tidak mau dikatakan tidak mungkin untuk menentukan penyebab sebenarnya; namun yang pasti persepsi masyarakat menganggap bahwa tragedi Lumpur Lapindo disebabkan oleh PT Lapindo Brantas, milik keluarga Bakrie.

Sama seperti kasus HAM yang menimpa Prabowo, tragedi Lumpur Lapindo juga cenderung dipolitisasi sejak pemimpin Group Bakrie, Aburizal Bakrie/ARB yang kebetulan ketua umum ditunjuk sebagai capres Golkar; dan sekarang ARB dan Golkar berkoalisi dengan Gerindra untuk memenangkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia yang baru. Dengan maksud mempolitisasi tragedi Lumpur Lapindo inilah yang melatarbelakangi kedatangan Jokowi ke Sidoardjo untuk memperingati delapan tahun tragedi Lumpur Lapindo untuk mengatakan bahwa "korban Lumpur Lapindo diabaikan pemerintah", dan hal ini sudah terang benderang merupakan bentuk politisasi tragedi ini karena dia bersama JK adalah saingan Prabowo-Hatta yang didukung ARB dan Golkar.

Selain fakta bahwa beberapa bulan terakhir adalah bulan politik, maka ada tiga alasan untuk kesimpulan saya bahwa Jokowi sedang mempolitisasi tragedi Lumpur Lapindo, yaitu sebagai berikut:

Pertama, dengan asumsi satu tahun adalah 365 hari maka tragedi Lumpur Lapindo sudah berjalan selama delapan tahun atau 2920 hari. Pertanyaan paling sederhana adalah kemana Jokowi selama delapan tahun atau 2920 hari terakhir? Bukankah jarak dari Solo ke Sidoardjo tidak jauh? Lantas mengapa Jokowi baru mengunjungi atau membahas kasus Lapindo menjelang pilpres 2014?

Kedua, Maaf saja saya meragukan ketulusan hati Jokowi membela warga Sidoardjo mengingat faktanya yang menyebabkan banyak warga korban Lumpur Lapindo tidak bisa mendapat ganti rugi secara penuh adalah Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 yang intinya membatasi kewajiban ganti rugi yang harus dibayarkan PT Lapindo Brantas dan pemerintah sehubungan dengan Lumpur Lapindo dan yang paling bertanggung jawab atas keberadaan peraturan ini adalah Jusuf Kalla, wapres saat itu yang sampai ribut dengan Sri Mulyani yang menolak mem-bail-out PT Lapindo Brantas. Jusuf Kalla tentu saja adalah cawapres Jokowi.

Ketiga, politisasi kesulitan masyarakat oleh Jokowi demi meraih keinginannya memang sudah menjadi ciri khas Jokowi. Kita ambil contoh ketika dia sedang mengejar jabatan Gubernur DKI, Jokowi mempolitisasi kemacetan dan banjir di Jakarta dengan mengatakan bila dia jadi gubernur maka mengatasi macet dan banjir adalah mudah. Karena terpengaruh omongan bahwa dua masalah Jakarta itu akan mudah dibereskan Jokowi maka rakyat Jakarta memilih Jokowi. Apa lacur, ketika sudah diberi amanah, janji tersebut dilupakan begitu saja oleh Jokowi. Oleh karena itu janji Jokowi menolong korban Tragedi Lapindo bila dia menjadi presiden dapat dipastikan hanya bualan belaka yang akan dilupakan begitu dia jadi presiden seperti 87 janji kosong Jokowi di Jakarta. Dijamin!!

Saya juga berani menjamin bahwa Jokowi si raja ndak mikir; ndak tahu; ndak paham; ndak urus; sama sekali tidak tahu apapun fakta-fakta seputar Tragedi Lapindo. Bukan meremehkan Jokowi, tapi seperti itulah Jokowi, hanya peduli pencitraan tapi terlalu malas untuk mempelajari fakta. Walaupun bikin kesal, tapi kita masih bisa memaafkan bila Jokowi hanya mempolitisasi masalah kecil seperti kemacetan dan banjir di Jakarta; namun politisasi penderitaan dari masyarakat yang lahir akibat tragedi Lumpur Lapindo? Sungguh membuat perut saya mual karena jijik setiap memikirkannya.

Terlepas usaha politisasi dari Jokowi, bagaimana fakta sebenarnya seputar Tragedi Lapindo tanpa politisasi pihak yang tidak bertanggung jawab ini?

Katakanlah PT Lapindo Brantas bersalah menyebabkan Lumpur Lapindo maka secara hukum hanya PT Lapindo Brantas dan para pemegang sahamnya yang bertanggung jawab memberi ganti rugi. Adapun pemegang saham PT Lapindo Brantas sebelum lumpur meluap adalah PT Energi Mega Persada tbk sebesar 50% (milik PT Bakrie & Brothers, tbk adalah 30% dan 70% adalah saham yang dimiliki publik), Medco Energy sebesar 32% (milik Arifin Panigoro); dan Santos Ltd (perusahaan Australia). Berdasarkan persentase kepemilikan saham tersebut di atas saja sudah terlihat bahwa beban atas Lumpur Lapindo adalah tidak sepenuhnya berada pada Group Bakrie. Lantas mengapa hanya Group Bakrie yang dikejar sedangkan Medco dan Santos tidak pernah diungkit? Jawabannya karena pemimpin Group Bakrie adalah Ketum Golkar sehingga lebih seksi mengejar Bakrie daripada Arifin Panigoro dan Santos.

Pertanyaan lain, apakah ada putusan pengadilan yang menyatakan PT Lapindo Brantas bersalah mengingat sejak 2006 sampai hari ini gugatan terhadap terus berlangsung? Jawabannya adalah tidak ada satupun putusan pengadilan, baik pidana maupun perdata yang menyatakan PT Lapindo bersalah menyebabkan tragedi Lumpur Lapindo. Beberapa perkara tersebut antara lain adalah:

- Gugatan oleh Walhi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditolak dan pengadilan menyatakan bahwa luapan lumpur adalah akibat fenomena alam.

- Gugatan oleh YLBHI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditolak dan pengadilan menyatakan bahwa PT Lapindo Brantas sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi dampak luapan lumpur.

- Mahkamah Agung telah menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007.

- Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Uji Mater UU APBN-2012 yang menganggarkan ganti rugi bagi korban Lumpur Lapindo.

- Kepolisian Republik Indonesia menghentikan penyidikan atas kasus Lumpur Lapindo karena mempertimbangkan ketiadaan bukti dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan PT Lapindo Brantas tidak bersalah.

- dan lain-lain

Silakan buktikan bila ada yang curiga terdapat suap atau ketidakberesan apapun dalam semua proses pengadilan di atas namun yang bisa saya pastikan adalah kekalahan YLBHI dan Walhi terjadi adalah karena kesalahan tim mereka yang terlalu asal-asalan membuat gugatan sehingga sudah dari awal baik gugatan maupun bukti yang mereka ajukan sangat lemah. Dengan kata lain para korban Lumpur Lapindo harus menyalahkan para pembela publik atas penderitaan mereka yang berkepanjangan.

Kita ambil contoh gugatan YLBHI yang dikomandani oleh Taufik Basari/Tobas (sekarang adalah kader partai NasDem, anggota koalisi pengusung Jokowi-JK). Gugatan dan bukti yang diajukan YLBHI hanya berpijak atau berdasar pada satu hal, dan satu hal saja yaitu persepsi masyarakat bahwa Lumpur Lapindo adalah kesalahan pengeboran PT Lapindo Brantas dan persepsi ini dibungkus sebagai "fakta umum yang sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan lagi" (notoire feiten). Untuk membuktikan "notoire feiten" ini tim YLBHI mengajukan klipingan-klipingan koran; dan majalah mengenai Lumpur Lapindo sebagai bukti mereka. Apakah kita heran gugatan bisa ditolak?

Tim YLBHI melakukan kesalahan fatal dengan menganggap bahwa notoire feiten bisa disamakan dengan "persepsi masyarakat", padahal dalam hukum tidak ada orang yang bisa dihukum hanya berdasarkan persepsi saja; kesalahan fatal kedua adalah kemalasan mereka dalam mencari bukti-bukti yang ditunjukan dengan fakta klipingan koran malah diajukan sebagai bukti utama.

0 comments:

Post a Comment